Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Eksekusi sebelum vonis

Rumah brata chandrawan yang kalah berperkara dilelang pengadilan jak-pus. vonisnya sudah dibatalkan pengadilan banding. rumah brata mestinya tidak dilelang karena vonisnya bersifat pernyataan. (hk)

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CORAT-CORET kini menghiasi rumah tua di Jalan Cideng Timur 60 di Jakarta Pusat. "Di mana letak keadilan? Hukum hanya untuk si kaya," begitu bunyi salah satu coretan itu. Rumah di atas tanah 570 m2 itu, sejak pekan lalu sampai awal pekan ini, memang dikerumuni penduduk sekitarnya karena dikosongkan secara paksa oleh petugas pengadilan dengan bantuan polisi dan tentara. Seperti biasanya, dalam kejadian seperti itu, ketegangan sempat terjadi antara petugas dan pihak penghuni rumah yang mencoba bertahan. Bahkan, di awal pengosongan, petugas sempat terhalang oleh perlawanan pihak penghuni yang kalah beperkara. "Ini perampokan," teriak salah seorang, ketika perabot rumah diangkati petugas ke truk-truk yang disediakan. Cerita pengosongan di atas tidak seistimewa proses perkara rumah itu, terutama kasus pelelangannya. Rumah itu dilelang pada 29 September 1984, karena penghuni rumah, Brata Chandrawan dan saudara-saudaranya, kalah beperkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam vonis pengadilan itu disebutkan bahwa keputusan bisa dilaksanakan lebih dulu walau ada pihak yang naik banding (uitvoerbaar bij voorraad). Tapi, yang aneh, ketika pelelangan terjadi sebenarnya vonis itu sudah diperbaiki Pengadilan Tinggi Jakarta, sebulan sebelumnya, sehingga tidak lagi ada catatan uitvoerbaar bij voorraad. Tapi, entah kenapa, ketika itu lelang dilaksanakan juga. Yudha Sulaiman, yang memenangkan lelang dengan harga Rp 100 juta, tentu saja menuntut pengosongan rumah itu, kendati perkara masih menunggu proses di tingkat kasasi. Baru pekan lalu rumah itu dikosongkan dengan paksa. "Perkara itu memang banyak cacat hukumnya," kata Denny Kailimang, pengacara tergugat, yang ikut menyaksikan pengosongan rumah itu. Cacat? Rumah yang sehari-hari digunakan Brata sebagai toko kelontong dan kertas itu semula milik ayahnya, Suwandi, alias Tan Boen Pin. Ketika Suwandi meninggal, 1975, selain meninggalkan 8 orang anak, juga wasiat waris. Dalam surat wasiat yang dibuat di notaris itu, Brata mendapat 6/10 bagian, sementara tiga orang saudara lelakinya yang lain, Tan Kauw Tong 2/10, Hartawan 1/10, dan Tan Im Tong 1/10 bagian. Tiga orang anak perempuannya, Tjoe Kim Nio, Tan Tjoe San Njong dan Liana, serta seorang anak lelakinya dari istri lain, Thjin Lie Tong, tidak mendapatkan warisan. Gara-gara wasiat Suwandi itulah perkara muncul. Kecuali Thjin Lie Tong, lima orang anak Suwandi menggugat pembagian warisan. Hakim Ruwiyanto, yang mengadili perkara itu, 1981, membagi warisan menjadi 60/560 bagian untuk setiap penggugat, 195/ 560 bagian untuk Brata, dan 65/560 bagian untuk Tan Kauw Tong. Keputusan itu segera berkekuatan pasti karena tidak ada pihak yang banding. Tapi, anehnya, gugatan yang sama oleh pihak-pihak yang sama diulang dua tahun kemudian. Hakim B.E.D. Siregar, yang memeriksa kasus itu, memutuskan seperti apa yang pernah diputuskan Hakim Ruwiyanto. Hanya saja, dalam vonis 1 Maret 1984 itu, Siregar memberi catatan: vonis itu bisa dilaksanakan lebih dulu kendati ada yang naik banding. Brata naik banding. Majelis Pengadilan Tinggi Jakarta, 31 Agustus 1984, memperbaiki kembali keputusan pengadilan bawahan. Dalam vonis itu, majelis yang diketuai Bambang Soemedhy memutuskan, warisan dibagi sama banyak. Hakim banding juga tidak lagi mengharuskan kepusan itu segera dilaksanakan. Perkara naik ke tingkat kasasi. Tapi di sini keanehan terjadi lagi. Sebelum keputusan kasasi turun, September 1984, pihak pengadilan melelang rumah sengketa berdasarkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Waktu mau dilelang, saya sudah memohon agar Mahkamah Agung menangguhkannya, tapi tetap saja dilelang," ujar Brata. Ia meminta penangguhan itu karena bersedia membayar hak saudara-saudaranya yang lain dalam bentuk uang. Bahkan, salah seorang dari penggugat, Hartawan, katanya, sudah diberinya ganti rugi Rp 10 juta sebelum perkara ke pengadilan. Hasil lelang sebanyak Rp 100 juta itu, kata Brata, sudah diambil para penggugat masing-masing haknya Rp 11 juta. Tapi ia bersama Tan Kauw Tong tidak mengambil bagiannya, Rp 56 juta, dan tetap mendiami rumah yang sudah terlelang itu. Dua bulan kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan rumah itu dikosongkan. Tapi, untunglah, Hakim Agung Pengawas Jakarta, waktu itu A. Soedjadi, menangguhkan pelaksanaan pengosongan. Alasannya: keputusan uitvoerbaar bij voorraad yang mendasari pelelangan itu sudah dibatalkan peradilan banding. Brata masih bernapas sampai dua tahun kemudian. Agustus lalu, kata akhir datang dari Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto, yang memerintahkan pengosongan diteruskan. Surat Purwoto itu belakangan dikuatkan pula oleh Hakim Agung Pengawas Jakarta R. Soebijanto. Sebab itulah, pekan lalu, penghuni rumah di Cideng Timur 60 itu, Brata, Thjin Lie Tong, Tan Kauw Tong, dan Tan Im Tong, harus berangkat dari rumah sengketa. Padahal, sampai pengosongan dilakukan, Brata masih menunggu-nunggu vonis kasasi turun dari Mahkamah Agung. Denny Kailimang menganggap semua proses pelelangan dan pengosongan rumah itu tidak benar. "Sebab, ketika lelang dilakukan, vonis pengadilan yang mendasari lelang sudah dibatalkan pengadilan banding," kata Denny. Kecuali itu, Denny juga menganggap, vonis Pengadilan egeri Jakarta Pusat hanya bersifat declaratoir (pernyataan). Artinya: dalam vonis seperti itu hanya disebutkan siapa-siapa pewaris dan tidak ada yang terkena hukuman. "Jadi, seharusnya harta warisan dibagi menurut vonis itu sesuai dengan kesepakatan para pihak -- bukan dengan memaksakan lelang," ujar Denny. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Soebandi, mengaku tidak tahu-menahu mengenai proses perkara itu sebelumnya -- ia memang baru menJabat ketua d pengadilannya setelah lelang terjadi. "Yang jelas, sekarang rumah itu harus dikosongkan, karena sudah dilelang. Pemenang lelang harus dilindungi karena dianggap beritikad baik, dan untuk itu pun sudah ada perintah Mahkamah Agung," kata Soebandi. Kalau ada kekeliruan? "Andai kata ada kesalahan, itu kebijaksanaan ketua sebelum saya," kata Soebandi. Sementara itu, Wakil Ketua Mahkamah Agung, Purwoto, sependapat dengan Soebandi. "Jelas, rumah itu sudah dilelang dan hasilnya sudah dibagi para ahli waris, karena itu harus dikosongkan. Jika ada yang tidak menerima uang lelang, itu bukan urusan saya," kata Purwoto. Apalagi, kata Purwoto, kini sebenarnya putusan sudah turun yang menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Apa itu hanya dipas-paskan saja dengan ketelanjuran pengadilan melelang rumah orang? "Tidak, itu sudah sesuai dengan hukum," kata Purwoto. Karni Ilyas Laporan Happy S.& Agus B. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus