LELANG batal. Dua peminat, yang mengincar sebidang tanah dan
bangunan milik PT Nindya Karya di Jalan MT Haryono (Jakarta),
terpaksa menerima kembali uang setoran lelangnya, Rp 100 juta.
Lebih kecewa lagi terang Fadjaruddin Tamar, Direktur CV Fajar
Raya dan Kraton, karena dia juga batal menerima haknya. Hasil
lelang sebenarnya diharapkan akan menutup tagihan sekitar Rp 350
juta dari PT di bawah pembinaan dan pengawasan pemerintah itu.
Tapi, apa boleh buat, 9 Juni lalu Ketua Mahkamah Agung, Prof.
Oemar Senoadji SH, memerintahkan menunda lelang yang sedianya
akan berlangsung hari itu.
CV Fajar Raya adalah sub-kontraktor PT Nindya Karya untuk
mengerjakan proyek pembangunan Jalan Daan Mogot. Sengketa
bermula dari kekisruhan keuangan. Melalui Ir Ridwan Jacob,
Kepala Proyek pembangunan jalan tersebut, CV Fajar pernah
menyerahkan 52 buah kwitansi untuk tagihan lebih dari Rp 309
juta. Nindya Karya merasa telah memenuhi tagihan tersebut --
juga melalui Ridwan. Tapi CV Fajar membantah: tak pernah
menerima sepeser pun.
Hakim Tunggal
Lama tak add penyelesaian, berikutnya, Fajaruddin memperkarakan
Ridwan Jacob dan Kepala Cabang Nindya Karya Jakarta, ir Yul
Ahyar Alfa. Kejaksaan mengolah kedua orang itu dalam perkara
pidana dengan tuduhan penggelapan dan pemalsuan surat. Tapi
gagal. Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan membebaskan
Ridwan dari tuntutan hukum. Perbuatan Ridwan, menerima uang
sejumlah yang ditagih CV Fajar, Rp 309 juta lebih -- entah
dikemanakan, itu tak terungkap di Pengadilan -- menurut hakim
bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran yang dirumuskan KUHP.
Sedangkan atasannya, Yul Alfa, dibebaskan dari segala tuduhan
jaksa.
Gagal dengan perkara pidana, Fadjaruddin menggugat lawannya
secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur. Kali
ini berhasil. Dalam salah sebuah pertimbangannya pengadilan
berpendapat, bagaimanapun, Nindya Karya tidak dapat membuktikan
dirinya telah memenuhi kewajibannya. Majelis hakim yang dipimpin
Abdul Samad SH, September 1977 menghukum Nindya Karya membayar
semua tagihan CV Fajar berikut bunganya.
Nindya Karya naik banding. Pengadilan Tinggi, di bawah hakim
tunggal Soenarso Hardjomartono SH, Januari lalu memang
memenangkan pembanding. Berkas putusan setebal 4 halaman itu,
yang keluar hanya 100 hari setelah putusan tingkat pertama,
menganggap sejumlah kwitansi di tangan Nindya Karya merupakan
bukti pembayaran atas tagihan CV Fajar.
Tapi Mahkamah Agung di bawah Hakim Agung R. Saldiman Wirjatmo
SH, Maret lalu mengoreksi putusan bawahannya. Peranan kwitansi
bagi sebuah perseroan milik negara, bukanlah bukti pembayaran.
Hanya bukti penagihan belaka. Yang penting, begitu antara lain
bunyi putusan kasasi, pembayaran (berupa cek atau giro) harus
betul-betul diterima si penagih.
Mahkamah Agung memerintahkan Nindya Karya membayar tunai
kewajibannya, ditambah bunga 6% setahun terhitung sejak perkara
masuk ke pengadilan, sehingga jumlahnya sekitar Rp 350 juta. Dan
sitaan jaminan, 2 kaveling berikut bangunan kantor, dinyatakan
sah dan berharga.
Hingga April kemarin Nindya Karya tak menunjukkan tanda-tanda
hendak memenuhi putusan pengadilan. 15 hari setelah
pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, 17 April, pengadilan sudah
menegur. Tapi tak diindahkan. Maka turunlah perintah sita
eksekusi dan disusul perintah lelang.
Lelang sudah diumumkan. Tiba-tiba muncul keberatan dari Bank
Dagang Negara (BDN). Mengapa dari bank? Rupanya, ketika perkara
sedang berproses, 16 April lalu tanah dan bangunan kantor yang
sedang dalam sitaan pengadilan telah digunakan (dan diterima)
sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman (hipotek) Rp 977,6
juta dari BDN. Ini memang aneh. Apalagi Direktur Nindya Karya,
ir Soegeng, pernah membuat "Pernyataan Jaminan" tidak akan
melakukan perbuatan apapun yang menjurus "penyembunyian dan/atau
penghindaran" tanah dan bangunan kantor yang disita pengadilan.
Menurut pengacara CV Fajar, Soenarto Soerodibroto SH,
mengutik-utik sesuatu barang sitaan pengadilan seperti yang
dilakukan pimpinan Nindya Karya di atas -- merupakan tindak
pidana (pasal 263 KUHP). Paling tidak, dengan ikut campurnya
pihak bank, persoalan jadi bertambah. Buktinya dengan dalih
barang milik negara tak bisa dilelang (ditunjuk pasal 65 yo 66
ICW, sebagai dasar hukumnya) BDN unjuk keberatan.
Di depan kantor Nindya Karya di Jalan MT Haryono dipasang dua
papan pengumuman. Yang satu berbunyi "Milik Negara" dan lainnya
berisi peringatan "Barang Milik Negara. Tidak bisa dilelang..."
Ingkar Janji
Berkat himbauan Sekretaris Jenderal Dept. Pekerjaan Umum Dr.
Joelianto, sebagai pembina PT Nindya Karya, akhirnya Mahkamah
Agung memang menunda pelelangan. "Itu bukan berarti kita tidak
menghormati putusan pengadilan," kata Humas PU, Soerojo.
Permintaan penundaan lelang, seperti dikabulkan Mahkamah Agung,
katanya untuk kelancaran tugas Nindya Karya mengerjakan berbagai
proyek PU. Departemen akan memerintahkan Nindya Karya menunaikan
kewajibannya terhadap CV Fajar.
Pengadilan tidak mempersoalkan Nindya Karya sebagai perusahaan
milik negara atau bukan. Bagaimanapun, menurut pejabat sementara
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Soegondo SH, justru
"hanya hakimlah yang berwenang menyita uang atau barang milik
negara." Penundaan lelang oleh Mahkamah Agung, lanjut Soegondo,
tak lain "karena masih ada cara lain untuk membayar" Lelang
hanya upaya terakhir bagi pihak yang bandel menunaikan
kewajibannya. Sedangkan dengan "dasar kepercayaan" Departemen PU
menjamin Nindya Karya tidak akan ingkar janji. Untuk itu
pengadilan minta agar Nindya Karya menyerahkan uang jaminan
sebesar (atau sekecil?) Rp 500 ribu.
Tapi kapan? "Saya tidak tahu lagi," kata Fadjaruddin setengah
putus asa. Dia menagih ke Nindya Karya, katanya, karena dia juga
dikejar-kejar rekan leveransir yang juga menunggu pembayaran.
"Terus terang saya juga frustrasi terhadap Mahkamah Agung,"
lanjut pengacaranya, Soenarto. Permintaan penundaan lelang,
hanya karena barang yang akan dilelang itu milik perusahaan yang
dibina dan diawasi pemerintah, menurut Soenarto "akan jadi
kebiasaan buruk dan tamparan bagi hakim agung."