Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hidup Lagi Karena <font color=#CC0033>Rhani</font>

Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan memuat soal sanksi pidana untuk nikah siri. Misinya melindungi hak perempuan dan anak hasil perkawinan itu. Pro dan kontra tentang aturan baru ini pun merebak.

22 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJATAN di rumah nomor delapan Kampung Kosong, Panunggangan, Tangerang, itu hanya diketahui segelintir tetangga. Pagi itu, medio Juli 2007, di kediaman orang tuanya, Rhani Juliani baru saja dipersunting Nasrudin Zulkarnaen dengan maskawin Rp 7 juta. Tak ada penghulu hadir di sana. "Baru secara keluarga, rencananya nikah resmi dilakukan di Mekah," kata Parno Sanjaya, saksi perkawinan itu, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Sampai Nasrudin terbunuh, Maret tahun lalu, pernikahan resmi itu tak pernah terjadi. Warga Kampung Kosong tahu Rhani telah berstatus "istri", juga saat namanya muncul dalam pusaran perkara pembunuhan suaminya yang menyeret Antasari Azhar. Di persidangan, jaksa sempat menduga, karena jalinan asmara Rhani dan bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi inilah pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran itu terjadi.

Kasus Rhani ini rupanya menjadi perhatian Departemen Agama. Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nasaruddin Umar, status istri siri seperti Rhani memang rawan menimbulkan persoalan. "Faktor Rhani ini jugalah yang memaksa kami membahas kembali RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan," ujarnya. Padahal, kata Nasaruddin, RUU itu sudah mengendap lima tahun.

Sejak saat itulah tim dari Departemen Agama, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Sekretariat Negara melakukan rapat maraton menelaah kembali RUU tersebut. Saat ini, draf RUU itu sudah masuk Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk tahap pembuatan daftar inventarisasi masalah. Bulan depan, draf itu bakal dikirim ke Sekretariat Negara. "RUU tersebut masuk program legislasi nasional tahun ini," ujar Nasaruddin.

Dalam rancangan yang terdiri atas 156 pasal ini, pemerintah mempertegas larangan semua bentuk perkawinan yang dianggap tak sah plus sanksi. Tak sah artinya perkawinan itu tak dicatat pejabat pencatat nikah atawa penghulu. Bentuknya, menurut pemerintah, bisa nikah siri atau nikah siri untuk jangka waktu tertentu dengan maksud mencari kesenangan atau kepuasan seksual alias kawin kontrak.

Soal larangan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, pemerintah sebenarnya sudah menetapkan aturan sanksi untuk para pelaku nikah siri. Namun itu hanya berupa sanksi denda dengan nilai maksimal Rp 7.500. Dalam aturan baru nanti, sanksi bagi mereka yang melakukan hal ini bisa hukuman pidana hingga enam bulan atau denda hingga Rp 6 juta. "Karena nikah siri itu sistem, saksi dan walinya juga bisa dipidana," kata Nasaruddin.

Menurut Nasaruddin, lantaran ringannya sanksi inilah praktek nikah siri marak. Lalu, dampaknya, angka perceraian tinggi. Sejumlah wanita dan anak pun telantar. Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), dari kasus perceraian sepanjang 2009, 40 persen berlatar belakang nikah siri. Sedangkan untuk kasus poligami dan perselingkuhan, angkanya mencapai 8,3 persen. Nikah siri, menurut Direktur LBH APIK Estu Rakhmi Fanani, juga berpotensi menimbulkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke LBH APIK pada 2009, 13,3 persen berlatar belakang pernikahan siri.

Praktek nikah siri, menurut Estu, juga menimbulkan akibat hukum bagi perempuan dan anak. Secara hukum, kata dia, istri siri tak berhak terhadap nafkah dan warisan jika suami meninggal. Jika berpisah, istri itu juga tak berhak mendapat harta gono gini. Hal ini juga berlaku untuk anak hasil perkawinan itu. "Sebab, secara perdata, anak itu hanya memiliki hubungan dengan ibunya," kata Estu.

Secara administrasi kependudukan, Nasaruddin menambahkan, anak hasil nikah siri sulit mendapat akta kelahiran. Dampaknya, anak itu tak bisa mendapatkan kartu identitas (KTP). Dengan diberlakukannya Undang Undang Administrasi Kependudukan, anak itu bakal dikategorikan "manusia Indonesia tanpa identitas". "Dia akan setengah mati hidup di Indonesia," katanya.

Karena semua konsekuensi itu, kata Nasaruddin, hak perempuan dan anak perlu dilindungi. Adanya sanksi pidana ini dipandang bisa mengerem hasrat mereka yang ingin nikah siri. Sedangkan untuk perempuan Indonesia yang menikah dengan warga negara asing, dalam rancangan itu, pemerintah mewajibkan calon suami asing itu membayar uang jaminan kepada calon istri Rp 500 juta melalui Bank Syariah Indonesia. Ini, ujar Nasaruddin, juga untuk melindungi perempuan Indonesia.

Menurut Nasaruddin, aturan ini memang bisa dijadikan dalih orang melakukan zina karena menganggap pemerintah mempersulit orang untuk kawin. "Tapi ini sebenarnya mengada ada karena pemerintah sudah mempermudah warga tak mampu untuk bisa menikah secara resmi." Faktanya, ujar Nasaruddin, memang yang banyak melakukan kawin siri adalah orang kaya. Undang undang ini nantinya juga tak berlaku surut. Hanya, ujar Nasaruddin lagi, untuk nikah siri atau kawin kontrak yang terjadi sebelum undang undang ini diteken, harus diajukan permohonan penetapannya (isbat) ke pengadilan agama. "Selambat lambatnya lima tahun."

Kendati mendukung RUU itu, Komisi Nasional Perempuan meminta pemerintah mengkaji kembali soal sanksi pidana untuk perempuan yang melakukan nikah siri. Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, menganggap dalam perkara ini perempuan tetap korban. Menurut Sri, harus dilihat dulu latar belakang perempuan melakukan perbuatan itu. "Umumnya perempuan itu dibohongi oleh lelaki," kata Sri.

Seperti kawin siri, fenomena kawin kontrak bisa ditemukan di sejumlah daerah di Indonesia. Di daerah Puncak, Bogor, misalnya, ada sebuah perkampungan yang kondang lantaran di sana banyak terjadi kawin kontrak. Kepada Tempo, salah seorang pelaku kawin kontrak di tempat itu, Diana, mengaku melakukan kawin kontrak karena masalah ekonomi. "Yang penting kan tidak zina," katanya. (Lihat "Kawin Kontrak Jabal Sampay".)

Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan menilai sanksi pidana dalam rancangan itu berlebihan. Menurut dia, seharusnya pemerintah cukup mengenakan denda untuk para pelaku nikah siri. "Masak, orang mau melaksanakan agama dipidana," ujarnya. Amidhan juga tidak sepakat terhadap besarnya denda yang ada dalam rancangan itu. "Nilainya terlalu besar," katanya.

Di kalangan ulama, ketentuan pidana ini menuai pro dan kontra. Ada ulama yang berpendapat pemerintah tak perlu ikut campur dalam urusan ibadah, ada pula yang menganggap rancangan ini tepat untuk membatasi praktek kawin siri atau kontrak.

Sejumlah ahli hukum pidana melihat ketentuan pidana ini tidak tepat. Menurut pakar pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, seharusnya sanksi untuk nikah hanya sebatas denda. "Jangan overkriminalisasi," kata anggota perumus RUU Kitab Undang Undang Hukum Pidana ini.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan juga ikut mewanti wanti perihal masalah yang satu ini. "Hati hati, soal kawin ini sudah diatur Tuhan," katanya. Menurut dia, saat semua negara mulai mengurangi hukuman pidana, Indonesia tak seharusnya menambah aturan yang sebenarnya tak perlu sanksi pidana.

Anton Aprianto, Sutarto (Jakarta), dan Deffan Purnama (Bogor)

Aturan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan

PasalObyekPidanaDendaKategori
144Kawin kontrakMaksimal 3 tahun-Tindak pidana kejahatan
145Poligami tanpa izin pengadilanMaksimal 6 bulanMaksimal Rp 6 jutaTindak pidana pelanggaran
146Menceraikan istri tidak di depan pengadilanMaksimal 6 bulanMaksimal Rp 6 jutaTindak pidana pelanggaran
147Zina belum kawin menyebabkan hamilMaksimal 3 bulan-Tindak pidana kejahatan
148Pejabat pencatat nikah melanggar kewajibanMaksimal 1 tahunMaksimal Rp 12 jutaTindak pidana pelanggaran
149Pejabat pencatat nikah atau wali hakim palsuMaksimal 3 tahun-Tindak pidana kejahatan
151Wali nikah palsuMaksimal 3 tahun-Tindak pidana kejahatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus