Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Bahari Sanjaya, 3,5 tahun
Korban asal Cilacap
RUMAH di Jalan Kolonel Sugiono, Kampung Kebon Baru, Cilacap Selatan, itu senyap. Tak ada lagi goyang Inul dan dendang lagu Cocak Rowo dari mulut mungil Budi Bahari Sanjaya, 3,5 tahun. Mulut sang pelantun masih jontor. Bekas pukulan membuat bibir bocah itu bengkak dan mengeluarkan darah.
Sejak kembali ke rumah, Budi jadi gampang marah. Ia suka memukul dengan batang sapu dan melempar batu ke arah dua kakaknya, Eko Arif Budianto dan Diah Ayu, 9 dan 7 tahun. Ia menangis ketakutan kalau bertemu orang yang belum dikenalnya.
Budi diculik oleh Jefri Saputra, anak Toni Buntung, pada 20 September 2003 dan baru ditemukan tujuh hari kemudian di markas para penculik, Perumnas Tiara Ajimas, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah.
Selama disekap, Budi berada di kamar tertutup bersama korban asal Cianjur, Riska. Riska-lah yang mengurus Budi, seperti memandikan, menyuapi, dan menenangkan jika menangis karena dipukul. Budi adalah anak ketiga pasangan Tusinah dan Sukisman. Orang tua Budi bercerai saat ia masih berumur empat bulan.
Kepada ibunya, Budi mengaku bokongnya sering ditendang kalau mau buang air oleh seorang kakek. Dia juga sering ditampar. Bahkan pernah disundut rokok oleh Jefri. Kini, Budi enggan keluar kamar. Sepanjang hari lebih banyak berbaring, ditemani neneknya, Sutinem. Ia juga selalu menyembunyikan wajahnya. Kalau tiba-tiba datang tamu, Budi langsung menangis dan menjerit minta masuk kamar.
Tusinah juga menanggung derita. Ia berupaya sekuat tenaga membayar uang tebusan yang diminta Jefri sebesar Rp 10 juta. Kalau tidak, Budi akan dipotong-potong dan dimasukkan kardus. Ancaman itu membuat Tusinah ketakutan. Tapi ia masih berhasil menawar Rp 5 juta. Dari pinjam tetangga dan saudara, hanya terkumpul Rp 2 juta. Untuk menutup kekurangan, ia terpaksa mengutang ke rentenir. Selasa dua pekan silam, ia mentransfer uang itu ke rekening atas nama Imas di Bank Lippo cabang Melawai. Imas adalah istri Jefri.
Ternyata Budi belum juga dilepas, meski Tusinah sudah membayar Rp 5 juta. Jefri minta lagi Rp 5 juta. Jika sampai Jumat pekan lalu tak ditransfer, Budi akan dipotong-potong. Tusinah pun mentransfer lagi uang Rp 750 ribu. Itu uang pinjaman polisi untuk pancingan. Beruntung, sore harinya polisi mengabarkan bahwa kawanan penculik sudah tertangkap sehingga Tusinah, karyawan pabrik sarden di Cilacap, tak kehilangan uang lebih banyak.
Riska, 6 tahun
Korban asal Cianjur
RISKA tampak ceria dan makin gendut. Kalau tertawa, tampak jajaran giginya yang ompong. Empat gigi susunya memang baru tanggal. Bocah mungil itu tampak segar, meski baru saja pulang ke pangkuan ibunya, Ny. Atin, setelah disekap kawanan penculik Toni Buntung selama 73 hari di Banyumas.
”Saya tidak boleh keluar rumah, tidak boleh jajan, dan dikerem (disekap) terus sama Budi (Bahari),” kata Riska.
Sembari berkisah, Ika—demikian panggilan sayang Riska—bergelayut manja pada ibunya. Dia mengaku para penculiknya baik-baik. Tak pernah memukul atau marah padanya. Imas, istri Jefri, menyuapi Ika setiap kali makan. ”Ika disuruh memanggil kakek pada Pak Buntung (Toni Buntung). Terus, Teteh Imas sama Aa Jefri suami Imas,” katanya.
Namun, di balik keceriaannya, ia masih menyimpan trauma. Ia masih sulit menerima kedatangan orang tak dikenal. Saat TEMPO menyodori oleh-oleh, ia langsung menolak sambil melotot seperti ketakutan.
Kembalinya sang putri disambut dengan sukacita oleh Ny. Atin dan Dayat Sunjaya, suaminya. Perjuangan keras untuk menemukan kembali anaknya akhirnya menuai hasil. Puji syukur pun tak henti-hentinya dipanjatkan. Ny. Atin mengakui kembalinya sang anak adalah mukjizat dari sang Pencipta.
Ika diculik Jefri Saputra, anak Toni, pada 19 Juli 2003, dan baru ditemukan pada 29 September silam. Ia diculik bersama tiga sepupu Ny. Atin, yaitu Andrian, 16 tahun, serta Enok dan Devi yang masing-masing berusia 9 tahun. Selama anaknya diculik, Ny. Atin dan Dayat, montir dan broker mobil di sebuah bengkel di Cianjur, Jawa Barat, menderita stres, tak doyan makan karena bayangan Ika terus melintas. Mereka semakin stres karena penculik minta uang tebusanRp 50 juta. Mereka mengancam, kalau Ika mau selamat dan kembali ke rumah, uang tebusan harus dibayar.
Rumah keluarga Dayat di Kampung Cicantu Mekar, Hegarmanah, Cianjur, akhirnya dijual. Hasilnya tak mencukupi, hanya Rp 34 juta. Untuk menutupi kekurangan, Dayat memperoleh bantuan dari Polres Cianjur, para kiai, pesantren, dan masyarakat tak kurang dari Rp 25 juta. Ditambah biaya macam-macam, mereka sudah mengeluarkan biaya Rp 58,6 juta. Kini, keluarga Dayat tinggal di rumah kontrakan di Kampung Leuwi Bungur, Cikalong Kulon, Cianjur.
Widya Wirada Andini, 4,5 tahun
Korban asal Bogor
TRAUMA juga masih membekas dalam diri Widya Wirada Andini, 4,5 tahun. Putri pertama pasangan Rahmad Nizar dan Neneng itu masih sering marah kalau ditanya soal penculikan atas dirinya. Untuk menghapus trauma, Rahmad harus mengganti nama anaknya. Rahmad, petugas Lapas Paledang, Bogor, Jawa Barat, tak mau nama baru Widya dipublikasikan. Hanya nama panggilannya yang boleh disebut: Ade.
Ade diculik oleh Deny Saputra, anak kedua Toni Buntung, pada 13 Juni 2003 di rumah orang tuanya di Cibanteng, Ciampea, Bogor. Ia dilepaskan seminggu kemudian setelah Rahmad membayar uang tebusan Rp 10 juta.
Sejak dilepaskan kawanan penculik, Ade lebih sensitif. Kalau mendengar berita penculikan, ia marah dan menangis. Bahkan, ketika melihat gambar dirinya di layar televisi, ia marah dan minta televisi dimatikan. ”Sampai sekarang saya tidak mau lagi menanyakan seputar penculikan,” kata Rahmad.
Rahmad tak pernah menyangka bahwa Deny, salah seorang residivis yang pernah mendekam di Lapas Paledang, Bogor, tega menculik putrinya. Deny dibui pada 2001 karena kasus pencurian kendaraan bermotor. Sebulan menjelang bebas, Deny tampak putus asa. Melihat kesedihan Deny, Rahmad, yang bekerja sebagai petugas lapas, memberinya semangat.
Keakraban itu berlanjut sampai Deny bebas pada September 2001. Setelah bebas, Deny sempat berkunjung ke rumah Rahmad dan menginap. Tak dinyana, dua tahun kemudian Deny kembali untuk menculik Ade.
Seperti halnya kepada korban lainnya, penculik juga menebar ancaman. Kali ini Toni yang menelepon Rahmad untuk minta tebusan Rp 10 juta. Kalau tidak, tak dijamin Ade pulang dengan selamat. Rahmad tentu saja panik. Ia berusaha melobi, meminta agar diturunkan menjadi Rp 5 juta. Toni pun menyetujui. Rahmad berhasil mengumpulkan Rp 5 juta dari meminjam pada saudara dan teman sekantor. Senin 16 Juni, uang itu langsung ditransfer ke rekening penculik di Bank Lippo cabang Juanda, Bogor.
Proses transaksi pun tak berjalan mulus. Toni ternyata tak puas hanya menerima tebusan Rp 5 juta. Ia minta tambahan Rp 15 juta. Lantaran lelah menghadapi penculik, Rahmad minta bantuan pamannya, H. Tanto, sebagai juru runding. Proses perundingan berlangsung lima hari, 14-18 Juni 2003.
Pada Rabu 18 Juni, H. Tanto akhirnya berhasil berunding dengan penculik untuk menambah uang tebusan Rp 5 juta. Setelah penculik beberapa kali memindahkan tempat pelepasan, Ade akhirnya dilepaskan di McDonald Sunter hari itu juga, sekitar pukul 22.00 WIB.
Dwi Yunita Suwantya, 9 tahun
Korban asal Jakarta Timur
”AYAH, tolong, Dwi takut. Di sini banyak orang jahat,” kata Dwi Yunita Suwantya, terisak, lewat telepon, 7 Juli lalu. Suwandi, 41 tahun, orang tua Dwi, langsung lemas. Ia tak mampu lagi berdiri. Tangisnya meledak. Ia merasa berdosa. Kala anaknya membutuhkan perlindungan, ia tak mampu berbuat banyak.
Itulah suara terakhir Dwi yang didengar Suwandi. Setelah berbicara lewat telepon milik penculiknya, Dwi dibunuh. Mayatnya dimasukkan ke kardus televisi 14 inci dan ditemukan di pinggir jalan di Desa Kampung Lio, Karawang, Jawa Barat. Agar tubuh anak berusia 9 tahun itu bisa masuk kardus, tulang kaki dan tangannya dipatahkan di beberapa bagian. Bahkan hasil visum menunjukkan si anak sempat diperkosa.
Penculikan itu berawal ketika Dodi Purnomo alias Gepeng bersama Jefri Saputra menemui Suwandi, pertengahan Juni lalu. Gepeng adalah tetangga Jefri di Pondok Gede, Jakarta Timur. Gepeng, yang sudah lama menjadi anak buah Suwandi, yang berprofesi sebagai tukang bangunan, datang meminta pekerjaan, tapi hanya mendapat janji karena pekerjaan Suwandi sedang macet. Sedangkan Jefri menawarkan mobilnya bila Suwandi mau menyewanya.
Gepeng dan Jefri datang lagi ke rumah Suwandi di Cilangkap, Jakarta Timur, Minggu, 6 Juli lalu. Sementara itu, Imas, istri Jefri, menunggu di dalam mobil yang diparkir di mulut gang. Setelah bicara banyak, Suwandi, yang kehabisan rokok, menyuruh Dwi membelikannya. Jefri langsung berdiri dan mengeluarkan uang. ”Bang, saya ada uang. Saya saja yang beli,” katanya. Karena Jefri tak tahu letak warung, Suwandi meminta Dwi, yang sedang bermain dengan teman-temannya, mengantarkan Jefri sekitar pukul 10.30.
Setelah lama ditunggu, mereka tak kunjung kelihatan. Baru pada pukul 15.00, Jefri menelepon dan mengatakan telah menculik Dwi. Ia minta tebusan Rp 5 juta yang mesti ditransfer ke rekeningnya di Bank Lippo Cabang Melawai, Jakarta Selatan, sebelum teng 12.00.
Suwandi hanya menyerahkan Rp 3 juta. ”Itu pinjaman dari beberapa tetangga,” ujar Suwandi. Kekurangannya akan dibayar dua hari kemudian.
Hari Rabu, koran memberitakan penemuan mayat seorang anak di Karawang. Namun Suwandi belum yakin, tapi ia mengirim adiknya untuk melihat korban ke Karawang. Ia tetap mentransfer sisa tebusan, meski hanya Rp 1 juta. Sejak saat itu, telepon seluler Jefri susah dihubungi. Akhirnya Suwandi sendiri datang ke Karawang dan baru yakin bahwa mayat itu adalah mayat anaknya.
Sapto Yunus, Agus S. Riyanto, Syaiful Amin (Cilacap), Upiek Supriyatun (Cianjur), Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo