MARTABAT manusia sangat dijunjung tinggi di negeri ini, dulu, lebih dari setengah abad lalu, ketika bapak-bapak bangsa merumuskan cikal bakal Republik Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, martabat manusia hanya dibicarakan, dihafalkan (agar lulus penataran P4), dan diikrarkan (dalam berbagai upacara pada zaman Orde Baru), ketimbang diwujudkan.
Pemerintah transisi yang sekarang tampaknya merasa "berutang" kepada masyarakat, gara-gara "kehancuran" martabat manusia di tangan aparat penegak hukum. Agar aparat tak lagi sewenang-wenang, pekan-pekan ini DPR membahas perangkat hukum yang akan lebih menjamin hak-hak asasi tersebut. Perangkat bernama Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu diajukan pemerintah, Rabu dua pekan lalu, melalui Menteri Kehakiman Muladi.
Dalam rancangan tersebut, dirinci hak-hak untuk hidup, berkeluarga, mengembangkan diri, keadilan, kemerdekaan, keamanan, kesejahteraan, keikutsertaan dalam pemerintahan, plus hak anak dan wanita. Ada juga pasal-pasal tentang kewajiban, di antaranya membela negara, menghormati hak asasi orang lain, tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di situ juga diatur berbagai ketentuan yang harus dipenuhi pemerintah demi menegakkan hak asasi.
Pendek kata, hak-hak asasi manusia yang menjunjung tinggi martabat manusia itu tercakup dalam 136 pasal. Jangkauannya tak kalah dibandingkan dengan 30 pasal hak asasi manusia pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, juga Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Rancangan itu bisa disebut semacam Bill of Rights ala Indonesia, mencontoh Bill of Rights nan tersohor dari Inggris, yang dicetuskan pada 1689. Memang, Indonesia ketinggalan 310 tahun. Tapi, bak kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak.
Di luar dugaan, ada yang beranggapan pengaturan hak asasi manusia dalam undang-undang itu tidak tepat. "Memuat hak asasi manusia dalam undang-undang sama dengan merendahkan hak asasi itu sendiri," ujar ahli hukum tata negara, Harun Alrasid. Alasannya adalah, berdasarkan teori konstitusi ataupun praktek di banyak negara—termasuk Indonesia pada 1949 dan 1950—hak asasi manusia yang bersifat fundamental mestinya diatur dalam konstitusi (undang-undang dasar).
Beberapa tokoh politik—di antaranya Nurcholish Madjid—menyarankan agar UUD 1945, yang hanya memuat tujuh pasal tentang hak asasi manusia, segera diganti dengan UUD yang memuat lengkap hak-hak dasar tersebut.
Tapi, pendapat Harun ditepis oleh koleganya di Universitas Indonesia, Ismail Suny. "Tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa hak asasi manusia tak boleh diatur dengan undang-undang," ucap Ismail. Buktinya, Bill of Rights (deklarasi hak asasi manusia) Inggris, juga Amerika, berbentuk undang-undang.
Justru rancangan yang dibicarakan di DPR itu akan mengatur lebih rinci hal-hal pokok yang dimuat dalam UUD 1945 dan Tap MPR Nomor XVII Tahun 1998. Dan, untuk saat ini, "Lebih baik tidak mengutak-utik UUD 1945. Kalau perekat persatuan bangsa itu diamandemen, nanti malah timbul polemik amat berat," kata Menteri Muladi.
Sesungguhnya, dari segi hukum tata negara, bukan hanya "rumah" undang-undang itu yang menjadi masalah. Pengaturan tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang digabung dengan ketentuan hak-hak asasi manusia pada rancangan tersebut, juga menimbulkan silang pendapat.
Soalnya, wewenang komisi itu—bisa menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia dan memeriksa orang—sebetulnya merupakan wewenang DPR, dengan hak angketnya (menyelidiki). Bila paham konstitusionalisme dan pemberdayaan DPR mau dipertahankan, seharusnya komisi tersebut tak perlu ada. Jadi, berbagai urusan pelanggaran hak asasi, juga penyelidikan atas penyelewengan pemerintah, ditangani oleh DPR.
Kecuali itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang dilahirkan lewat keputusan presiden semasa Soeharto—awal 1993—menurut pengamatan Harun Alrasid, tak punya gigi. Berbagai pelanggaran hak asasi yang ditangani komisi itu tak pernah digubris oleh pemerintah. Sekadar contoh adalah kerusuhan 27 Juli 1996, yang terjadi saat kantor PDI Megawati diserbu orang-orang yang diperkuat oleh jajaran polisi dan tentara.
Argumentasi Harun lagi-lagi ditangkis Ismail. "Meningkatkan dasar hukum Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dari keputusan presiden menjadi undang-undang, justru akan memperkuat komisi itu," timpalnya. Kalau perlu, ketua komisinya setingkat dengan menteri sehingga bisa memeriksa pelanggaran hak asasi manusia di kalangan sipil maupun militer. Tentang hak angket DPR, Ismail menegaskan, cakupannya lebih luas ketimbang wewenang komisi tadi, yang hanya mengurusi masalah hak asasi manusia.
Happy Sulistyadi, Darmawan Sepriyossa, dan Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini