Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

JMD, Sebuah Eksperimen

Program Jaksa Masuk Desa, digalakkan Jaksa Agung Ismail Saleh, SH, dan itu baru eksperimen. Di beberapa daerah, jaksa masuk desa baru taraf penyuluhan hukum.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU Bangun Deso ciptaan Ki Nartosabdo mengundang perhatian penduduk Desa Sanggrahan di sebelah sclatan Tulungagung (Jawa Timur). Hampir seribu orang desa berjubel di balai desa. Perhelatan? Bukan. Penduduk baru mengerti acara hari itu ketika rombongan hakim dan jaksa memasuki balai desa. Ternyata hari itu untuk pertama kalinya penduduk Sanggrahan menyaksikan jalannya suatu sidang pengadilan. Jaksa Moh. Yusuf menghadapkan se orang penduduk, Munajab bin Munasir! sebagai tersangka yang dituduh mencuri sebatang kayu di hutan lindung. Persidangan terpaksa dilakukan dalam bahasa Jawa, karena Munajab tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun sidang berjalan lancar--sebab Munajab mengaku terus terang. Apalagi saksi-saksi, di antaranya mandor Perhutani yang menangkap Munajab, tidak perlu dipanggil. Mendatangkan para saksi biasanya sampai harus memakan waktu atau mengundurkan sidang beberapa minggu. Munajab hari itu juga dijatuhi hukuman 2 bulan penjara oleh Hakim Soediono dari Pengadilan Negeri Tulungagung. Acara persidangan tersebut merupakan salah satu program Jaksa Masuk Desa (JMD) yang digalakkan Jaksa Agung Ismail Saleh semenjak Juli lalu. "Kami sengaja memilih kasus itu untuk disidangkan di Sanggrahan, karena banyaknya pencurian kayu di desa itu," ujar Jaksa Yusuf. Persidangan itu, menurut Yusuf sekaligus memberi penerangan hukum: pencurian kayu dilarang. "Tontonan" semacam bukan hanya dinikmati penduduk Desa Sanggrahan. Hari itu, 6 Oktober, penduduk Kecamatan Bandar, Simalungun (Sum-Ut), berbondong-bondong membanjiri balai pertemuan kecamatan. Beberapa hari sehelumnya penduduk sudah diberitahu bahwa akan ada sidang pengadilan di balai pertemuan itu. Empat orang penduduk kecamatan itu, Darwin, Robert, Beny dan Mesran diajukan sebagai tersangka. Mereka duduk di bangku panjang berhadapan dengan meja hakim dan jaksa yang ditutupi kain hijau. Jaksa menuduh keempat orang itu berjudi dengan memakai kartu domino. Banyak penduduk yang heran, karena mereka menganggap permainan itu tak dilarang. "Kami justru sengaja memilih perkara judi, karena banyak penduduk menganggap judi itu tidak dilarang," ujar Madju Hutapea, Kepala Kejaksaan Negeri Pematangsiantar. Apalagi persidangan itu merupakan langkah pertama program JMD di daerah itu. "Kami pilih perkara yang ringan dan menarik," kata Madju. Ternyata sambutan masyarakat memang di luar dugaan, "malah ada yang minta persidangan yang lain juga dilakukan di kantor camat itu," tambah Madju Hutapea. Penduduk memang senang melihat persidangan di kecamatannya. Selain mendapat penerangan, mereka yang dipanggil hakim tidak perlu repot-repot menuju Pematangsiantar, yang jaraknya 40 km dari desa itu. "Sidang di kecamatan tidak memakan ongkos," kata J.P. Purba, yang menjadi saksi dalam perkara perjudian itu. Selama ini, penduduk Kecamatan Bandar terpaksa harus mengeluarkan uang Rp 1.000 untuk ongkos ke Pematangsiantar, kalau terlibat dalam satu perkara. Dipanggil pengadilan selama ini memang menyulitkan penduduk desa yang tinggal jauh dari gedung pengadilan di kota kabupaten. Seperti yang dialami penduduk Desa Cijagra, Majalaya, sekitar 35 km dari Bandung. Kalau persidangan pencurian terjadi yang repot korban pencurian. Sebab ia harus bolakbalik ke Pengadilan Negeri Cimahi. Meskipun tidak begitu jauh, namun tidak ada pengangkutan. Bawa Roti Penduduk yang dipanggil pengadilan untuk jadi saksi, harus jalan kaki 2 km ke Majalaya, baru mendapat kendaraan ke Cimahi. "Mending kalau hanya sekali --biasanya mondar-mandir" ujar Kepala Desa cijagra, Pupu Suparman. Akibatnya, penduduk yang banyak bekerja di pabrik tekstil di daerah itu, terpaksa mengalami pemotongan gaji dari tempatnya bekerja. Sebab itu Pupu Suparman merasa senang ketika diadakan sidang di desanya. Ia tidak terlalu sibuk untuk menyiapkan persidangan. Cukup hanya dengan mengosongkan balai desa. Konsumsi pun tidak perlu dihidangkan. "Sebab hakim dan jaksa membawa roti sendiri," ujar Pupu Suparman. Sebelum JMD, cijagra ternyata sudah pernah menyelenggarakan sidang pengadilan. Yaitu ketika Tarmadi bin Wira, 80 tahun, yang dituduh membunuh Odih, tidak mau dibawa ke Cimahi untuk diadili. Tarmadi, yang dikenal jagoan masa mu danya, nekat membunuh Odih yang dituduhnya hampir memperkosa anaknya. Akhirnya Tarmadi yang lumpuh itu, diadili di desanya dan dijatuhi hukuman penjara 7 tahun. Namun, karena usianya, ia dititipkan kepada kepala desa sambil menunggu grasi. Persidangan Tarmadi di tahun 1980 itu disebut Kepala Humas Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Hutala Pakpahan, sebagai "embrio program JMD di Indonesia terjadi di Desa Cijagra akibat ulah kakek Tarmadi." Namun program itu belum merata di setiap daerah. "Itu memang eksperimen, jadi tergantung kondisi masing-masing daerah," ujar Jaksa Agung Ismail Saleh. Program 3MD memang tidak dilaksanakan besar-besaran, "sifatnya juga longgar," sambung Jaksa Agung. Meskipun sasarannya, kata Jaksa Agung, cukup besar "Menanamkan kesadaran hukum masyarakat." Di beberapa daerah JMD baru taraf penyuluhan hukum. Jaksa-jaksa yang ditugasi dilarang memakai seragam jaksa. "Pokoknya omong santai dan makan ubi di rumah penduduk," ujar seorang jaksa di Tanjungpinang. Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, vang membawahkan 82 desa dengan letak terpencar-pencar, memilih 20 desa yang agak mudah dijangkau di kepulauan itu. "Mirip dokter puskesmas, jaksa mendatangi rumah penduduk," kata B. A. Mansur, pejabat pembinaan kejaksaan. Dengan sabar para petugas memberi penjelasan tentang hukum waris sampai hukum tanah yang banyak dipertanyakan penduduk. Setelah program JMD kini muncul ide proyek Pusat Hukum Masyarakat (Puskesmas)--yang hendak menerjunkan ahli hukum ke desa-desa. Baik untuk memberi penerangan maupun bantuan hukum. Namun pagi-pagi Jaksa Agung Ismail Saleh mengingatkan "Pembangunan hukum itu tidak seperti pembangunan jembatan." Artinya, meskipun ada JMD dan Pushukmas atau yang lain, "kesadaran hukum" tetap bukan suatu hasil kerja yang dapat dinilai seketika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus