Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perempuan Pencari Keadilan Terjerat UU ITE

UU ITE sering digunakan untuk mengkriminalkan pencari keadilan. Gara-gara urusan privat dibawa ke ranah publik.

22 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dokter gigi Anandira Puspitasari dipidanakan menggunakan UU ITE setelah melaporkan dugaan perselingkuhan suaminya.

  • UU ITE sering digunakan untuk mengkriminalkan para pencari keadilan.

  • Suami Anandira sudah divonis bersalah di pengadilan militer.

SEORANG dokter gigi bernama Anandira Puspitasari dipidanakan menggunakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah mempersoalkan dugaan perselingkuhan suaminya, Letnan Satu Malik Hanro Agam. Dugaan perselingkuhan itu sudah dilaporkan ke Kesehatan Daerah Militer IX/Udayana, sedangkan untuk dugaan pelanggaran UU ITE ditangani oleh Kepolisian Resor Kota Denpasar, Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk dugaan pelanggaran UU ITE, Anandira dilaporkan oleh Ahmad Ramzy Ba’abud, yang merupakan pengacara dari perempuan berinisial BA, pada 21 Januari 2024. Menurut Ramzy, laporan itu didasarkan atas unggahan yang muncul di akun Instagram @ayoberanilaporkan6. Dalam akut tersebut, kliennya dituduh berselingkuh dengan suami Anandira.

Ramzy mengatakan BA dan Agam telah saling kenal sejak 2010. Mereka berteman baik dan memang beberapa kali pernah bertemu. “Tapi perselingkuhan itu tidak pernah ada,” kata Ramzy saat dihubungi, kemarin, 21 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ramzy mengatakan Anandira sudah menghubungi BA melalui aplikasi WhatsApp untuk meminta klarifikasi. “Klarifikasi sudah disampaikan pada 2023 bahwa tidak ada hubungan,” ujarnya. Namun, pada awal Januari 2024, dalam akun @ayoberanilaporkan6 justru terpampang foto BA yang dihubung-hubungan dengan Agam, seolah-olah mereka memiliki hubungan khusus. Kalimat-kalimat yang ditulis dalam unggahan itu juga menyerang kehormatan BA dan keluarganya. “Dia menjadi korban karena dibawa-bawa dalam kasus ini,” kata Ramzy.

Tersangka Hari Soelistya Adi digiring dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melibatkan Anandira Puspita, di Mapolda Bali, Denpasar, 15 April 2024. ANTARA/Rolandus Nampu

Pemilik akun @ayoberanilaporkan6 diketahui bernama Hari Soelistya Adi. Polisi telah menetapkan pria itu sebagai tersangka. Hari dijerat menggunakan Pasal 32 ayat 1 juncto Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman maksimal 8 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

Belakangan, polisi juga menetapkan Anandira sebagai tersangka. Bahkan polisi berupaya menangkap perempuan 34 tahun itu pada 4 April 2024. Namun penahanan Anandira ditangguhkan atas jaminan kedua orang tuanya.

Agustinus Nahak, kuasa hukum Anandira, mengatakan kliennya tidak tahu-menahu tentang unggahan di akun @ayoberanilaporkan6. Ketika menemukan indikasi suaminya berselingkuh, Anandira mendatangi sebuah kantor konsultan hukum. Di sanalah dia bertemu dengan Hari. Anandira yang awam dengan bidang hukum mempercayai kantor konsultan itu sepenuh hati. Ia menyerahkan berbagai bukti tentang dugaan perselingkuhan suaminya. Bukti-bukti inilah yang kemudian diunggah di akun @ayoberanilaporkan6. “Mengunggah sesuatu itu bukan tanggung jawab Anandira,” kata Nahak.

Karena itu, Nahak telah mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Denpasar pada 18 April 2024. Adapun alasannya adalah penangkapan terhadap Anandira tidak prosedural dan dipaksakan. Dia mempertanyakan tindakan polisi yang menetapkan Anandira sebagai tersangka pada 3 April 2024 dan langsung menangkapnya hanya berselang lima hari kemudian. “Penangkapan itu tidak disertai dengan surat panggilan,” katanya. “Setelah kami minta tunda penahanan, baru dikasih panggilan.”

Selain itu, kata Nahak, kliennya tidak mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan perkara melalui restorative justice. Bahkan Anandira diperlakukan seperti gembong narkoba atau koruptor karena ia langsung ditahan.

Teddy Raharjo, pengacara Hari Soelistya Adi, membantah pernyataan Agustinus Nahak itu. Dia mengatakan Anandira sudah setuju dengan publikasi konten untuk mengungkap dugaan perselingkuhan Agam di akun Instagram @ayoberanilaporkan6. Pernyataan itu ditegaskan melalui surat yang ditandatangani Anandira pada 11 Januari 2024.

Teddy juga menunjukkan kepada Tempo bahwa Anandira memberikan kuasa kepada sebuah kantor konsultan hukum melalui sebuah surat kuasa pada tanggal yang sama dengan surat pernyataan. “Klien saya juga korban. Saudari Anandira menghindar ketika konten sudah diunggah,” katanya.

Dia menyampaikan bahwa Polresta Denpasar diduga menahan dan menetapkan status tersangka kepada Hari tidak sesuai dengan prosedur. Karena itu, Hari juga mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Denpasar sejak 18 Maret 2024.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Jansen Avitus Panjaitan mengatakan Hari berperan sebagai pengunggah ke akun Instagram @ayoberanilaporkan6. Sedangkan materi yang diunggah dalam akun itu diduga didapat dari Anandira. Sedangkan sejumlah foto BA diambil dari media sosial perempuan itu tanpa izin.

Jansen menegaskan, penangkapan Anandira itu tidak berhubungan dengan laporan dugaan perselingkuhan Agam. Sebab, laporan itu dibuat di kepolisian militer. Prosesnya juga akan diselesaikan di pengadilan militer karena Agam masih tercatat sebagai anggota militer aktif.

Kepala Penerangan Daerah Militer IX/Udayana Kolonel Infanteri Agung Udayana mengatakan Letnan Satu Malik Hanro Agam saat ini ditahan di Markas Polisi Militer IX Udayana. Agam sudah divonis 8 bulan penjara oleh Pengadilan Militer III-14 Denpasar pada 15 Desember 2023.

Dia terbukti melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan bentuk penelantaran dan kekerasan psikis. Agam juga mengajukan permohonan banding, tapi putusannya tetap sama. Dia kemudian berupaya melawan putusan itu dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam kasus ini, kata Agung, Agam diduga berselingkuh juga dengan perempuan berinisial N di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Bali Kombes Jansen Avitus Panjaitan (tengah) menunjukkan bukti dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melibatkan Anandira Puspita di Mapolda Bali, Denpasar, 15 April 2024. ANTARA/Rolandus Nampu

Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan ada dua persoalan hukum yang dihadapi Anandira saat ini, yaitu kasus perselingkuhan dan pelanggaran UU ITE. “Kebetulan orang-orang yang terlibat dalam kasus itu juga hampir sama,” katanya.

Hibnu berpendapat, agar tidak tumpang tindih, kasus yang harus diselesaikan lebih dulu adalah tindak pidana awal, yaitu perzinaan. Jika dugaan perzinaan itu terbukti, bisa meringankan untuk terlapor karena sudah ada pembuktian awal.

Perihal jalur praperadilan yang ditempuh Anandira, Hibnu melihat ada kesulitan karena pasti materi peradilan beririsan dengan pembuktian. Padahal pembuktian sudah masuk agenda persidangan utama suatu kasus, bukan di lingkup praperadilan.

Perkara di praperadilan hanya pada persoalan sah atau tidaknya penetapan status tersangka oleh aparat penegak hukum terhadap seseorang. “Bukti setidaknya penangkapan, penahanan, kemudian penyelidikan, penyidikan,” ujar Hibnu.

Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan urusan privat yang dibahas ke ranah publik memang bisa dipidanakan dengan UU ITE. Namun, dalam kasus Anandira, perlu dilihat bagaimana konteksnya.

Menurut Nenden, UU ITE bisa digunakan untuk mengkriminalkan siapa pun yang sedang mencari keadilan, baik soal perselingkuhan maupun masalah lain. Keadaan ini karena memang aturan itu tidak berfokus pada melindungi seseorang. “Lebih untuk mempidanakan orang dianggap melanggar ketentuan UU ITE,” katanya.

Nenden juga mewanti-wanti bahwa adanya pasal karet yang multitafsir bisa menjerat siapa pun dalam UU ITE. Apalagi di media sosial pun tidak dimaksudkan untuk melindungi pengguna di jagat maya. “Untuk mengatur aktivitas orang-orang soal boleh dan tidak boleh di media sosial,” tuturnya.

Nenden mengatakan cara yang ditempuh oleh Anandira ada kemungkinan mengikuti berbagai contoh kasus yang pernah ada. Ada harapan, ketika kasus viral, bisa ditangani dengan baik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Han Revand Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus