Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) melayangkan surat terbuka yang isinya menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Soeharto. Adapun surat terbuka itu ditujukan ke Ketua Majelis Permusyawaratan (MPR) periode 2024-2029, Ahmad Muzani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Gemas, pengusulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang dilakukannya selama 32 tahun memimpin Indonesia. Soeharto dicap sebagai perusak lingkungan, pelanggar hak asasi manusia, dan melakukan kekerasan kepada warga sipil semasa menjabat sebagai presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Soeharto telah mengubah negara menjadi mesin pembunuh, tidak berpihak pada rakyat, serta tidak mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM," kata Gemas melalui surat terbukanya di laman Koalisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Selasa, 5 November 2024. "Berdasarkan rekam jejak buruk dan berdarah dari Soeharto tersebut, kami menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto."
Organisasi ini menilai Indonesia tidak akan melangkah lebih maju jika pelanggaran HAM masa lalu tak pernah dituntaskan. Penyerahan surat terbuka itu juga diklaim sebagai langkah mengawal demokrasi dan menentukan arah masa depan bangsa yang lebih ramah terhadap masyarakat sipil.
"Pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi di Indonesia yang telah terjadi selama pemerintahan otoriter orde baru, seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia dalam melangkah ke depan," ujar Gemas.
Soal rekam jejak Soeharto dalam pelanggaran HAM, Komnas HAM telah menetapkan 9 kasus yang menyeret nama Presiden ke-2 RI itu. Kasus ini di antaranya peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, peristiwa Mei 1998, dan pembunuhan Dukun Santet 1998-1999.
Adapun soal keterlibatan Soeharto dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, Kejaksaan Agung pada September 1998 telah menemukan adanya indikasi penyimpangan dana yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto. Yayasan itu adalah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Berawal dari Penghapusan Nama Soeharto di TAP MPR
Ketua MPR periode 2019-2014, Bambang Soesatyo menyebut Soeharto layak dipertimbangkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Bambang pun sudah menggelar silaturahmi pimpinan MPR bersama keluarga besar Soeharto. Sekaligus menyerahkan surat jawaban untuk penghapusan nama Soeharto dari TAP XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau KKN.
"Rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto dipertimbangkan oleh pemerintahan yang akan datang untuk mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional," kata Bambang Soesatyo atau biasa dipanggil Bamsoet di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara IV, kompleks Senayan, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 28 September 2024.
Dia mengatakan, jasa dan pengabdian Soeharto besar terhadap bangsa Indonesia. Dia menyebut perihal Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade. "Beliau berjasa besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia beranjak dari negara miskin menjadi negara berkembang," ujar Bamsoet.
Bahkan Bamsoet menyinggung kondisi Indonesia sekitar tahun 1960-an yang menjadi salah satu perjalanan tersulit bagi bangsa. Pada tahun 1963, kata dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi atau minus 2,25 persen. Kemudian pada 1966, inflasi tercatat melonjak hingga 635,3 persen.
Menurut dia, tantangan tersebut tak menyurutkan langkah Soeharto, sehingga dapat membalikkan keadaan. Bamsoet mengklaim, pertumbuhan ekonomi pada masa itu dapat diatasi dan melonjak 12 persen dan inflasi ditekan menjadi kisaran 9,9 persen.
"Tahun 1976, Indonesia berhasil menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang sukses meluncurkan satelit dan tahun 1984, Indonesia sukses swasembada pangan. Hari ini, kita sukses dengan impor," tutur politikus Partai Golkar itu.
Annisa Febiola, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.