Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jakarta Feminist, sebuah komunitas yang fokus pada isu kesetaraan dan kekerasan berbasis gender, mengungkap bahwa mayoritas pelaku femisida memiliki hubungan dekat dengan korban. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) femisida adalah pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap gender perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program Officer Jakarta Feminist, Nur Khofifah, menyoroti relasi personal antara korban dan pelaku dalam mayoritas kasus femisida. "Perempuan yang memiliki relasi intim dengan pelaku menjadi korban paling banyak dalam kasus femisida," ujar Khofifah dalam kegiatan 'Peluncuran Laporan Data Femisida 2023' di Morrissey Hotel, pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia merincikan sebanyak 69 korban dari 180 kasus femisida, yang diteliti sepanjang 2023, berstatus sebagai istri, pacar, mantan, hingga selingkuhan dari para pelaku. Khofifah menekankan eratnya relasi kuasa antara pelaku dan korban saat melihat motif femisida.
"Motif pembunuhan terbanyak (kedua) adalah problem asmara seperti cemburu ataupun ketahuan selingkuh sebanyak 20 persen," ucapnya.
Dalam laporan data femisida 2023, Jakarta Feminist menyebut bahwa mayoritas pembunuhan terjadi karena pelaku sebagai pasangan atau kepala keluarga merasa terganggu oleh pendapat atau sikap korban.
Studi kasus Jakarta Feminist merujuk pada kasus femisida di Merangin, Jambi, saat seorang perempuan ditemukan membusuk di kebun pada 31 Agustus 2023. Polres Merangin menetapkan suami perempuan itu sebagai tersangka. Sang suami mengakui membunuh istrinya karena cemburu dan tidak terima nasihatnya diabaikan oleh korban.
Jakarta Feminist juga menemukan bahwa berakhirnya hubungan antara pelaku dan korban masih berpotensi membuat perempuan menjadi target femisida. Misalnya seorang mantan suami di Cirebon yang menikam tubuh eks istrinya sebanyak 9 kali lantaran tidak terima ajakan rujuknya ditolak oleh korban.
"Ketika suatu relasi telah usai bukan berarti korban akan terhindar dari kerentanannya menjadi korban femisida," demikian laporan data femisida 2023.
Menurut Jakarta Feminist penting untuk memahami relasi kuasa antara pelaku dan korban femisida karena maskulinitas toksik yang dipertahankan norma-norma patriarki mendorong penindasan terhadap perempuan. Akibatnya perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan termasuk femisida.
Jakarta Feminist menganalisis 180 kasus femisida yang terjadi di 38 provinsi di Indonesia sepanjang 2023. Temuannya menyebutkan 94 persen pelaku femisida adalah laki-laki dengan mayoritas berumur 24-40 tahun. Rentang usia itu juga merupakan mayoritas umur korban (32 persen) femisida.
Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023, perempuan berusia 25-40 tahun menjadi korban terbanyak yang alami kekerasan. Keselarasan data itu membuat Jakarta Feminist memprediksi bahwa korban femisida sebelumnya telah mengalami kekerasan dari para pelaku.
Bagi pembaca yang membutuhkan bantuan untuk pemulihan pasca-kekerasan, disarankan mengunjungi situs carilayanan.com guna mendapat informasi lembaga tersedia.