Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG sidang Pengadilan Negeri Surakarta seperti berubah menjadi
pentas arade paguyuban lawak. Di situ, pekan lalu,
pelawakpelawak Ibukota dan Solo berjejal Ada Eddy Sud, Benyamin,
anggota grup Jojon dan Us Us serta tokoh-tokoh Srimulat. Tokoh
utama hari itu, tidak lain, Gepeng alias Aris Fredy, yang
mencuat lewat ungkapan "untung ada saya" itu.
Bak pertunjukan lawak benaran, pengunjung pun sudah berjubel
sejak pagi. Polisi dan petugas lain terpaksa kerja keras
membendung peminat yang hendak memasuki ruang pengadilan. Hanya
pelawak dan wartawan yang diizinkan masuk. Penonton lain
berjejal di halaman -- bahkan ada yang memanjat pohon di sekitar
gedung pengadilan. Semuanya seperti siap untuk tertawa.
Padahal tuduhan untuk pelawak yang sering memainkan peran jongos
itu bukan main-main. Ia dituduh Jaksa Wim Sarwadji, menyimpan
senjata api tanpa dilindungi surat-surat yang semestinya.
Ancamannya pun tak tanggung-tanggung: hukuman mati.
Juni lalu sopir Gepeng, Dadang Sugiyatno, dibekuk polisi ketika
main bilyar di kompleks Srimulat, Balekambang, Solo. Di
pinggangnya ditemukan sepucuk pistol jenis FN. Ternyata senjata
itu milik si boss, Gepeng, yang diakuinya dibelinya dari seorang
mahasiswa Akademi Perhotelan Jakarta Syahrial. Tidak ada pilihan
lagi, Dadang dan Gepeng berurusan dengan polisi, meski
belakangan Gepeng dikeluarkan dari tahanan.
Ketika pelawak itu masuk ruang sidang dengan sikap serius --
bercelana putih, sepatu putih dan sebuah map di tangan --
penonton bersorak: "Hei Gepeng ! Untung ada siapa Peng . . . "
Tapi Gepeng rupanya lagi tidak berselera melawak. Ia tidak
menjawab atau menoleh. Matanya lurus ke depan menatap ke meja
hakim, dan mulai mendengarkan tuduhan jaksa. Bahkan
rekan-rekannya sesama pelawak yang unjuk simpati di kursi
penonton pun tidak sempat diliriknya.
Dadang Sugiyatno, yang menjadi saksi utama di persidangan itu,
menyatakan inisiatif pembelian senjata itu dari Gepeng sendiri.
Ia cuma diserahi memegang pistol itu. "Karena saya bisa
menggunakan -- kan saya bekas ABRI," kata Dadang, yang mengaku
ikut gerilya waktu revolusi fisik.
Menurut Dadang, ia pernah menanyakan surat-surat senjata itu
kepada Gepeng. Tapi majikannya itu hanya menjawab, akan
mengurusnya melalui seorang teman, anggota Bakin. Dan Gepeng,
atas pertanyaan hakim, mengaku baru belakangan tahu bahwa
menyimpan pistol itu perlu surat. Itu pun, katanya, ketika
diingatkan temannya, Tarzan. "Sebelumnya saya kira sudah sah,
karena pistol itu ada nomornya," ujar Gepeng, yang tentu saja
mengundang gelak penonton. Tapi, kata Gepeng, sebenarnyalah ia
tidak sempat mengurus surat izin. Sibuk. Akan halnya anggota
Bakin yang disebut Dadang, katanya, "hanya penggemar, bukan
mengurus senjata."
Tapi untuk apa sebenarnya ia mesti punya pistol segala?
Satu-satunya alasan Gepeng takut diperas gali. "Gepeng sering
dimintai uang oleh gali, sambung saksi Dadang. Macam-macam
alasan yang dipakai gali untuk minta bagian rezeki Gepeng:
dari untuk jajan sampai beli karcis kereta pulang ke "Jawa".
"Biasanya Gepeng memberi Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu," tambah
Dadang lagi.
Dengan itu Dadang membantah keras bahwa senjata itu dimaksudkan
untuk berbuat kejahatan. Pistol itu, menurut Dadang, semata-mata
dipakainya untuk mengawal Gepeng jika mengadakan pertunjukan.
"Tapi saya tidak menyentuhnya," ujar Dadang lagi. Berkat senjata
itu, tambah Dadang, para gali sedikit segan. "Mereka tidak
sebuas dulu lagi kalau meminta uang," katanya.
Satu-satunya yang masih gelap dari perkara itu adalah bisnis
gelap senjata api. Gepeng, yang mengaku tidak bisa mengunakan
pistol, konon ditawari senjata itu oleh Syahrial. "Karena
ditawari, saya mau," ujar Gepeng. Ia pun merasa tidak perlu
mengusut dari mana Syahrial mendapatkan dagangannya. Yang jelas
ia membeli senjata itu dengan harga Rp 250 ribu.
Majelis hakim pun tidak pula perlu membuat terang bisnis gelap
itu. Saksi kunci perkara itu, Syahrial, nyatanya tidak dipanggil
untuk hadir di persidangan. Ketua Majelis Hakim, Setyo Harsoyo,
merasa cukup membacakan sendiri kesaksian Syahrial di berita
acara pemeriksaan.
Syahrial, di pemeriksaan pendahuluan, membenarkan bahwa menjual
pistol itu kepada Gepeng dengan dua kali angsuran. Pertama Rp
150 ribu dan belakangan Rp 100 ribu. "Gepeng bertanya dan
menyuruh saya mencari senjata," kata Syahrial, seperti dibacakan
hakim. Setelah pistol itu di tangan Gepeng, menurut Syahrial
lagi, ia diingatkan oleh pelawak itu agar jangan membocorkan
jual-beli itu kepada orang lain.
Kesaksian tertulis itu dibantah oleh Gepeng, "Pak, bukan saya
yang cari senjata. Dia yang menawari dan ia pula yang menyuruh
saya agar tidak bilang kepada siapa saja," kata Gepeng serius
dengan nada tingi. Siapa yang benar? Kabur. Lebih kabur lagi
asal-usul senjata gelap itu. (lihat: Liku-liku Si Bongkok).
Yang agak terang mungkin hanya nasib Gepeng. Dalam sidang hari
itu Majelis Hakim mengabulkan permohonan pembelanya, Ridwan,
untuk memberikan tahanan luar bagi Gepeng. Artinya Gepeng sudah
bisa meninggalkan Solo untuk menyelesaikan filmnya, Gepeng
Mencari untung di Jakarta. Ia cukup hadir mendengarkan
tuntutan jaksa pekan ini. Untuk semua itu boss Srimulat, Teguh,
harus merogoh kantung Rp 5 juta sebagai jaminan tahanan luar
bagi anak buahnya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo