Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komandan Pangkalan Tentara Nasional Angkatan Laut (TNI AL) Ternate Letnan Kolonel Ridwan Aziz menanggapi kasus penganiayaan seorang jurnalis di Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sukandi Ali. "Komandannya kami ganti. Dan yang bersangkutan sudah ada di Ternate untuk proses (pemberian sanksi) lanjut atau dijatuhi sanksi sesuai hukum yang berlaku," kata Ridwan saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin, 8 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dia mengatakan dalam memproses hukum anggota TNI terdapat prosedur yang perlu ditempuh. Misalnya, korban harus didampingi kuasa hukum dan melayangkan pengaduan. Setelah itu divisum dan dimintai keterangan. "Setelah minta keterangan baru proses itu berjalan," tutur dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelumnya, tiga prajurit TNI AL menganiaya Sukandi. Dia dijemput di rumahnya di Desa Babang, Kecamatan Bacan Timur, Halmahera Selatan, Maluku Utara, pada 28 Maret 2024. Penjemputan paksa dilakukan Komandan Pos Angkatan Laut Letnan Dua Miftahudin dan anak buahnya, Idham.
Miftahudin dan Idham langsung memboyong korban ke Pos Angkatan Laut di Pelabuhan Perikanan Panambuang. Di pos ini, jurnalis Sidikkasus.co.id itu langsung ditendang oleh Miftahudin hingga tersungkur ke lantai. Saat itu dia pukul, ditendang, dinjak, bahkan diancam dibunuh.
Selain dua orang itu, pemukulan juga dilakukan oleh Aris. Menurut keterangan Sukandi, setelah Idham mencambuknya dengan selang, barang plastik itu diserahkan ke Aris. Saat itu Miftahudin memerintahkan anak buahnya itu menyambut punggung Sukandi.
Penganiayaan itu bermula saat Sukandi menulis berita penangkapan kapal SPOB Rimas di laut Halamahera Utara pada 20 Maret 2024. Kapal itu ditahan oleh TNI AL yang berpatroli dengan KRI Madidihang-855 milik Kaormada III TNI AL—bermarkas di Sorong, Papua Barat.
Setelah ditemukan di perairan Halmahera Timur, keesokan harinya Rimas langsung dibawa ke Pelabuhan Perikanan Panambuang. Saat itu, Rimas itu memuat bahan bakar minyak jenis Dexlite 20.400 liter dan 395.000 liter minyak tanah. "Alasan penahanan itu karena ada dokumen dan perlengkapan berlayar tidak lengkap," tutur Sukandi kepada Tempo melalui panggilan telepon, Jumat, 5 April 2024.
Ridwan mengatakan, dua anggota lainnya yang ikut memukul korban akan diperiksa kembali. "Kami akan periksa sesuai porsi masing-masing," ujar dia. Dia menjelaskan bahwa yang paling bertanggung jawab dari penganiayaan ini adalah Miftahudin.
Soal hukuman, kata Ridwan, tiga orangnya ini punya porsi hukuman berbeda. Dilihat dari hierarki yang berlaku di TNI. Dia menjelaskan, seusai Sukandi dijemput, seorang pelaku langsung salat duhur hingga aksi pemukulan berakhir. Seorang prajurit lain bertugas menjaga di sekitar lokasi, tempat Sukandi dianiaya. "Jadi yang paling bertanggung jawab itu Letnan berinisial S," ujarnya.
Dia belum menjelaskan hukuman yang akan diberikan kepada tiga pelaku pemukulan ini. Sebelumnya dikabarkan setelah kasus penganiayaan ini mencuat, Miftahudin dicopot sebagai Komandan Pos TNI AL.
Menurut dia, kasus pengoroyokan itu dilakukan atas perintah Miftahudin yang menjabat komandan. Adapun proses hukum kepada Idham dan Aris, masih menunggu hasil pemeriksaan keduanya. "Tidak mungkin kami memberikan porsi (hukuman) yang sama," ucap dia. "Yang dua itu anggota. Berarti yang perintah komandannya."
Ridwan mengatakan bahwa penganiayaan itu bukan kasus "pengeroyokan" melainkan "pemukulan". Alasan dia, dua orang lainnya, yang ikut memukul Sukandi, diperintah oleh Miftahudin.