Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, mengatakan pelimpahan perkara Tahap II terhadap dua aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar sebagai bentuk keangkuhan dan kesombongan kekuasaan. Menurut dia, kasus ini seharusnya tidak bisa diproses secara hukum karena hak berpendapat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Bambang, Fatia dan Haris selalu pembela HAM hanya menggunakan haknya untuk mengeluarkan pendapat yang sepenuhnya ditujukan kepada unsur kekuasaan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Keangkuhan dan kesombongan kekuasaan yang disertai dengan instrumentasi alat institusi penegakan hukum, kembali diekspresikan pada hari ini, tanggal 6 Maret 2023 melalui Proses Pelimpahan Perkara Tahap II atas dugaan kriminalisasi Fatia dan Haris,” kata Bambang dalam pernyataan tertulisnya, Senin, 6 Maret 2023.
Situasi saat ini lebih buruk dari Era Orde Lama
Bambang Widjojanto menjelaskan alasan dia menyebut perkara ini sebagai bentuk kesombongan dan keangkuhan. Pasalnya, terdapat fakta dan kecendrungan semakin rendahnya toleransi kekuasaan atas kritik, kian miskinnya kekayaan rasa bahasa dalam percakapan, serta penggunaan hukum sebagai “alat pemukul” di dalam “toleransi dan rasa bahasa”.
“Hal ini makin jelas dan faktual jika banding Orde Reformasi dengan Orde Lama, di mana Orde Reformasi menjadi jauh lebih buruk dengan situasi Orde Lama,” kata Bambang.
Bambang mengulas kembali era Orde Lama. Ia menuturkan saat itu kelompok Anti Soekarno pernah membuat Bung Karno naik pitam karena memberi Hartini ‘gelar’ menyakitkan, yakni "Lonte Agung".
Saat itu beredar frasa, "Satu menteri satu istri atau "Stop impor istri". Frasa ini merupakan kritik terhadap istri Soekarno lainnya yang berdarah Jepang, Ratna Sari Dewi.
“Fakta sejarah menegaskan, Soekarno tidak pernah pernah menggunakan institusi penegakkan hukum untuk menghardik dan mengkriminalkan para pengeritiknya. Lalu, kenapa hari ini menjadi jauh lebih buruk?” tutur Bambang.
Selanjutnya, Haris dan Fatia dianggap hanya membeberkan situasi pelanggaran HAM di Papua
Bambang menilai apa yang dilakukan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar ditujukan untuk membeberkan situasi HAM di Papua atas dugaan eksploitasi sejumlah perusahaan yang menyebabkan kerusakan di Papua.
Adapun pernyataan yang menyebutkan nama “Lord Lunut” di dalam kanal YouTube Haris Azhar adalah hasil dari riset. Apalagi, percakapan di kanal tersebut merupakan bentuk pernyataan atas dasar kepentingan publik yang harus dibuka seluas-luasnya. Pernyataan keduanya muncul karena situasi politik dan dugaan keterlibatan pejabat publik dalam ekstraktif industri di Indonesia yang mengakibatkan banyaknya faktor pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
“Tindakan penegak hukum yang dilakukan pada hari ini, 6 Maret 2023 potensial disebut didaulat sebagai hari kriminalisasi, jika kekuasaan masih terus memaklumatkan keangkuhannya dan memaksakan kepentingannya,” kata dia.
Penegak hukum melanggar hak konstitusi Haris dan Fatia
Padahal, ucap Bambang, hal tersebut melawan Konstitusi, UU HAM dan berbagai peraturan perundangan lainnya. Di dalam Konstitusi, khususnya di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan di Pasal 44 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta di dalam Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 telah dikemukakan secara eksplisit.
“Ketiga pasal di atas menegaskan dengan sangat jelas dengan menyatakan ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat’,” ujar dia.
Bambang mengatakan publik mengharapkan agar Jaksa Agung Burhanuddin untuk melakukan tindakan hukum yang mencerminkan perwujudan dari Negara Hukum yang demokratis sesuai konstitusi.
“Kejaksaan Agung mesti mengesampingkan perkara dua aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2),” ujar dia.
Selanjutnya awal mula kasus pelaporan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti ke polisi karena dianggap mencemarkan nama baiknya.
Luhut mempermasalahkan video yang diunggah Haris Azhar dalam saluran media sosial Youtube miliknya. Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas hasil riset sejumlah organisasi, antara lain KontraS, Walhi, Jatam, YLBHI, Pusaka.
Riset itu tentang keterlibatan para pejabat atau purnawirawan TNI Angkatan Darat dalam bisnis pertambangan Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.
“Luhut bisa dibilang bermain, di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini,” kata Fatia dalam video yang ditayangkan pada 20 Agustus 2021.
Luhut juga mempermasalahkan judul video, Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”.
Luhut sempat dua kali memberikan somasi, salah satu isinya meminta Haris dan Fatia menyampaikan maaf. Merasa jawaban Fatia dan Haris tak memuaskan, Luhut melapor ke Polda Metro Jaya.
Upaya kepolisian untuk melakukan mediasi gagal. Mediasi pertama dibatalkan, karena Luhut tengah dinas di luar negeri. Mediasi kedua batal lantaran Haris dan Fatia tidak hadir. Luhut menganggap tak perlu lagi mediasi. Ia merasa, lebih baik bertemu di pengadilan.
Menurut kuasa hukum Haris, Nurkholis Hidayat, tak masalah jika Luhut minta kasusnya langsung dibawa ke pengadilan. Namun, Nurkholis mengatakan gagalnya mediasi kedua di Polda Metro Jaya diklaim sepihak oleh Luhut. Kata Nurkholis, penyidik telah diberi tahu, salah satu pihak tak bisa hadir.
Polda Metro Jaya kemudian menetapkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka. Hari ini, penyidik menyerahkan keduanya ke Kejaksaan Agung.
EKA YUDHA SAPUTRA | HENDRIK KHOIRUL MUHID | WAHYU DIAHSARI