Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ini baru hakim?

Hakim yang memeriksa perkara kasus pluit yang melibatkan endang wijaya diganti. sedang hakim yang terdahulu dirumahkan atas instruksi menteri kehakiman. (hk)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, Endang Wijaya alias A Tjay ditampilkan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perkara kasus Pluit ini yang seharusnya telah sampai pada pembacaan vonis, terpaksa tertunda-tunda karena semua majelis hakim yang memeriksanya dulu, Soemadijono, J.Z. Loudoe dan Hanky Izmu Azhar, terkena tindakan pengrumahan oleh Menteri Kehakiman akhir Januari 1981. Dalam pemeriksaan lanjutan Kamis pekan lalu hakim-hakim yang tampil adalah Slamet Riyanto, Ahmad S. Intan dan Ali Budiarto -- jaksanya tetap Anas Bhisma. Sehingga persoalannya menjadi: apakah vonis EW yang sebelumnya telah dituntut jaksa dengan hukuman 17 tahun penjara akan dibacakan oleh hakim baru -- atau pemeriksaan diulang? "Kami hanya melanjutkan pemeriksaan," jawab Slamet Riyanto. Tidak Dikejar Tapi diulang atau tidak, dalam sidang pertama majelis hakim baru pekan lalu, hakim membacakan kembali tuduhan jaksa. Ini disusul pula dengan pembacaan berita acara pemeriksaan yang dibuat hakim-hakim sebelumnya. Begitu juga, semua pertanyaan yang pernah dijawab EW semenjak sidang pertama 19 September 1978, dicocokkan kembali kepada tertuduh. Bahkan beberapa pertanyaan baru dilontarkan anggota majelis, antara lain yang menyangkut pemberian hadiah kepada pejabat-pejabat Bank Bumi Daya, BPO Pluit dan Pajak. "Di sinilah tidak fair-nya, klien saya kan tidak siap menjawab pertanyaanpertanyaan itu," ujar Budhi Sutrisno, pembela EW. Budhi mengkhawatirkan, jawaban-jawaban baru kliennya tidak sama dengan jawaban-jawaban pada majelis sebelumnya. "Bisa saja tersangka yang dulunya ingat, sekarang sudah lupa kalau dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru," ujar pembela itu lagi. Ketua Majelis, Slamet Riyanto, tidak begitu menanggapi keberatan Budhi. "Saya kan baru pegang perkara ini, jadi perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru untuk memperoleh keyakinan," katanya. Untuk itu ia berpegang pada surat edaran Mahkamah Agung, 12 Mei 1961 sebagai satu-satunya dasar hukum untuk memeriksa perkara EW kembali. Dalam surat edaran itu, disarankan, seorang hakim yang memeriksa kembali perkara yang sudah dimulai hakim lain, agar membacakan saja berita acara terdahulu. Tetapi surat edaran itu tidak menutup wewenang hakim untuk mendengar keterangan terdakwa atau saksi lagi, bila hakim yang baru merasa pemeriksaan terdahulu belum cukup jelas dan lengkap. Ternyata Slamet Riyanto dkk memang merasa pemeriksaan Soemadijono dkk belum jelas dan lengkap. "Misalnya dalam hal EW memberi hadiah rumah kepada pejabat-pejabat," ungkap Hakim Anggota Ali Budiarto. Di pemeriksaan sebelumnya, EW membantah memberi hadiah rumah dan hanya meminjamkan. "Tinggal gratis di satu rumah itu kan bisa dinilai dengan uang, jadi perlu digali lagi, karena tidak dikejar oleh hakim yang lama," lanjut Ali Budiarto. Majelis hakim menurut Slamet Riyanto, akan berpegang pada jawaban-jawaban baru EW. Karena itu tidak tertutup pula kemungkinan jaksa akan mengubah tuntutannya -- begitu juga pleidoi pembela. Tapi "bagi saya persoalan sudah selesai, tuntutan sudah dibacakan," jawab Jaksa Anas Bhisma yang menuntut EW. Persoalan memang akan jadi lain, kalau pembela justru mengeluarkan pleidoi baru, sementara jaksa tidak mengubah tuntutannya. Pihak Budhi Sutrisno pembela, rupanya masih menunggu perkembangan sidang-sidang selanjutnya. EW yang sudah ditahan sejak 13 September 1977 oleh Kopkamtib -- lalu oleh kejaksaan sejak 28 Juli 1978 -- sekarang harus menghadapi babak baru lagi dalam perkaranya. Ia sempat menikmati tahanan luar di rumah kontrakan, sebelum disabet Laksusda Mei 1980. Pembelanya, sekarang sedang berusaha agar kliennya dikenakan tahanan luar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus