Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengecam penyitaan buku-buku yang menyinggung Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tindakan tersebut telah mengingkari prinsip-prinsip perlindungan kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi, selain juga tak sejalan dengan prinsip due process of law," kata Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman dalam siaran tertulisnya, Kamis, 10 Januari 2019.
Penyapuan terhadap buku-buku yang dianggap PKI atau marxis belum lama ini terjadi. Setelah sebelumnya di Kediri, Jawa Timur, tindakan serupa dilakukan oleh tim gabungan TNI dan kejaksaan di Padang, Sumatera Barat, pada Selasa, 8 Januari 2019.
Beberapa buku diambil dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme atau marxisme. Padahal, kata Wahyu, konten dari sejumlah buku tersebut berisi sejarah perjalanan bangsa yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya.
Wahyu menuturkan, tindakan penyapuan dan pelarangan oleh tim gabungan TNI didasarkan pada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999, tentang larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme/leninisme.
Meski aturan tersebut secara konstitusional dapat dikatakan tidak lagi sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyebarkannya dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Menurut Wahyu, Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri dalam putusan Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada pengujian UU Nomor 4 PNPS/1963 tentang Pelarangan Barang-Barang Cetakan, berpendapat bahwa pelarangan dan penyitaan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tanpa proses peradilan merupakan bentuk pelanggaran terhadap negara hukum (rule of law).
Tindakan itu, kata Wahyu, sama juga dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang, yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tentang perlindungan terhadap hak milik.
Wahyu mengatakan, melalui pertimbangan itu, MK kemudian membatalkan UU Nomor 4/PNPS/1963, yang secara otomatis pula membubarkan tim pelarangan buku (clearing house) yang dibentuk Kejaksaan Agung.
Putusan MK tersebut mengharuskan setiap pelarangan terlebih dahulu diputuskan melalui suatu proses peradilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
"Dengan begitu, segala tindakan penyapuan dan pelarangan terhadap buku-buku kiri, sesungguhnya telah kehilangan legitimasi dan dasar hukum, serta menyalahi prinsip-prinsip due process of law," kata Wahyu mengomentari penyitaan buku berbau PKI.