Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN orang berkumpul di aula Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, Jakarta. Mereka tampak gelisah menanti jarum jam menunjuk pukul 12 malam. Setengah jam sebelum waktu yang ditunggu tiba, sebuah koper kecil ditarik keluar dari ruang tahanan Bareskrim. Itulah koper Eddie Widiono, 53 tahun, tersangka kasus penggelembungan dana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Borang di Sumatera Selatan. Tak lama kemudian, Ajun Komisaris Besar Polisi Ahmad Sabri, ketua tim penyidik kasus Borang, terlihat membawa map. ”Sabar, kan perlu mandi-mandi dulu,” kata-nya seraya berjalan ke ruang tahanan.
Tak berapa lama, Myra, istri Eddie, bergegas masuk ke ruang tahanan. Sejurus kemudian, ia keluar membawa selembar surat. Sekitar dua menit sebelum tengah malam, pecahlah keriuhan. Dari dalam tahanan terdengar ramai orang menyanyikan lagu Di Sini Senang, di Sana Senang. Lagu ”wajib” tahanan Bareskrim Polri itu diulangi berkali-kali.
Rupanya itulah lagu pengantar ”kebebasan” Eddie setelah berada di tahanan polisi selama empat bulan. Seiring dengan menggemanya lagu itu, terlihat Eddie keluar dan berjalan meninggalkan lorong tahanan. Matanya merah menahan tangis. Ia mengenakan jaket biru yang di dada kirinya tertulis PT Perusahaan Listrik Negara. Di bawah ada tulisan lagi dengan huruf tebal: Direktur Utama.
Eddie mampir sejenak di aula. Di situ, dua kakak perempuannya memeluknya sembari menangis. Ia juga memeluk sejumlah pegawai PLN yang ada di situ. Suasana haru merebak. Setelah 120 hari dalam tahanan, Eddie kini bebas. Ia bebas sesuai dengan habisnya batas waktu maksimal penahanan oleh polisi menurut undang-undang.
Keluarnya Eddie dari tahanan polisi seperti antiklimaks penyidikan. Sebelumnya, tiga tersangka kasus penggelembungan harga pembelian dua buah turbin mobil (truck mounted) berkapasitas 20 megaWatt, yang ditaksir merugikan negara Rp 122 miliar, sudah dilepas dari tahanan.
Juni lalu, Direktur Pembangkit Energi Primer, Ali Herman Ibrahim, dan Direktur Utama PT Guna Cipta Mandiri, Johanes Kennedy Aritonang, rekanan PLN, keluar dari tahanan Kejaksaan Agung. Lalu, awal Agustus lalu, giliran Deputi Direktur Pembangkit Energi Primer, Agus Darnadi, juga bebas dari tahanan Mabes Polri.
KASUS ini bermula dari krisis listrik yang melanda enam provinsi di wilayah selatan Sumatera. Selama 2003, pemadaman listrik dilakukan secara bergilir di wilayah itu. Protes masyarakat muncul di mana-mana. Pada Juli 2004, Direksi PLN memutuskan melakukan pengadaan turbin untuk PLTG Borang, Sumatera Selatan. Mereka melakukan pemilihan langsung rekanan dari tiga perusahaan penawar.
Yang terpilih adalah PT Guna Cipta Mandiri. Alasannya, perusahaan tersebut telah mendapat rekomendasi dari General Electric, pabrik pembuat turbin di Amerika. Selain itu, perusahaan ini juga memiliki fasilitas letter of credit di Westpack Bank di Australia, yang bisa diterima oleh GE. ”Karena pada 2004 LC dari bank lokal sulit diterima di luar negeri,” kata Firman Wijaya, kuasa hukum Ali Herman, kepada Tempo.
Sejak awal, PLN meminta mesin siap-pasang. Ini artinya, bukan mesin baru. Pertimbangannya, mesin baru memerlukan waktu pemasangan sekitar 15–18 bulan. Yang siap pasang cuma perlu waktu tiga atau empat bulan. PLN juga memberi catatan: mesin bisa diterima dengan sejumlah syarat, antara lain tidak cacat teknis, memiliki kemampuan daya baik, serta tingkat kebisingan dan emisi gas buang rendah.
Harga kontrak PLTG Borang adalah US$ 27,1 juta (sekitar Rp 243 miliar). PLN akan mengangsur harga ini selama 48 bulan. Harga tersebut sudah termasuk harga mesin di negara asal, ongkos transportasi, asuransi, ongkos pemasangan, dan pengujian lapangan.
PLN menilai harga itu wajar setelah membandingkan dengan harga turbin di pasar dunia dan ongkos pembangunan pembangkit sejenis pada PLTG Inderalaya 2 di Sumatera Selatan. ”Jarak, kondisi lapangan, dan mesin yang diperlukan sama dengan Borang,” kata Ali Herman. Saat dilakukan pembandingan biaya pokok produksi (BPP), kata Ali, harga Borang ternyata lebih murah, yakni US$ 4,19 sen per kilowatt jam, sementara harga Inderalaya US$ 5,19 sen per kilowatt jam.
Alhasil, sejak beroperasinya PLTG Borang pada Desember 2004, PLN mendapat sejumlah keuntungan. Krisis listrik di Sumatera Bagian Selatan teratasi, penggunaan gas alam menghemat anggaran Rp 360 miliar setahun, dan PLN terhindar denda Rp 67,5 miliar dari perusahaan pemasok gas alam. Menurut Eddie, proyek itu bisa mengongkosi dirinya sendiri. ”Karena penghematan lebih besar dari cicilannya dan ada keuntungan bagi PLN serta negara,” kata Eddie Widiono saat diperiksa polisi.
Tapi, muncullah aroma korupsi di balik proyek ini. Laporan tentang adanya dugaan korupsi di proyek Borang ini dibuat Ajun Komisaris Besar Polisi Ishak Salampessy, ketua tim penyidik PLN kala itu, pada 3 Januari lalu. Polisi berpatokan pada draf audit Badan Pemeriksa Keuangan, 13 April 2005. Di draf itu disebutkan ada markup dalam pengadaan turbin Borang. Sehari kemudian, surat perintah penyidikan dan panggilan tersangka pun keluar.
Masalah muncul, karena dalam audit final BPK pada Mei 2005 dinyatakan tidak ada kerugian negara dalam proyek Borang. ”Draf audit tidak bisa jadi pegangan karena masih harus disampaikan ke manajemen untuk ditanggapi,” kata Gunarwanto, Kepala Subbagian Humas Badan Pemeriksa Keuangan, pekan lalu kepada Tempo. Di depan polisi, Ketua Tim Audit PLN Hasbi Ashydiqi juga menyatakan tak ada kerugian negara dari kasus ini.
Polisi kemudian meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) meneliti proyek ini. Saksi BPKP menyatakan ada penyelewengan dalam proyek listrik ini. Tapi, keterangan BPKP belakangan ditolak jaksa. ”Itu baru asumsi kerugian. Belum ada unsur perbuatan melawan hukum dan kerugian negara,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Hendarman Supandji.
Hendarman malah meminta polisi melengkapi bukti saksi tersumpah (afidavit) dari BPKP tersebut. Laporan adanya korupsi proyek Borang ini pun dikembalikan lagi ke polisi. ”Kalau benar, harusnya ada pemeriksaan dari BPKP,” kata Hendarman.
Keempat berkas tersangka itu statusnya memang berbeda. Tiga yang lain berstatus P22 alias diambil alih kejaksaan untuk dilengkapi, sedangkan untuk Eddie berstatus P19 atau belum lengkap dan polisi harus menambal kekurangan berkas pemeriksaan Eddie. Dikembalikannya berkas Eddie itu tentu saja membuat polisi gusar. Apalagi, untuk kasus Eddie, polisi sudah memeriksa sedikitnya 28 saksi. ”Jaksa harusnya bisa menerima, pemeriksaan kita cukup,” kata Kapolri Jenderal Polisi Sutanto beberapa jam sebelum batas waktu penahanan Eddie habis pekan lalu.
Menurut Hendarman, ada perbedaan antara berkas Eddie dan berkas tiga tersangka lainnya. Kejaksaan, kata Hendarman, menerima tiga berkas tersangka PLN lainnya karena polisi mengirim surat dan mengaku sudah optimal menyidik. ”Kejaksaan terpaksa menerima dan melengkapi sendiri,” kata Hendarman. Kendati demikian, setelah 14 hari di tangan kejaksaan, pemeriksaan itu tak mengalami kemajuan. Akhirnya, ya, itu tadi, satu per satu para tersangka dilepas.
Adapun kasus Eddie lain lagi. Menurut Hendarman, polisi menyatakan belum ”angkat tangan” dan terus berupaya melengkapi berkas Eddie. Tapi, rupanya, seperti tiga tersangka lainnya yang kemudian bebas kendati berkasnya diambil alih kejaksaan, kemujuran yang sama diterima Eddie. Ia bebas lantaran sampai batas masa penahanannya, polisi tak mampu melengkapi berkas pemeriksaannya. Entah sampai kapan P19 dari Jaksa itu bisa ”disulap” polisi menjadi P21 alias berkas lengkap dan siap dikirim ke pengadilan.
Arif A. Kuswardono, Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo