Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi membidik perusahaan pemilik bus yang mengalami kecelakaan di Subang, Jawa Barat.
Penyidik menemukan adanya dugaan pelanggaran oleh perusahaan itu.
UU LLAJ pun menyediakan pasal untuk menjerat pengusaha jasa angkutan umum yang lalai.
KEPOLISIAN Daerah Jawa Barat menetapkan sopir bus PO Trans Putera Fajar, Sadira, sebagai tersangka dalam kecelakaan rombongan siswa SMK Lingga Kencana di Jalan Raya Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Polisi menjerat Sadira dengan Pasal 311 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Lalu Lintas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Wibowo menuturkan, penetapan tersangka berdasarkan alat bukti yang cukup, seperti keterangan saksi dan ahli. “Selanjutnya kami akan meminta keterangan pihak perusahaan maupun kepada ahli transportasi,” ujarnya saat konferensi pers di kepolisian Resor Subang, Selasa, 14 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wibowo pun membuka peluang untuk mempidanakan perusahaan pemilik bus. Pasalnya, menurut penyelidikan sementara, mereka menemukan sejumlah pelanggaran, seperti tidak adanya surat uji kelayakan atau kir dari bus berpelat nomor AD-7524-OG tersebut. Selain itu, Wibowo menyatakan ada dugaan sasis bus itu telah dimodifikasi tak sesuai dengan ketentuan.
“Ditemukan fakta tak perpanjang uji kir serta fakta lainnya, seperti perubahan badan bus dari bus biasa menjadi jetbus atau high decker," ujarnya.
Berdasarkan penyelidikan, menurut Wibowo, pihaknya juga menemukan adanya ketidaklayakan sistem pengereman bus. Polisi menemukan adanya campuran oli dan air dalam kompresor yang digunakan untuk rem angin bus. Menurut dia, kompresor itu seharusnya hanya berisi angin.
”Penyebab utama kecelakaan maut itu adalah adanya kegagalan fungsi pada sistem pengereman bus maut tersebut," kata Wibowo.
Polisi memeriksa keadaan bus Putra Fajar yang terlibat dalam kecelakaan maut di Ciater, Subang, Jawa Barat, 11 Mei 2024. TEMPO/Prima Mulia
Masalah pada rem bus itu sebelumnya sempat diakui Sadira selaku sopir. Dia mengaku sempat memperbaiki rem angin bus tersebut, tapi tak berhasil. Pria yang sudah menjadi sopir selama 16 tahun itu pun menyatakan tak bisa mengendalikan busnya saat melewati jalan menurun. Sadira terpaksa menabrakkan bus itu ke sisi kanan hingga akhirnya terbalik untuk menghentikan laju kendaraan. Sebanyak 12 orang tewas dalam peristiwa ini.
”Saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena kejadian ini tidak ada yang mau. Ini namanya musibah, mohon maafkan saya,” ujar Sadira, Ahad, 12 Mei 2024.
Belakangan diketahui bahwa bus tersebut tak lagi memiliki surat uji kir atau surat uji kelayakan kendaraan. Surat kir bus PO Trans Putera Fajar itu diketahui telah mati sejak Desember 2023.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno sepakat bahwa pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini semestinya tak hanya berhenti pada sopir. Dia berharap polisi juga memberikan sanksi terhadap perusahaan angkutan umum pemilik bus. “Selama ini selalu sopir yang dijadikan tumbal setiap kali terjadi kecelakaan bus,” tuturnya.
Bukan hanya soal kir, dalam kasus ini, dia pun melihat adanya pelanggaran terhadap sistem manajemen keselamatan yang wajib dilaksanakan oleh setiap pengusaha angkutan umum. Kewajiban tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 85 Tahun 2018 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum.
Sistem manajemen keselamatan, kata Djoko, meliputi komitmen dan kebijakan, pengorganisasian, manajemen bahaya dan risiko, serta fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kendaraan bermotor. Lalu ada dokumentasi dan data, peningkatan kompetensi dan pelatihan, tanggap darurat, pelaporan kecelakaan internal, monitoring dan evaluasi, serta pengukuran kinerja.
Sistem ini pun merupakan bagian dari manajemen perusahaan angkutan umum yang diwujudkan dalam tata kelola keselamatan. “Dilakukan secara komprehensif dan terkoordinasi untuk keselamatan dan mengelola risiko kecelakaan,” ujarnya.
Keluarga dan kerabat berada di dekat makam korban kecelakaan bus rombongan SMK Lingga Kencana di TPU Parung Bingung, Depok, Jawa Barat, 12 Mei 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Ketua Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Nella Sumika Putri pun sependapat bahwa manajemen perusahaan bus harus turut dimintai pertanggungjawaban pidana. Pasalnya, menurut dia, perusahaan bus merupakan pihak yang paling layak bertanggung jawab atas kelayakan kendaraan. “Itu kewajiban dari perusahaan angkutan, bukan kewajiban sopir, kecuali sopirnya merangkap sebagai pemilik kendaraan,” kata Nella saat dihubungi kemarin.
Merujuk pada Pasal 315 ayat (1) UU LLAJ, perusahaan bus dapat dipidanakan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa perusahaan bus atau pengurusnya bisa dimintai pertanggungjawaban jika terbukti melakukan tindak pidana lalu lintas.
Dalam ayat berikutnya pun dinyatakan bahwa pihak perusahaan angkutan umum bisa dikenakan denda paling banyak tiga kali dari denda yang ada di setiap pasal undang-undang. Dalam ayat 3 pasal yang sama bahkan tertera perusahaan angkutan umum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembekuan sementara atau pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan.
Berdasarkan penelusuran Tempo, pihak perusahaan angkutan umum sangat jarang dijerat pidana dalam sebuah kecelakaan. Meskipun ketentuan untuk menjerat perusahaan angkutan umum telah ada sejak 2009, kasus pertama penggunaan Pasal 315 ayat (1) itu baru terjadi pada 2020.
Saat itu, Polda Sumatera Selatan menjerat Direktur PO Sriwijaya yang busnya mengalami kecelakaan di Pagar Alam hingga menyebabkan 41 orang tewas. Polisi saat itu menyatakan ada kelalaian dari pihak perusahaan karena mengoperasikan bus yang tak layak jalan hingga akhirnya terperosok ke jurang sedalam 100 meter. Rem bus itu disebut tak berfungsi dengan baik.
Dalam kasus kecelakaan di Kabupaten Subang, Nella menyatakan polisi bisa menelusuri siapa orang yang bertanggung jawab untuk mengurus kelayakan kendaraan di perusahaan angkutan umum itu. Dia menyatakan bahwa tanggung jawab tidak serta-merta kepada pemilik perusahaan angkutan umum, melainkan harus diselidiki lebih lanjut.
Sebagai penyewa kendaraan umum seperti bus, kata Nella, konsumen semestinya tidak perlu direpotkan untuk memperhatikan detail fisik bus yang akan digunakan. Alasannya, menurut peraturan yang berlaku, pihak perusahaan jasa angkutan umum wajib menjamin kelayakan kendaraan yang akan disewakan.
Dia mengingatkan bahwa kepolisian juga perlu lanjut mengusut sebab-akibat sebuah kecelakaan hingga selesai. Penyelidikan atau penyidikan kasus juga belum tentu selesai hanya karena disimpulkan ulah sopir semata menyebabkan penumpang tewas. “Kalau kita pakai teori sebab-akibat, ya, semua sebab langsung diperhitungkan,” ucap Nella.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Irjen (Purn) Pudji Hartanto Iskandar, pun menyatakan pihaknya akan ikut mengawal kasus ini. Dia pun sepakat dengan langkah Polda Jawa Barat untuk tak berhenti mengusut kasus kecelakaan maut ini sampai pada sopir saja. “Penegakan hukum secara menyeluruh, bukan hanya sampai sopir. Bila dari hasil penyidikan mengarah pada kesalahan perusahaan, maka harus diproses,” kata mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sebagian artikel ini diambil dari Kantor Berita Antara.