Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jasa kesurupan

Sutarmo diringkus polisi, karena membunuh tajuddin enam tahun lalu di priangan, lampung selatan. terbongkar gara-gara roheti alias nung kesurupan roh kakaknya, tajuddin.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULUT meriam dapat disumbat, kata orang, tapi mulut siluman bisa gawat. Seperti terjadi di Kampung Priangan, Lampung Selatan, baru-baru ini. Ketika itu Roheti alias Nung pergi ke belakang rumahnya, eh, mendadak tubuhnya kejang. Setelah digotong kembali ke rumah, tiba-tiba saja ia meracau. "Pak, saya minta ampun," katanya sambil memeluk ayahnya, Sukatna. Lalu, dari mulutnya meluncur info ganjil. "Saya Tajuddin. Saya sudah mati dibunuh," katanya. Nung yang menggigil itu ternyata kemasukan roh kakaknya, ya, Tajuddin. Kabar Nung kesurupan segera beredar. Penduduk pun berduyun datang ke rumah Sukatna. Ocehan Nung kian menjadijadi, ketika Mamat, kepala kampung itu, datang. "Pak Mamat, saya Tajuddin. Saya mati dibunuh Sutarmo. Kalau tidak percaya panggil Sarman, dia ikut mengubur saya," kata suara yang bonceng di bibir Nung itu. Sarman pun dipanggil. Warga kampung sungguh terkejut, karena Sarman mengakui kebenaran info siluman itu. Kemudian ocehan Nung berhenti. "Saya tak merasa kalau kemasukan roh Tajuddin. Saya mengerti tentang ocehan itu dari cerita orang-orang," katanya kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Mau dibilang aneh, ya, aneh. Tapi nyata. Dari info orang yang kesurupan itulah peristiwa enam tahun silam dapat tersingkap. Selama ini, Tajuddin yang raib pada usia 17 tahun disangka pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Begitu akuratnya petunjuk yang diberikan lewat jalan kesurupan tadi, hingga pelaku utamanya, Sutarmo, tidak dapat lain dari mengakui perbuatannya. Ia diringkus polisi, 18 Februari lalu. Apa kiranya motif Sutarmo menghabisi Tajuddin? "Karena ia tega meniduri istri saya," kata Sutarno kepada TEMPO. Menurut lelaki berusia 54 tahun ini, pada hari itu ia pulang larut malam. Ia masuk rumah yang tidak terkunci. Dan ketika masuk kamar, darahnya langsung menggelegak ketika melihat tubuh istrinya ditindih Tajuddin. Keadaan mereka, kata Sutarmo, tanpa ditutup sehelai benang pun. Buruh tani itu kemudian mengambil linggis dan memukulkan ke tengkuk Tajuddin. Pletok! Anak muda itu pun tak bergerak. Ia tewas masih di atas tubuh isteri Sutarmo. Jasad Tajuddin itu kemudian diseret Sutarmo ke belakang rumah. Ia kemudian membangunkan Sarman. Tetangganya itu, menurut Sutarmo, sempat kaget ketika diminta membantu mengubur mayat Tajuddin. "Saya dipaksa membantu menguburkan, kalau tidak mau saya akan dibunuh," kata Sarman menceritakan ancaman Sutarmo. Usai menguburkan Tajuddin, kemudian Sutarmo berpesan kepada istrinya untuk tutup mulut. Kalau ada yang menanyakan keadaan Tajuddin, supaya bilang ia pergi mencari pekerjaan. Dan hari itu juga Sutarmo pergi ke Pagelaran -- 70 km dari rumahnya -- untuk bekerja menjadi buruh pemetik cengkeh. Isterinya cocok saja, rupanya. Jadi, ketika Sukatna mencari anaknya, dia menceritakan bahwa Tajuddin pergi mencari kerja bersama Sutarmo. Dapat keterangan begitu, waktu itu Sukatna tidak curiga sedikit pun karena anaknya memang sering mencari kerja di luar kampung. Dua hari kemudian, Sutarmo pulang. Lalu, ia membuat surat yang seolah-olah dari Tajuddin. Surat tersebut kemudian diserahkan kepada Sukatna. Isinya, antara lain, menyebutkan: "Pak, saya pergi tanpa pamit. Jangan ditunggu. Sebelum cita-cita tercapai, saya tidak pulang." Dua tahun berlalu. Tak ada kabar barang sepotong dari Tajuddin. Sampai enam tahun berlalu, Tajuddin hampir dianggap keluarganya lenyap tak jelas rimbanya. Tapi, titik terang mulai tampak ketika Nung, yang tadi, kesurupan. "Motif pembunuhan itu untuk sementara baru soal zina," kata Wakil Kepala Kepolisian Resort (Wakapolres) Lampung Selatan, Mayor Makmun Saleh. Hingga kini, memang belum ditemukan fakta lain. Gatot Triyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus