Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Status tersangka Pegi Setiawan atas kasus pembunuhan Vina Cirebon dicabut melalui putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung pada Senin, 8 Juli 2024. Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai keterangan saksi hidup bernama Aep perlu diperiksa lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim tunggal PN Bandung Eman Sulaeman yang memimpin jalannya persidangan menyatakan penetapan Pegi sebagai tersangka tidak sah secara hukum. "Permohonan dari pemohon praperadilan seluruhnya dikabulkan," kata Eman saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Bandung, pada Senin, 8 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, dalam pemeriksaan oleh tim penyidik Polda Jawa Barat di Polsek Cikarang Utara pada 22 Mei lalu, Aep mengaku melihat Pegi Setiawan di tempat kejadian perkara (TKP). Saat peristiwa berlangsung, Aep mengklaim dirinya tengah berada di sebuah warung dekat lokasi kejadian. “Waktu penangkapan itu saudara Pegi tidak ada. Tapi pas kejadian itu ada,” ucap Aep.
Meski mengenali foto pria yang disodorkan polisi, Aep mengaku dalam kehidupan sehari-hari dia tak pernah berkomunikasi dengan Pegi. Namun, Aep kerap melihat Pegi berada di sebuah tempat tongkrongan yang berada di depan steam mobil, tempatnya bekerja saat di Cirebon.
Kini pasca penetapan tersangka Pegi Setiawan dicabut, keterangan Aep kembali disorot. Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai Aep perlu diproses hukum. “Keterangannya, sebagaimana perspektif saya selama ini, adalah barang yang paling merusak pengungkapan fakta,” ujarnya ketika dihubungi, Selasa, 9 Juli 2024.
Menurut dia, Aep diduga memberikan keterangan palsu atau false confession. “Persoalannya, keterangan palsu Aep itu datang dari mana? Dari dirinya sendiri ataukah dari pengaruh eksternal? Jika dari pihak eksternal, siapakah pihak itu?” kata Reza.
Ancaman Pidana Keterangan Palsu
Menurut Pasal 1 ayat 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang penting ketika proses pembuktian pada tahap pemeriksaan. Oleh karena itu, pada Pasal 160 ayat 3 KUHAP disebutkan bahwa seorang saksi wajib disumpah sebelum atau setelah memberi keterangan di persidangan.
Pada dasarnya, memberikan keterangan palsu memilikki konsekuensi ancaman pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Saksi yang telah disumpah tetapi dengan sengaja memberikan keterangan palsu, baik lisan atau tertulis, secara pribadi maupun oleh kuasa yang ditunjuk, diancam pidana penjara maksimal tujuh tahun. Ancaman pidana diberikan lantaran keterangan palsu dari saksi dapat merugikan terdakwa. Ancaman pidana yang dimaksud termaktub dalam Pasal 242 KUHAP ayat 1 dan ayat 2.
Pasal 242 KUHAP ayat 1 menyebutkan bahwa “Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Sedangkan, dalam pasal 242 KUHAP ayat 2, menyebutkan bahwa “Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Lebih lanjut, dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal karangan R Soesilo disebutkan bahwa saksi yang memberikan keterangan palsu dapat dijatuhi pidana ketika ia dengan sadar mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan palsu dan karenanya sebelum dituntut pidana, hakim wajib dan harus memperingatkan saksi dahulu.
Linier dengan pernyataan tersebut, Pasal 174 KUHAP menjelaskan apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang harus memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi tersebut supaya memberikan keterangan yang sebenarnya. Hakim juga harus mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan apabila saksi tetap memberikan keterangan palsu. Apabila saksi bersikukuh dengan keterangan palsunya, atas permintaan penuntut umum atau terdakwa, hakim ketua sidang dapat memberi perintah supaya saksi tersebut ditahan.
Dinukil dari laman tribratanews.kepri.polri.go.id, jika saksi memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan terdahulu dalam Berita Acara Pemeriksaan atau BAP, bahkan menyatakan mencabut keterangan terdahulu, Hakim tidak dapat serta merta menyalahkan saksi. Akan tetapi menanyakan alasan saksi mencabut keterangan yang terdapat dalam BAP. Apabila Saksi memberikan alasan yang masuk akal, maka pencabutan isi BAP tersebut dapat diterima.
Sementara, apabila alasan pencabutan BAP dilatarbelakangi paksaan atau tekanan dari penyidik, maka hakim dapat mengonfrontasi antara saksi dengan pemeriksa. Jika terbukti bahwa dalam pemeriksaan pendahuluan terdapat cara-cara yang bertentangan dengan hukum seperti adanya paksaan, intimidasi dan sebagainya, maka pencabutan isi BAP tersebut dapat diterima.
Sebaliknya jika terbukti bahwa pada saat pemeriksaan pendahuluan tidak terdapat paksaan, intimidasi atau cara-cara yang bertentangan dengan hukum, maka dapat disangka bahwa keterangan saksi tersebut bohong.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI I EIBEN HEIZIER I DEFARA DHANYA PARAMITHA I ADVIST KHOIRUNIKMAH I ADI WARSONO I M. FAIZ ZAKI I HENDRIK KHOIRUL MUHID