Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masalah judi online membayangi kematian seorang polisi di Mojokerto.
Hal ini dinilai tak lepas dari kegagalan Polri memberantas praktik perjudian itu.
Selain itu, ada masalah mental anggota kepolisian yang harus dibenahi.
MASALAH judi online membayangi peristiwa kematian anggota Kepolisian Resor (Polres) Jombang, Jawa Timur, Brigadir Polisi Satu (Briptu) Rian Dwi Wicaksono. Rian—begitu dia biasa disapa—tewas setelah dibakar anggota Polres Mojokerto, Briptu Fadhilatun Nikmah, yang tak lain adalah istrinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembakaran itu terjadi di kediaman mereka di Asrama Polisi Polres Kota Mojokerto, Jawa Timur, pada Sabtu, 8 Juni 2024. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Timur Komisaris Besar Dirmanto menyatakan peristiwa itu dipicu kekesalan Dhila setelah mengetahui Rian menggunakan uang sebesar Rp 2 juta dari gaji ke-13-nya untuk bermain judi online. “Jadi, korban, Briptu Rian Dwi Wicaksono, mohon maaf ini, sering menghabiskan uang belanja yang seharusnya buat membiayai hidup tiga anaknya ini untuk bermain judi online,” ujar Kombes Dirmanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic (ISESS), Bambang Rukminto, menilai peristiwa itu merupakan fenomena gunung es tindak pidana yang justru dilakukan oleh anggota kepolisian sendiri. Padahal polisi seharusnya menjadi penegak hukum dan contoh bagi masyarakat.
Dia melihat setidaknya ada dua tindak pidana yang perlu menjadi perhatian dalam kasus itu, yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan judi online. “Beberapa kasus kematian sia-sia personel kepolisian, indikasinya karena terjebak judi online, kemudian terjerat pinjol (pinjaman online),” kata Bambang kepada Tempo, Selasa, 11 Juni 2024.
Bambang menilai berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota kepolisian itu tak lepas dari gaya hidup hedonisme yang sudah merasuk ke institusi Polri. Meskipun kesejahteraan para polisi dinilai sudah cukup, Bambang menilai gaya hidup hedonisme ini mendorong polisi kemudian mencari uang tambahan dengan cara ilegal, seperti judi online.
Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Dirmanto saat menjelaskan perkembangan kasus polisi wanita yang membakar suami, 10 Juni 2024. ANTARA/HO-Abed
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai peristiwa ini menambah catatan kelam bagi institusi kepolisian. Dia menilai peristiwa ini ironis karena, ketika pemerintah sibuk memberantas judi online, justru polisi ikut bermain. “Padahal itu pun pidana,” kata Reza saat dihubungi secara terpisah.
Reza pun yakin masih banyak anggota kepolisian yang mengalami kecanduan judi online seperti Rian. Sayangnya, sejauh ini, dia menilai polisi seperti menutup-nutupi data tersebut. Padahal, menurut Reza, data tersebut berguna untuk mengambil langkah selanjutnya. “Data itu dibutuhkan sebagai dasar bagi kita untuk menentukan apakah, secara ironis, personel kepolisian justru termasuk dalam kelompok rentan,” kata Reza.
Menurut Reza, kasus ini juga tak lepas dari kegagalan polisi memberantas jaringan judi online. Peristiwa Rian dan Dhila ini, menurut dia, justru seakan-akan membenarkan soal keberadaan Konsorsium 303 yang sempat menghebohkan masyarakat. “Siapa yang teryakinkan bahwa Konsorsium 303, yang sempat menggemparkan masyarakat pada masa sidang FS (Ferdi Sambo), berhasil Polri sapu bersih?” kata Reza.
Isu Konsorsium 303 mencuat saat penanganan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Bagan konsorsium itu tersebar luas di media sosial dan menyeret nama sejumlah petinggi Polri. Bagan itu menjelaskan bagaimana sejumlah perwira Polri berhubungan dengan sejumlah nama yang disebut sebagai bandar judi online. Meski demikian, Polri membantah adanya konsorsium tersebut.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai polisi sebaiknya memperbaiki pembinaan mental terhadap anggotanya agar tak terjebak dalam tindak pidana. Dalam kasus Rian dan Dhila, Poengky menyoroti pelaku dan korban yang terbilang masih muda dan tergolong dalam kategori Generasi Z (Gen Z). Rian masih berusia 27 tahun, sementara Dhila 28 tahun.
Secara teoretis, menurut Poengky, Gen Z memang dianggap lebih cerdas daripada generasi-generasi sebelumnya. Namun generasi yang lahir pada era 1997-2012 ini dinilai memiliki mental yang lebih rapuh. Hal itu, menurut dia, tak terkecuali bagi polisi. “Polisi juga manusia, bukan Superman atau Superwoman,” kata Poengky.
Belajar dari kasus ini, menurut Poengky, pembinaan kesehatan mental menjadi lebih penting lagi karena terdapat fakta Dhila baru saja melahirkan bayi kembar. Menurut dia, sangat mungkin Dhila mengalami depresi postpartum (depresi pasca-melahirkan).
Karena itu, Poengky mengusulkan agar Polri menyediakan fasilitas konsultasi psikologis di setiap polres. Tujuannya agar semua polisi yang memiliki masalah bisa segera berkonsultasi dan menemukan solusinya. Kesehatan mental, menurut Poengky, sangat penting agar setiap polisi dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Selain itu, Poengky menyoroti soal pengawasan melekat yang tak berjalan baik di kepolisian. Padahal, menurut dia, seharusnya kasus-kasus seperti ini bisa dicegah jika atasan mereka melakukan pemantauan secara serius. Para atasan langsung, menurut dia, seharusnya bisa mengingatkan bawahannya saat apel setiap pagi. “Pengawasan melekat sangat dibutuhkan untuk memastikan anggota tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum yang dapat berakibat fatal, termasuk bermain judi online,” kata Poengky.
Dalam pengawasan melekat, menurut Poengky, seorang atasan seharusnya bisa langsung mengambil tindakan ketika melihat ada kejanggalan dari anggotanya. “Misalnya tidak pernah ngutang, tiba-tiba berani ngutang atasan, bawahan, dan rekan sejawat. Ini harus ditegur atasan langsung,” kata dia.
Bambang Rukminto sepakat dengan Poengky soal pentingnya pembinaan mental anggota Polri. Saat ini, menurut dia, secara kelembagaan, Polri memang tak memiliki satuan yang menangani secara khusus problem mental yang dialami oleh anggotanya. “Belum lagi kultur di kepolisian yang sangat patriarki, bisa jadi keluhan-keluhan polisi wanita ataupun bhayangkari istri anggota terabaikan,” kata dia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko menyatakan pihaknya memberikan asistensi berupa petunjuk dan arahan (jukrah) dalam kasus Rian dan Dhila ini. “Sebagai pembina fungsi teknis akan memberikan jukrah kepada polda,” ujar Trunoyudo di The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta, Senin, 10 Juni 2024.
Dia menjelaskan, asistensi dari Markas Besar Polri dapat berupa bantuan alat maupun keterampilan penyidikan. Namun, dalam kasus ini, Trunoyudo yakin Polda Jawa Timur bisa melakukan penyidikan secara profesional. “Polda Jawa Timur dalam setiap perkembangannya akan menyampaikan kepada media,” tuturnya.
Soal judi online yang menjangkiti anggota Polri, Trunoyudo irit bicara. Dia hanya mengatakan penindakan secara umum akan ditangani oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. “Langkah-langkah setiap penegakan hukum tentu akan dilakukan oleh Bareskrim dalam melihat adanya gangguan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) yang ditimbulkan karena adanya kejahatan,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
M. FAIZ ZAKI berkontribusi dalam penulisan artikel ini.