Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERMOHONAN perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi kasus tertinggi yang ditangani Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada periode 2020. Wakil Ketua LPSK Livia Istania D.F. Iskandar mengatakan terdapat 533 korban kekerasan seksual yang dilayani lembaganya tahun lalu. Jumlah itu meningkat dibanding pada tahun sebelumnya, 507 kasus.
Dari jumlah itu, beberapa di antaranya merupakan korban pencabulan di tempat ibadah. “Potensi ancaman mereka besar. Karena biasanya pemimpin tempat ibadah itu punya banyak pengikut,” tutur Livia di kantornya pada Jumat, 21 Mei lalu. (Baca: Cara Perempuan Mesir Melawan Kekerasan Seksual)
Para pengikut itu, menurut dia, tetap loyal meski borok pemimpinnya terbongkar. Ia mencontohkan kasus pelecehan seksual yang diduga melibatkan Mochamad Subchi Azal Tsani, putra sulung Muchtar Muthi alias Kiai Tar, pendiri Pondok Pesantren Majma’al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah Jombang, Jawa Timur. Para pengikut Kiai Tar menghalangi polisi saat akan menjemput Subchi. “Bayangkan tingkat ancamannya terhadap para saksi dan korban kalau sampai polisi saja berani dihalangi,” ujar Livia.
Menurut Livia, ada juga kasus yang sama di salah satu pesantren Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Sebanyak 15 santri perempuan diduga diperkosa selama dua tahun terakhir. Polisi sudah menetapkan S, pemimpin pondok pesantren, sebagai tersangka pada Februari lalu. (Baca: Nasib Anak Panti Asuhan yang Diduga Dilecehkan Bruder di Depok)
Pelecehan seksual juga dialami santri laki-laki di Aceh Utara pada Juli 2020. Dua santri dilecehkan oleh ustad mereka sendiri. Pelaku dihukum penjara enam bulan dan dicambuk 74 kali. Kasus serupa terjadi di Lhokseumawe, Aceh. Seorang guru dan pengurus pesantren diduga melecehkan 15 santri pria yang masih di bawah umur.
Eliyati, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh Utara, mengatakan pelecehan seksual terhadap anak terjadi karena adanya relasi kuasa yang tidak seimbang sehingga korban tidak berani melapor. Anak selalu berada di posisi yang lemah. “Jadinya kasus pelecehan terus berulang,” tutur Eliyati.
Menurut Livia Istania, jumlah permohonan perlindungan ke LPSK terkait dengan kekerasan seksual meningkat setiap tahun. Dari sepuluh permohonan, dua pertiganya adalah perkara kekerasan seksual. Para pelaku pencabulan tersebut mayoritas orang yang dikenal atau dekat dengan korban. Biasanya, kata Livia, korban enggan melapor jika kasusnya terkait dengan orang kuat di bidang keagamaan.
Livia juga menilai hukuman ringan terhadap pelaku tak menciptakan efek jera. Ia merujuk pada hukuman penjara 6 bulan dan 74 kali dicambuk terhadap ustad di Aceh Utara. Begitu pula hukuman tambahan dalam Qanun Hukum Jinayat di Aceh, seperti pembayaran emas dan restitusi, yang dijatuhkan ke para pelaku belum berjalan efektif. (Baca: Blak-Blakan Pastor di Paroki Santo Herkulanus Depok soal Kekerasan Seksual di Gerejanya)
Kasus pelecehan seksual bisa terjadi di semua agama. Livia mengatakan lembaganya sedang membantu pemulihan anak-anak korban pelecehan seksual oleh pembina misdinar di Gereja Santo Herkulanus, Depok, Jawa Barat. Pelaku sudah divonis 15 tahun penjara. Selain itu, Livia melindungi para korban dan saksi dalam kasus pencabulan oleh biarawan di panti asuhan di Depok.
Livia mengatakan para pelaku umumnya memanfaatkan ketakutan para korbannya, khususnya anak-anak. Dia berharap pemerintah dan semua pihak bersama-sama menekan angka kekerasan seksual. Dia menyarankan ada sosialisasi khusus kepada anak-anak, khususnya yang berada di berbagai lembaga keagamaan. Dia juga mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. “Ada klausul yang memperberat hukuman bagi pelaku yang seharusnya memberi perlindungan kepada korban.”
LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo