Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Haris Azhar Soroti Besaran Anggaran Sistem Digital di Indonesia, Mengendus Dugaan Penyelewengan Dana

Aktivis HAM dan Direktur Lokataru Haris Azhar menyoroti besarnya anggaran sistem digital di Indonesia. Mencium dugaan penyelewengan dana.

8 Juli 2024 | 18.45 WIB

Novel Baswedan, Aulia Postiera, dan Haris Azhar. Youtube
Perbesar
Novel Baswedan, Aulia Postiera, dan Haris Azhar. Youtube

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis HAM sekaligus Direktur Lokataru Haris Azhar menyoroti besarnya anggaran sistem digital di Indonesia yang diambil dari APBN dan APBD namun hasilnya tidak efektif. Pernyataan itu disampaikannya menanggapi rentannya data keamanan siber milik pemerintah. Terbaru, data di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) sempat diserang peretas Ransomware.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Kira-kira empat sampai lima tahun lalu kita pernah mengumpulkan web-web yang dibuat oleh K/L (kementerian atau lembaga) dan Pemda (pemerintah daerah), kebanyakan dibuat di Wordpress tapi menggunakan dana APBD,” kata Haris dalam siniar bersama eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dan penggiat IT Security Aulia Postiera di YouTube Novel Baswedan, tayang Ahad, 7 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dugaan korupsi pembangunan sistem digital

Menurut Haris, artinya ada belanja negara yang besar terhadap sistem, kapasitas, dan operasionalisasi digital. Penggunaan Wordpress yang keamanannya jelas lebih rentan tentu efektifnya menjadi pertanyaan.Haris mengibaratkan pemerintah seperti membeli kacang goreng dan menunjukkan bahwa mereka telah memiliki sistem digital.

“Ya itu mah cuman (seperti) belanja kacang goreng di depan, masukin toples, nih kita udah punya nih (sistem digital),” kata Haris.

“Lemah sekali berarti scurity-nya, ya?” ujar Novel.

“Pertanyaannya, efektif atau tidak?” kata Haris.

Anggaran besar namun hasil ecek-ecek tersebut membuat Haris mengendus adanya dugaan penyelewengan dana. Dia mempertanyakan selama ini adakah pihak yang melakukan audit. Pemeriksaan yang dilakukan, kata dia, bukan pada konteks tematik atau penggunaan pada institusional tertentu. Tapi dilihat secara horizontal dari K/L dan Pemda.

“Bukan pada tematik atau bukan pada institusional tertentu penggunaanya. Kan K/L sama Pemda biasanya begitu kan. Tapi dilihat secara horizontal dari semua K/L dan Pemda, penggunaan digital itu sebetulnya berapa besar? Sejauh mana efektifitas?” kata dia.

Haris mengatakan, penyelewengan dana kemungkinan tidak terjadi dalam pembelanjaan anggaran. Namun korupsi, kata dia, justru terjadi saat anggaran telah dibelanjakan tetapi tidak digunakan. Praktik seperti ini menurutnya banyak kejadian di instansi pemerintah. Sebab, belanja ecek-ecek adalah cara lazim rezim penguasa menggunakan anggaran besar.

Menanggapi itu, Novel mengatakan pihaknya juga mendengar bahwa fenomena ini kemudian membuat Kementerian Keuangan membatasi penggunaan anggaran untuk sistem digital. Besarnya anggaran, pihaknya menduga, membuka peluang besar terjadinya korupsi dana sistem digitalisasi. Apalagi jarang sekali adanya pemeriksaan terkait penyelewengan anggaran di kasus tersebut.

“Memang saya pernah dengar itu, dari aturan Kementerian Keuangan yang akhirnya membatasi pembuatan aplikasi ataupun website (pemerintah) karena dianggapnya terlalu berlebihan. Dan memang setahu saya anggarannya terlalu besar dan dugaan saya korupsinya juga besar. Tapi, jarang sekali diperiksa di kasus itu,” kata Novel Baswedan.

Alasan pemerintah bentuk PDNS

Sementara itu, menurut Aulia, alasan pemerintah membentuk PDN adalah untuk menyikapi adanya puluhan ribu sistem digital milik L/K dan Pemda yang memiliki kerentanan keamanan. Total, kata dia total ada 24,700 aplikasi yang ketika dibangun tidak ada standar keamanannya. Dengan adanya pusat data secara nasional, kata dia, data-data milik L/K dan Pemda bisa saling beroperasi. Ironisnya, PDNS belum siap.

“PDN bagus. Cuma, kan, menjadi ribut sekarang karena PDNS-nya ini tidak siap. Dan sempat terjadi gangguan di imigrasi sampai tiga hari (karena peretasan),” kata Aul, sapaan Aulia Postiera.

Novel setuju kebijakan pembentukan PDN adalah upaya bagus. Menurut dia, proyek ini telah dimulai sejak November 2022 dan direncanakan rampung dan launching pada Oktober 2024. Lucunya, kata eks Penyidik Senior KPK ini, pemerintah justru juga membuat PDNS dengan menyewa dua server milik di Serpong dan Surabaya. Dananya Rp 700 miliar.

“Pertanyaannya, kenapa harus menyewa dua server itu? Server-server yang sudah ada juga masih bisa berfungsi. Tinggal menunggu pemindahan, selesai, jalan. Tidak perlu mengeluarkan uang Rp 700 milir. Tidak perlu juga keluar dampak risiko dari bocor yang biayanya juga enggak akan terukur,” kata Novel.

Menurut Aul, pembentukan PDNS sementara lantaran adanya urgensi. Kemungkinan salah satu alasannya, saat PDN telah siap, proses sinkronisasinya dapat berlangsung dengan cepat. Sebab, data tersebut sudah terkumpul di PDNS. Hanya saja, kata dia, pihaknya tidak tahu apa alasan pastinya pembentukan PDNS tersebut. Perlu adanya penyelidikan termasuk membuka dokumen anggaran.

Di sisi lain, Haris justru mempertanyakan pihak pengambil keputusan kebijakan pembentukan PDNS. Pihaknya menduga ada intervensi dari atasan yang menyebabkan PDNS dibentuk. Sebab, jika mengikuti ketertiban undang-undang pengadaan barang dan jasa dan aturan turunnya, tidak mungkin suatu kebijakan dipercepat kalau tidak ada penyebab.

“Kan ini enggak gampang, mengoperasikan yang sementara terlebih dahulu maju, pasti ada intervensi,” katanya. “Mestinya DPR juga memeriksa itu, selain menuduh ada kebodohan, apakah kebodohannya juga sampai ke yang memaksa dari atasan supaya beroperasi,” ujarnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus