Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISARIS Polisi Marthen Renouw kini bisa menarik napas lega. Setelah sekitar sembilan bulan bolak-balik menghadiri sidang di Pengadilan Jayapura, akhirnya palu hakim berpihak padanya. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jayapura menyatakan dia tidak bersalah. Dakwaan jaksa Dadang Setiadji, yang menyatakan pria 49 tahun itu menerima suap dari para cukong kayu ilegal, dinyatakan tak terbukti.
Putusan kasus Marthen ini dibacakan pada sidang 6 Oktober silam yang nyaris luput dari sorotan media. Di Papua, Marthen, yang biasa dipanggil Reno, termasuk polisi yang terkenal. Tugas khususnya melibas para pembalak liar alias pelaku illegal logging. Namun, karena tugasnya pula ia masuk bui dan diperiksa Markas Besar Polri pada Agustus 2005.
Menurut ketua majelis hakim, Lodewyk Tiwery, Marthen tak terbukti menerima suap karena jaksa tak mampu menghadirkan saksi kunci: sang penyuap. Padahal, jaksa menyatakan Marthen telah menerima suap sebesar Rp 1,065 miliar. Di persidangan Marthen menolak dituduh menerima suap. ?Itu pinjaman,? ujarnya.
Adapun saksi kunci yang dimaksud hakim itu adalah M. Yudi Firmansyah, Wong Sey Kiing, Achiing, Denny, dan Lim. Mereka adalah anggota direksi PT Sanjaya Makmur dan PT Marindo Utama, perusahaan yang ditengarai melakukan penebangan liar di kawasan Bintuni, Manokwari.
Menurut dakwaan jaksa, sepanjang September 2002 hingga Desember 2003, Marthen telah menerima kiriman uang 16 kali dari lima orang itu. Uang tersebut dikirim, antara lain, melalui BNI Cabang Manokwari, BNI Cabang Harmoni, Jakarta, BNI Cabang Jakarta Kota, BNI Cabang Roa Malaka, Jakarta. Polisi masih memburu kelima saksi kunci yang kini menghilang bak ditelan bumi.
Jaksa menjerat Marthen dengan UU Korupsi dan UU Pencucian Uang. Marthen didakwa melanggar pasal-pasal yang mengatur gratifikasi. ?Padahal, patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya,? kata Dadang. Jaksa menuntut bekas Kepala Satuan Tindak Pidana Tertentu Polda Papua ini tiga tahun penjara plus denda Rp 50 juta.
Di ruang sidang, Marthen membantah bahwa uang yang diterimanya merupakan imbalan untuk tidak mengusut kasus penebangan liar yang dilakukan dua perusahaan itu. Uang itu, katanya, dipakai untuk dana operasional pemberantasan pencurian kayu di Papua pada 2003, antara lain menyewa speedboat, helikopter, dan pesawat terbang. Ia beralasan ?meminjam? uang itu karena atasannya tak menyediakan anggaran untuk operasi tersebut.
Putusan bebas Marthen ini disambut kecewa Dadang. Ia mengajukan kasasi. ?Bukti dan petunjuk aliran uang yang masuk ke rekening Marthen itu jelas sekali,? katanya. Uang itu, menurut dia, dari saksi-saksi kunci yang ternyata adalah para pencuri kayu di Papua dan kini masuk daftar pencarian orang (DPO). Status DPO itu, kata Dadang, muncul saat polisi memeriksa Marthen. Jaksa, kata Dadang, sudah minta Markas Besar Polri untuk menghadirkan para saksi kunci. ?Namun, hasilnya nihil.? Saat sidang, Marthen menyatakan tidak tahu jika kelima orang yang merupakan teman baiknya itu para pencoleng kayu.
Kepada Tempo yang menemuinya, Rabu pekan lalu, Hakim Lodewyk bercerita, sebelum sidang digelar pihaknya sudah yakin Marthen bakal bebas. ?Karena bukti-buktinya sangat lemah,? kata dia. Putusan bebas itu, kata Lodewyk, disepakati secara bulat bersama dua hakim lainnya, Morris Ginting dan A. Lakoni Harnie.
Bukan hanya Dadang yang kecewa dengan luputnya Marthen dari jerat hukum. Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Rudy Satryo Mukantardjo, juga menyesalkan putusan bebas untuk Marten. ?Hakim mestinya tidak terpaku pada sistem pembuktian konvensional yang harus mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,? kata pakar hukum pidana yang pekan lalu diminta Kejaksaan Agung menjadi saksi ahli dalam kasus pembalakan liar lainnya di Papua.
Menurut Rudy, dalam perkara seperti kasus Marthen ini saksi kunci tidaklah mutlak, apalagi jika status saksi buron. ?Apa hakim tidak berbuat apa-apa lagi?? ujarnya. Menurut dia, surat semestinya tidak lagi dinilai sekadar petunjuk, tapi bisa jadi alat bukti yang sah. Apalagi, dakwaan terhadap Marthen menggunakan Undang-Undang Antikorupsi dan Undang-Undang Antipencucian Uang. Kedua undang-undang ini, katanya, telah meluaskan pengertian alat bukti.
Pendapat yang sama dinyatakan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara. Menurut Makbul, alat bukti yang diajukan jaksa dalam kasus Marthen sudah cukup kuat, tapi ia tak bersedia mengomentari putusan bebas atas anak buahnya. ?Jangan tanya saya. Masyarakat yang akan menilai,? katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Suara lain datang dari Petrus Ohoitimur, pengacara Marthen. Menurut dia, putusan majelis sudah tepat. ?Tak ada satu pun bukti menunjukkan klien saya menerima suap.? Sebaliknya, kata Petrus, Marthen adalah polisi yang loyal pada atasan. ?Meski anggaran operasional minim, ia tidak menyusahkan atasannya.?
Di mata Wakil Sekretaris Dewan Adat Papua Fadal Alhamid, persidangan Marthen hanyalah sandiwara belaka. Sejak awal ia tidak yakin Marthen bakal masuk penjara. ?Dia sangat berpengaruh di Papua,? ujarnya, ?dan punya duit.?
Maria Hasugian, Erwin Dariyanto, Cunding Levi (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo