Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGIATAN persidangan sudah lama usai. Halaman gedung pengadilan
di Pasuruan (Jawa Timur) yang luas dan teduh itu telah sepi. Di
bawah pokok randu, masih di halaman gedung, berlindung empat
orang tahanan perkara kriminal dengan tangan terborgol. Mercka,
dikawal seorang petugas kejaksaan, tengah menanti kendaraan yang
akan mengangkut kembali ke tempat tahanan. Keempat pesakitan
tersebut siang 5 Maret lalu itu, baru saja menghadap hakim
masing-masing.
Tiba-tiba dari balik pohon menyelinaplah seorang perempuan. Dari
balik stagen kainnya perempuan itu mengeluarkan sebilah pisau
Cap Garpu yang panjangnya sekitar 25 cm ia mngendap-endap di
belakang seorang tahanan dan langsung menghunjamkan pisaunya ke
lambung kiri laki-laki yang terborgol itu.
Si korban, Salidi (40 tahun), merintih panjang lalu terkapar di
tanah. Pegawai-pegawai pengadilan berhamburan dari kantornya
setelah mendengar keributan di luar. Ada yang segera melarikan
korban dengan becak ke Rumah Sakit Umum di kota itu. Tapi,
malang, malam itu juga Salidi meninggal dunia di RSU Malang.
Siapa pembunuhnya? Perempuan itu dikenal bernama Mesu, istri
kedua Sanan alias Isliyah, penduduk Dukuh Dawanrandu (Desa
Minggir). Ia nekat melakukannya, begitu pengakuannya kepada
polisi belakangan, karena dendamnya terhadap Salidi sudah sampai
ke ubun-ubun. Bagaimana tidak, katanya seperti diceritakan
kembali Danres Pauruan Letkol Sumarsono, ia telah berkali-kali
diperkosa laki-laki itu -- setidaknya tak kurang dari tiga kali.
Dan, celakanya, pemerkosanya selalu datang setiap ia habis
sembahyang Maghrib. Perempuan itu tak bisa berkutik, katanya,
karena semuanya berlangsung di bawah ancaman sebilah pedang.
Mengadu kepada suaminya, seorang penjaga Pasar Keputran di
Surabaya, yang jarang menengoknya, ia tak berani. Bukan apa-apa.
Ia hanya berusaha menghindari carok, duel, antara suaminya
dengan Salidi. Tapi, betapa pun perkelahian antara dua laki-laki
itu tak dapat dihindarkan.
Peristiwa itu terjadi pada suatu malam, 16 Desember lalu, ketika
Sanan tiba-tiba mengunjungi istri mudanya. Melihat ada laki-laki
berkeliaran di rumahnya, Sanan mengiranya sebagai pencuri dan
melabraknya. Salidi melawan dengan pedang panjangnya. Carok
pun tak bisa dicegah lagi. Sanan kalah dan mengalami luka yang
cukup parah.
Beberapa lama Sanan dirawat di rumah sakit. Rumah istri mudanya
terpaksa dijualnya, Rp 450 ribu, untuk biaya perawatan, Sedang
Salidi diurus yang berwajib. Akhir Februari lalu ia mulai
diperiksa pengadilan. Ia dituduh menganiaya Sanan.
Pemeriksaan telah berakhir. Acara penuntutan bebcrapa kali
ditunda, begitu menurut jaksa, karena polisi tak cepat-ccpat
mengirim visum dokter -- lucunya pengadilan baru menerimanya
setelah terdakwa mati terbunuh. Pada beberapa kali sidang Sanan
dan istrinya hadir.
Tapi, arah persidangan mengecewakan istri Sanan. Pengadilan tak
membuka urusan pemerkosaan. Padahal itu sangat diharapkan dapat
meyakinkan suaminya: ia bukanlah istri yang serong. Sejak
peristiwa duel malam itu Sanan memang menjauhinya. Karena tak
berharap lagi pengadilan dapat memulihkan keadaan rumah
tangganya, Mesu jadi mata gelap. Ia lalu menentukan sendiri
hukuman bagi si pengacau rumah tangganya.
Pengakuan Mesu memang belum tentu benar. Setidaknya banyak
tetangga yang meragukan ceritanya. Sebab Salidi, begitu kata
mereka, orang baik-baik ia dan keluarganya -- istri dan seorang
anaknya -- hidup sederhana di rumah bilik dekat rumah istri muda
Sanan yang terbikin dari batu. Hubungan mereka baik. Sanan,
begitu ceritanya, pernah meminta Salidi untuk ikut melihat-lihat
keluarganya.
Salidi, menurut Carik Desa Minggir, Khosim, memang patut
mendapat kepercayaan. "Dia orang saleh -- hampir tiap Rabu dan
Kamis menghadiri pengajian," katanya. Itulah sebabnya beberapa
tetangga menganggap ada sesuatu yang tak beres pada pengakuan
Mesu. Bahkan ada yang langsung menuduh Mesu memfitnah Salidi.
Mana yang benar, tergantung pemeriksaan pengadilan kelak. Tapi,
terlepas dari semua itu, memang banyak yang kecewa terhadap cara
pengadilan memperlakukan terdakwa pemerkosa. Ancaman hukuman
bagi si pemerkosa, sebenarnyalah, memang tidak enteng: bisa 12
tahun penjara (pasal 285 KUHP) Tapi, di mana hukuman maksimal
pernah dijatuhkan?
Bahkan dari daerah "gudang" pemerkosaan pun hampir tak pernah
terdengar ada hakim menjatuhkan hukuman penjara di atas setahun.
Kecuali terhadap M. Daham (40 tahun), penduduk Desa Panjang di
Kabupaten Asahan (Sum-Ut). Yang tahun lalu dihukum 5 tahun
penjara karena terbukti memperkosa anak perempuannya sendiri
yang baru berusia 8 tahun.
Menurut statistik tahun 1978, dengan angka 395, Sum-Ut memang
menyimpan perkara pemerkosaan terbesar kedua setelah Jakarta
(396). Berita-berita pemerkosaan banyak diperoleh dari Kawasan
Asahan. Dari 42 perkara susila di Pengadilan Tanjungbalai, 1979,
terbanyak diantaranya 34 buah, adalah kasus pemerkosaan.
Hukuman bagi mereka di bawah setahun. Bahkan terhadap 4
perkara ternyata hakim membebaskan para terdakwa. Tahun
berikutnya pun putusan hakim terhadap 41 perkara, sama saja.
Memang tak semua terdakwa terbukti bersalah. Tapi, bagi yang
jelas bersalah pun, seperti diakui Kepala Sub Pidana Pengadilan
Negeri Tanjungbalai sendiri, Sofyan Siregar. "hukumannya memang
ringan". Mengapa? Sofyan angkat bahu: "Begitulah keputusan
hakim..... Dan sikap pengadilan begitu, menurut Sofyan lagi,
kelihatannya memang ikut andil menaikkan angka kejahatan orang
jadi menganggap enteng sanksi kejahatan jenis yang satu ini.
Tapi, menurut Kepala Penerangan Polri, Brigjen Darmawan,
pengadilan tak bisa terlalu disalahkan. "Membuktikan perkara
pemerkosaan harus teliti," katanya Sebuah kasus yang semula
dibawa jaksa sebagai perkara pemerkosaan, katanya, ternyata
sering terbukti di pengadilan hanya sebagai perzinahan belaka --
sudah tentu hukumannya pun jauh lebih ringan.
Angka kejahatan pemerkosaan pada polisi memang tak sedikit.
Tahun lalu dari seluruh Indonesia dilaporkan ada 2.165 perkara
Angka itu merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya 1963
perkara (pada 1978) dan 2.073 (1979).
Faktor dari luar pengadilan, menurut dr. Handoko dari LKUI
(Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia), tentu saja lebih
berperanan menciptakan angka-angka tersebut. Misalnya, di suatu
daerah yang "menutup" diri dari pelacur, beberapa penduduknya
ada yang menyalurkan keinginannya secara membabibuta juga,
beberapa orang yang tak cukup punya uang, mana berani datang ke
tempat pelacuran?
Adapun di Asahan memang ada yang disebut Tim Gurdak atau tim
penggusuran. Yaitu tim pemberantasan pelacur yang dikordinasikan
Pemda. Dibentuk 6 tahun yang lalu setelah sebuah kompleks
pelacuran liar di Desa Pulaumaria dibakar massa "Daerah ini
memang haram buat pelacur," kata Bupati Asahan, dr Bahmid
Mohamad, sehabis menggurak sejumlah rumah pelacuran di Air Batu
pertengahan Maret lalu.
Namun iseng-iseng Sofyan Siregar memperhatikan faktor alam, yang
mungkin ikut merangsang timbulnya kejahatan seks. "Asahan 'kan
daerah pantai. Kerang dan kepiting yang berhormon tinggi itu,
adalah makanan sehari-hari penduduk sini. Maka secara tak
langsung makanan itulah yang mempengaruhi dorongan seks . . ."
Ada-ada saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo