Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

ICW: Ada 6 Kejanggalan Sidang Praperadilan Setya Novanto

Publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan praperadilan Setya Novanto oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar.

29 September 2017 | 07.41 WIB

Hakim tunggal Chepy Iskandar memeriksa berkas yang diberikan KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP Setya Novanto dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, 25 September 2017.  Dalam sidang lanjutan tersebut,
Perbesar
Hakim tunggal Chepy Iskandar memeriksa berkas yang diberikan KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP Setya Novanto dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, 25 September 2017. Dalam sidang lanjutan tersebut,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat adanya kejanggalan pada seluruh proses persidangan praperadilan tersangka korupsi e-KTP Setya Novanto. Peneliti Hukum ICW Lalola Easter mengatakan sedikitnya ia melihat ada enam kejanggalan dari seluruh proses persidangan yang berlangsung selama satu pekan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan praperadilan tersebut oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar," kata Lalola dari pernyataan tertulisnya kepada Tempo, Jumat, 29 September 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto rencananya dibacakan hari ini. Selama proses persidangan yang dimulai sejak 12 September 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menyajikan 193 barang bukti dokumen untuk menguatkan dasar penetapan SN sebagai tersangka serta sejumlah ahli di bidang hukum dan teknologi informasi.

Poin pertama kejanggalan menurut ICW adalah hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Setya dalam korupsi e-KTP. Menurut Lalola, penolakan ini sangat janggal karena hakim berpandangan bahwa pemutaran rekaman tersebut sudah masuk pokok perkara. Padahal, rekaman pembicaraan tersebut adalah salah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan Setya dalam perkara korupsi e-KTP.

Di sisi lain, kata Lalola, hakim Cepi Iskandar justru membuka ruang pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian keterpenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi salah satu dalil permohonan praperadilan SN. "Padahal, pembuktian keterpenuhan unsur pasal tersebut sudah masuk pada pembuktian pokok perkara, dan tidak sepatutnya disidangkan lewat mekanisme praperadilan," ujarnya.

Kedua, hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK Pada 27 September 2017. Saat itu, hakim Cepi menolak ahli teknologi informasi Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin. Alasan hakim Cepi lagi-lagi karena materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk pokok perkara pembuktian korupsi e-KTP.

Ketiga, hakim menolak eksepsi KPK yang disampaikan pada 22 September 2017. Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan dua hal yang menjadi keberatannya, yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan Setya yang sudah memasuki substansi pokok perkara. Menurut Lalola, logika yang sama tidak muncul ketika KPK mengajukan permohonan untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan, yang menguatkan dalil keabsahan penetapan Setya sebagai tersangka.

Keempat, hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara. Hakim Cepi mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI).

"Gugatan intervensi tersebut sejatinya menguatkan posisi KPK, namun akhirnya tidak diperhitungkan oleh Hakim, padahal permohonan sudah didaftarkan sebelum sidang pertama dilakukan pada 12 September 2017," kata Lalola.

Kelima, hakim bertanya kepada saksi ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan. Dalam mendengar keterangan dari ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari, Hakim bertanya mengenai sifat adhoc lembaga KPK. Padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut. "Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya, sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut, patut dipertanyakan," ujar Lalola.

Terakhir, laporan kinerja KPK yang berasal dari panitia khusus hak angket KPK dijadikan bukti dalam praperadilan. Kuasa hukum Setya Novanto membawa sejumlah bukti, di antaranya LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115 yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang.

"Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BPK," kata Lalola.

IMAM HAMDI

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus