Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA, Endang Wijaya alias A Tjay ditampilkan kembali di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perkara kasus Pluit ini yang
seharusnya telah sampai pada pembacaan vonis, terpaksa
tertunda-tunda karena semua majelis hakim yang memeriksanya
dulu, Soemadijono, J.Z. Loudoe dan Hanky Izmu Azhar, terkena
tindakan pengrumahan oleh Menteri Kehakiman akhir Januari 1981.
Dalam pemeriksaan lanjutan Kamis pekan lalu hakim-hakim yang
tampil adalah Slamet Riyanto, Ahmad S. Intan dan Ali Budiarto --
jaksanya tetap Anas Bhisma. Sehingga persoalannya menjadi:
apakah vonis EW yang sebelumnya telah dituntut jaksa dengan
hukuman 17 tahun penjara akan dibacakan oleh hakim baru -- atau
pemeriksaan diulang? "Kami hanya melanjutkan pemeriksaan," jawab
Slamet Riyanto.
Tidak Dikejar
Tapi diulang atau tidak, dalam sidang pertama majelis hakim baru
pekan lalu, hakim membacakan kembali tuduhan jaksa. Ini disusul
pula dengan pembacaan berita acara pemeriksaan yang dibuat
hakim-hakim sebelumnya. Begitu juga, semua pertanyaan yang
pernah dijawab EW semenjak sidang pertama 19 September 1978,
dicocokkan kembali kepada tertuduh. Bahkan beberapa pertanyaan
baru dilontarkan anggota majelis, antara lain yang menyangkut
pemberian hadiah kepada pejabat-pejabat Bank Bumi Daya, BPO
Pluit dan Pajak.
"Di sinilah tidak fair-nya, klien saya kan tidak siap menjawab
pertanyaanpertanyaan itu," ujar Budhi Sutrisno, pembela EW.
Budhi mengkhawatirkan, jawaban-jawaban baru kliennya tidak sama
dengan jawaban-jawaban pada majelis sebelumnya. "Bisa saja
tersangka yang dulunya ingat, sekarang sudah lupa kalau
dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru," ujar pembela itu
lagi.
Ketua Majelis, Slamet Riyanto, tidak begitu menanggapi keberatan
Budhi. "Saya kan baru pegang perkara ini, jadi perlu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan baru untuk memperoleh keyakinan," katanya.
Untuk itu ia berpegang pada surat edaran Mahkamah Agung, 12 Mei
1961 sebagai satu-satunya dasar hukum untuk memeriksa perkara
EW kembali. Dalam surat edaran itu, disarankan, seorang hakim
yang memeriksa kembali perkara yang sudah dimulai hakim lain,
agar membacakan saja berita acara terdahulu. Tetapi surat
edaran itu tidak menutup wewenang hakim untuk mendengar
keterangan terdakwa atau saksi lagi, bila hakim yang baru merasa
pemeriksaan terdahulu belum cukup jelas dan lengkap.
Ternyata Slamet Riyanto dkk memang merasa pemeriksaan
Soemadijono dkk belum jelas dan lengkap. "Misalnya dalam hal EW
memberi hadiah rumah kepada pejabat-pejabat," ungkap Hakim
Anggota Ali Budiarto. Di pemeriksaan sebelumnya, EW membantah
memberi hadiah rumah dan hanya meminjamkan. "Tinggal gratis di
satu rumah itu kan bisa dinilai dengan uang, jadi perlu digali
lagi, karena tidak dikejar oleh hakim yang lama," lanjut Ali
Budiarto.
Majelis hakim menurut Slamet Riyanto, akan berpegang pada
jawaban-jawaban baru EW. Karena itu tidak tertutup pula
kemungkinan jaksa akan mengubah tuntutannya -- begitu juga
pleidoi pembela.
Tapi "bagi saya persoalan sudah selesai, tuntutan sudah
dibacakan," jawab Jaksa Anas Bhisma yang menuntut EW. Persoalan
memang akan jadi lain, kalau pembela justru mengeluarkan pleidoi
baru, sementara jaksa tidak mengubah tuntutannya. Pihak Budhi
Sutrisno pembela, rupanya masih menunggu perkembangan
sidang-sidang selanjutnya.
EW yang sudah ditahan sejak 13 September 1977 oleh Kopkamtib --
lalu oleh kejaksaan sejak 28 Juli 1978 -- sekarang harus
menghadapi babak baru lagi dalam perkaranya. Ia sempat menikmati
tahanan luar di rumah kontrakan, sebelum disabet Laksusda Mei
1980. Pembelanya, sekarang sedang berusaha agar kliennya
dikenakan tahanan luar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo