Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sprindik Baru untuk Eddy Hiariej

KPK berencana menerbitkan sprindik baru untuk Eddy Hiariej, tapi tidak memulai lagi proses hukumnya dari penyelidikan.

8 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK berencana menerbitkan sprindik baru untuk Eddy Hiariej.

  • Meskipun putusan praperadilan menyatakan penyelidikan bukan proses yang pro justitia, KPK tetap berpegangan pada Pasal 44 UU KPK.

  • Lembaga antirasuah itu pun diminta bergerak cepat agar Eddy tak kembali mengajukan praperadilan dan lepas lagi dari jerat hukum.

JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana kembali menjerat eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej sebagai tersangka. Lembaga antirasuah itu akan menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru terhadap Eddy.

Sprindik baru itu keluar karena sebelumnya langkah KPK menetapkan Eddy sebagai tersangka harus terhenti setelah kalah dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 30 Januari 2024. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan para pemimpin telah mendorong agar Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi menerbitkan sprindik itu. "Terbitkan sprindik baru. Kapannya, yang penting sudah kita perintahkan. Ikuti saja itu apa yang jadi mau hakim," katanya saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu, 6 Maret 2024.

Alex mengatakan, setelah sprindik keluar, Eddy nantinya langsung menyandang status tersangka. Mantan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu menyatakan mereka tak akan mengulang proses hukum terhadap Eddy dari awal atau penyelidikan hingga gelar perkara. Sebab, kata Alex, penyidik yakin sudah mengantongi bukti yang cukup untuk menjerat Eddy. "Enggak perlu ekspose lagi karena, di tahap penyidikan, bukti cukup. Ini kan hanya terkait dengan mekanisme penetapan tersangka," ujarnya.

Pengacara Eddy Hiariej, Ricky Sitohang, mengaku belum mendapatkan info bahwa KPK akan kembali memulai penyidikan terhadap kliennya. Sehingga belum bisa berkomentar banyak terkait dengan langkah KPK itu. “Saya belum tahu instruksi itu. Saya koordinasi dulu, ya,” kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eddy Hiariej awalnya menjadi tersangka karena menerima suap dari pengusaha Helmut Hermawan. Kasus ini bermula dari laporan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso ke KPK pada 14 Maret 2023. Eddy diduga memperdagangkan kewenangannya sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan milik Helmut, yang mengantongi konsesi 2.000 hektare tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Eddy diduga menerima suap senilai Rp 8 miliar melalui dua asistennya, Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Ari Rukmana.

KPK mengeluarkan surat perintah penyelidikan kasus ini pada 19 Mei 2023. Pada tahap itu, para penyelidik di Kuningan—lokasi kantor KPK—telah meminta keterangan 17 orang dan mengumpulkan puluhan dokumen yang memperlihatkan keterlibatan Eddy, Yogi, dan Yosi dalam menerima aliran dana dari Helmut.

Berbekal keterangan dan alat bukti tersebut, KPK menetapkan empat orang itu sebagai tersangka. Dalam laporan majalah Tempo edisi Ahad, 5 November 2023, disebutkan bahwa KPK menetapkan Eddy sebagai tersangka dalam gelar perkara pada 27 September 2023. Dalam sidang terungkap sprindik terhadap Eddy dikeluarkan pada 24 November 2023.


Eddy kemudian mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada Januari 2024. Dalam putusannya, hakim tunggal Estiono menyatakan penetapan status tersangka terhadap Eddy tidak sah karena penetapannya berdasarkan alat bukti yang dikumpulkan pada tahap penyelidikan.

Mengutip Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Estiono berpandangan bahwa penyelidikan bukanlah proses pro justitia, sehingga alat bukti yang dikumpulkan untuk menetapkan Eddy sebagai tersangka dianggap tidak sah. Estiono berpendapat bahwa KPK seharusnya menetapkan Eddy setelah lebih dulu meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan.

Estiono tidak menghiraukan argumentasi KPK yang menggunakan Pasal 44 Undang-Undang KPK. Pasal itu mengatur soal penyelidikan yang dilakukan untuk mencari bukti yang cukup. “Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup, yaitu paling sedikit dua jenis alat bukti,” kata Estiono saat membacakan putusannya.

Edward Omar Sharief Hiariej setelah memenuhi panggilan penyidik untuk menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Juli 2023. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya Eddy yang lepas dari jerat KPK. Helmut Hermawan, yang belakangan mengajukan praperadilan, juga menang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim tunggal Tumpanuli Marbun melepaskan Helmut dari status tersangka pada 27 Februari 2024.

Argumentasi yang digunakan hakim pun nyaris sama. Tumpanuli menilai penetapan Helmut sebagai tersangka tak sesuai dengan ketentuan KUHAP. KPK disebut lebih dulu menetapkan Helmut, baru kemudian melakukan pencarian alat bukti. Helmut yang telah ditahan oleh KPK pun akhirnya dilepaskan.

Alex kembali menegaskan substansi Pasal 44 UU KPK. Dia menyatakan, saat status kasus naik dari penyelidikan ke penyidikan, lembaga antirasuah itu sudah menetapkan tersangka. Sebab, kata Alex, KPK telah melengkapi alat buktinya saat di tahap penyelidikan. “Selama 20 tahun KPK menggunakan Pasal 44, yaitu dalam tahap penyelidikan ketika cukup alat bukti, maka rapat pimpinan kemudian dilakukan ekspose dan kami umumkan tersangka," ucap Alex.

Wakil Ketua KPK ini menyatakan pihaknya tentu menghormati putusan PN Jakarta Selatan. Hal itu, menurut dia, akan menjadi kajian lembaganya ke depan. "Tentu juga menjadi kajian buat kami, mungkin ke depannya kami ubah SOP (standard operating procedure) misalnya," kata Alex.

Eks penyidik KPK, M. Praswad Nugraha, mengatakan KPK perlu mengatur strategi agar Eddy tidak lagi mengajukan praperadilan dan kembali berpeluang lepas dari jerat pidana. Praswad mengatakan KPK perlu menegaskan bahwa mereka berpegangan pada Pasal 44 UU KPK di mana bukti permulaan dilakukan pada tahap penyelidikan.

“UU KPK berlaku lex spesialis. Ini harus ditegaskan dan diterangkan seterang-terangnya untuk menghindari potensi digunakannya kembali strategi praperadilan yang sama,” kata Praswad.

Menurut dia, langkah seperti ini pernah digunakan dalam kasus korupsi e-KTP. Saat itu, KPK menjerat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto karena diduga menerima suap. Setya sempat mengajukan praperadilan dan dimenangkan PN Jakarta Selatan. Walhasil, KPK harus mengulang proses hukum terhadap politikus Partai Golkar itu dari tahap penyelidikan sebelum menetapkannya lagi sebagai tersangka.

Hanya, Praswad menilai KPK harus bergerak cepat kali ini. Menurut dia, penyidik harus segera menyerahkan berkas perkara ke pengadilan jika tak mau guru besar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu kembali mengajukan praperadilan. “Segera tetapkan Wamenkumham kembali sebagai tersangka dan langsung limpahkan ke pengadilan,” kata dia.

Praswad menjelaskan, alasan KPK bisa menetapkan status tersangka saat kasus naik tahap dari penyelidikan ke penyidikan adalah KPK perlu membangun kasus yang solid pada tahap penyelidikan, sehingga proses penyidikan dapat dilakukan secara cepat. “Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa UU KPK berlaku lex specialis kepada KPK,” kata Praswad.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | MUTIA YUANTISYA | NOVALI PANJI NUGROHO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus