Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIAM ternyata bukan emas bagi empat siswa SMP Negeri IV Curup, Bengkulu. Bahkan akibatnya lebih gawat, karena Idrus Vani, 44 tahun, kepala sekolah itu, kian merajalela. Mula-mula, Nunung (nama samaran), 15 tahun, yang cantik itu dipanggil Idrus karena enam hari absen, Agustus silam. Di ruang kerjanya Idrus mencerobohi Nunung. Meski meronta, Nunung tidak berteriak. Ia juga tidak mengadukan nasib empat anak itu. Ia takut. Karena Nunung tutup mulut, Tini (bukan nama sebenarnya), 15 tahun, jadi korban lagi. Lalu Leni (juga nama samaran), 14 tahun. Caranya, Idrus berlaku bagai seorang bapak. ''Ngepang rambut jangan begini,'' kata Idrus sambil melepaskan ikat rambut Leni. Tapi, setelah itu, bibir Leni diciuminya. Tiga korban masih tutup mulut, hingga Idrus yang berkumis tebal itu merasa leluasa menggarap Nia (juga nama samaran), 16 tahun. Gadis manis yatim piatu ini dijadikan anak asuh oleh Idrus. Ia dibebaskan dari uang SPP dan BP3. Buku gratis. Dibelikan baju pula. Maka, kakak Nia menganggap Idrus pengganti almarhum ayahnya. Pada Agustus lalu, Nia dijemput Idrus. ''Untuk menyiram kembang di sekolah,'' katanya. Kakak Nia mengizinkannya. Sesampai di sekolah, Idrus membawa Nia ke kantornya, dan menggagahinya. Selesai mengobral nafsunya, Idrus memberi Nia Rp 20.000 dan menyuruhnya tutup mulut. Anak kedua dari lima bersaudara ini pun tidak mengadu pada orang lain. ''Saya pernah dicekik,'' kata Nia, belakangan. Ia mengaku dicabuli gurunya empat kali. Ulah bengkok sang guru terungkap ketika Nunung dan Leni menjenguk Tini yang tak masuk sekolah. Dari obrolan saat itu urusan yang tak beres ini terungkap. Mereka mengadu ke Polres Rejang Lebong, awal November lampau. Nia juga mengadu. Hasil visum Nia malah menguatkan kelaminnya rusak. Seminggu kemudian Idrus ditangkap. ''Tersangka sudah mengakui perbuatannya,'' kata Letnan Kolonel J. Srijono, Kapolres Rejang Lebong. Hanya saja, Idrus menolak ditemui TEMPO. ''Ia khawatir kalau anak-anaknya membaca berita itu, dan masa depannya akan hancur,'' kata polisi, mengutip Idrus. Senada dengan kisah tadi, adalah Sugimin, 49 tahun, Kepala SMP Muhammadiyah, merangkap guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di Tepus, Gunungkidul, Yogya. Ia dituduh mencabuli muridnya, Ati (nama samaran), 16 tahun, pada Agustus dan September 1992, di rumah korban. Semula Ati dan orang tuanya sangat terkesan pada Guru Sugimin, yang sering meminjami buku PMP, dan memberi les privat. Sampai pada suatu hari sang guru minta diservis Ati. Kalau tidak mau, Ati tidak akan diberi nomor ujian alias tak bisa ujian. Siswi kelas III yang selalu menduduki jenjang pertama itu tak bisa menolak. Ketika di hari lain ia minta adegan ulangan, ulahnya diketahui Witono, tetangga Ati. Buntutnya, Ati malu ke sekolah. Kasus ini pun terungkap. Visum menguatkan bahwa korban disebadani Sugimin. Tapi, visum yang dibuat dua bulan setelah kejadian itu dianggap kurang kuat sebagai bukti. Alhasil, tuduhan perkosaan tak terbukti -- kecuali sekadar penggerayangan. Karena korban secara psikis menderita, yaitu tidak mau sekolah dan menanggung malu seumur hidup, Sugimin, yang diadili di Pengadilan Negeri Wonosari, Gunungkidul, diganjar hukuman enam tahun penjara, Kamis pekan lalu. ''Sebagai kepala sekolah, dan guru PMP, perbuatannya jelas menyimpang dari ajaran moral Pancasila,'' kata Hakim Sudi Supardi yang mengadilinya. Sugimin naik banding. Widi Yarmanto dan Heddy Lugito (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo