Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Handa, si nyawa rangkap

Karena bisikan halus. Suhanda, 35, menikam perutnya sendiri dengan pisau lipat. Usaha warga dan polisi gegana mencegah tak berhasil. suhanda sendiri mengaku tak sadar & menolak dikatakan ia berilmu.(krim)

20 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"TOLONG ... tolong .... suami saya bunuh diri," jerit wanita memecah Sabtu malam dua pekan lalu. Sekitar pukul setengah sebelas malam puluhan warga Kebon Sayur, Kelurahan Jembatan Besi, Jakarta Barat, menuju rumah Suhanda, asal jeritan tadi. "Kami kaget melihat Suhanda berlumuran darah," ujar Jajak, 30, salah seorang warga. Suhanda, 35, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir bajaj terlihat sedang menikam perutnya sendiri dengan pisau lipat. Mata lelaki berkulit hitam itu menatap tajam para tetangganya. Toh, orang-orang kampung itu terus merangsek maju. Mereka berusaha menyadarkan Suhanda dan berusaha merebut pisaunya. Istri Suhanda, Nyonya Rame, menjerit-jerit, lalu menangis. Di tengah kekisruhan itu, sambil tetap memegang pisau yang tertancap di lambung kanannya, Suhanda meneriakkan takbir, "Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...." Lalu membaca beberapa ayat Quran. Ketika beberapa orang termasuk istrinya mendekat, dengan cepat pria asal Karawang ini berkelebat. Seakan tanpa bobot, tubuh pria berbadan sedang itu tiba-tiba sudah hinggap di dinding bambu penyekat kamar. Sebelumnya dengan sekali kibas, tangan istrinya berdarah oleh sabetan pisau lipatnya. "Sudahlah, Nda, sadarlah. Lepaskan senjatamu," ujar beberapa warga. Suhanda, tak bergeming di ketinggian tiga meter dari lantai papan bilik kamarnya, menjawab, "Maafkanlah kesalahan saya. Kalian menghindarlah dari sini. Pisau ini berbahaya." Menyusul kata-katanya ia mencabut pisau dari perutnya dan menusukkannya pada leher kanannya. Darah mengucur. Beberapa orang berusaha menerobos lewat genting, untuk mendorong Suhanda ke lantai. Tetapi sia-sia. "Pegangannya sangat kuat," ujar Madisah, 40, wakil ketua RW yang mencoba menyodok Suhanda dengan bambu. Sementara terus membaca takbir dan beberapa ayat, Suhanda kembali beraksi, kali ini giliran lehernya sebelah kiri. Merasa usahanya sia-sia, beberapa penduduk menghubungi polisi. Menjelang tengah malam, beberapa polisi dari Polsek Tambora, Polsek terdekat, datang. Rayuan polisi pun gagal. Dan kembali kejadian berulang, pisau lipat itu merajah perut dan leher Suhanda. Darah terus menetes. Tiba-tiba . . . dor! Sebuah tembakan dilepas oleh polisi ke tangan Suhanda. Tepat. "Jaraknya paling jauh satu setengah meter pasti kena," ujar Kapolsek Tambora Mayor Makbul Padmanegara, mengutip laporan anak buahnya. Namun, polisi dan penduduk kaget terheran-heran. Peluru mental dan pisau tetap tergenggam. Maka, tengah malam itu juga tim penjinak bom dan teroris polisi, Gegana, dikontak. Setengah tiga malam itu, setelah sekitar empat jam Suhanda jadi tontonan, sebuah tabung gas air mata dilemparkan ke bilik sempit yang berukuran 3 x 3 meter itu. Asap mengepul, penduduk dan polisi yang tak bermasker berlari -- asap itu memerihkan mata. "Tapi si Handa tenang-tenang saja," ujar Makbul. Begitu juga ketika tabung kedua dilemparkan, Handa tetap tak bergeming. Orang-orang dan polisi akhirnya pasrah. Mereka hanya bisa melongo menyaksikan Suhanda membaca lafal ayat-ayat Quran dan terus memegang pisaunya. Darah terus menetes. Suasananya mencekam sampai ketika terdengar bum . . . sekitar jam setengah enam pagi -- sekitar tujuh jam sejak awal kejadian. Suhanda terjatuh lalu digotong beramai-ramai. Mereka mengira lelaki itu mati atau paling tidak pingsan. Tetapi ketika sampai di luar bilik, dengan kuat lelaki itu memberontak. Suhanda masih hidup. "Kami kaget dan lari," ujar Jajak, sang tetangga. Di pagi yang dingin itu Handa terjun ke Sungai Krendang, tak jauh dari perkampungan. Baru sekitar pukul enam, dengan pertolongan sebatang bambu ia bisa diselamatkan. Setelah diobati di RS Polri Kramat Jati, orang itu dibawa ke RSCM. Hingga kini tak diketahui dengan jelas motivasi Suhanda merajah tubuhnya sendiri. "Saya nggak sadar," ujar pria ini kepada TEMPO ketika didatangi di RSCM. Ia menolak bercerita tentang kisahnya itu. "Saya nggak sadar, jadi kalau cerita takut ngawur." Menurut cerita tetangganya, ulah Suhanda ini disebabkan oleh "ilmu" yang dimilikinya. Sebelum kejadian itu, Jumat siang, sekitar pukul sepuluh, pria yang dikenal ramah dan sangat halus itu pulang ke bilik kontrakannya. Kepada tetangga-tetangganya ia bercerita bahwa dirinya menerima bisikan halus. Konon, bisikan itu berkata "Nda, kamu jangan narik terus, ingatlah bersembahyang," ujar Jajak menirukan ucapan Suhanda. Mulai saat itu lelaki beranak satu ini terus kelihatan murung, lemas, dan tak mau keluar dari bilik yang disewanya Rp 60 ribu setahun. Kabarnya, mulai Sabtu siang Handa mulai sembahyang. Ia, ceritanya, juga menyesal karena meninggalkan kewajiban agama begitu lama. Tetapi Suhanda sendiri menolak dikatakan ia berilmu. "Ilmu kebal? Ah, ada ada saja...," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus