Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kekerasan Laten di Pondok Pesantren

Kematian santri di Kediri menambah panjang daftar korban kekerasan di pondok pesantren. Akibat sekolah tak ramah anak.

29 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengasuh Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al – Hanifiyya, Fatihunnada, memberikan penjelasan terkait penganiayaan santrinya, Bintang Balqis Maulana, di Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, 26 Februari 2024. TEMPO/ Hari Tri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kematian Bintang Balqis Maulana menambah panjang daftar korban kekerasan yang berujung kematian di pondok pesantren.

  • Penerapan pedoman sekolah ramah anak dinilai perlu lebih diawasi secara ketat.

  • Selain itu, pengelolaan ponpes harus dievaluasi.

JAKARTA — Bintang Balqis Maulana, santri Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur, mengembuskan napas terakhir pada Jumat, 23 Februari lalu, sekitar pukul 03.00 WIB. Tewasnya anak 14 tahun itu menambah panjang daftar korban penganiayaan hingga tewas di lingkungan pondok pesantren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bintang tewas setelah diduga menjadi korban kebrutalan empat kakak seniornya, yaitu AF yang berusia 16 tahun, MA (18), MN (18), dan AK (17), yang kini telah ditetapkan sebagai anak berhadapan dengan hukum alias tersangka oleh Kepolisian Resor Kediri. Pengacara keempat pelaku, Rini Puspitasari, menyatakan kliennya mengakui telah menganiaya Bintang selama tiga hari secara beruntun, Selasa hingga Kamis, saat tengah malam. “Pemukulan dilakukan dengan tangan kosong,” kata Rini kepada Tempo, Rabu, 28 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rini mengatakan alasan para pelaku menganiaya adalah kesal atas perilaku korban. Mereka menilai Bintang kerap memberikan keterangan tidak benar kepada orang tuanya soal kondisi pondok pesantren itu serta tak mau ikut salat berjemaah. “Menurut keterangan anak-anak (pelaku), Bintang pernah mengaku sakit karena disuruh kerja. Kemudian dinasihati supaya jangan begitu,” katanya.

Soal salat berjemaah, menurut Rini, salah satu pelaku sempat berusaha mengingatkan Bintang, tapi mendapat respons kurang menyenangkan hingga pelaku naik pitam. “Bintang ini menjawab ‘iya, iya’ kemudian matanya juga melotot. Akhirnya (pelaku) emosi, kemudian dipukul,” kata Rini.

Para pelaku menganiaya santri asal Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut dengan cara menampar hingga memukul. Pada Kamis malam, Bintang pun terkapar. Keempat seniornya itu mengaku sempat merawat Bintang di kamarnya. “Luka korban diolesi salep. Mereka sebenarnya sempat mau membawa korban ke RS pada Kamis malam, tapi tidak jadi,” kata Rini. “Jumat dinihari, salah satu pelaku melihat wajah korban makin pucat, lalu dibawa ke RS pada pukul 03.00 sudah meninggal.”

Pengasuh PPTQ Al Hanifiyyah, Fatihunada, mengaku baru mendapat laporan soal kematian Bintang pada Jumat pagi, pukul 09.00. Dia menyatakan para pelaku pun sempat menutupi kematian Bintang dengan menyebutnya terjatuh di kamar mandi. “Saya mendapat laporan anak itu jatuh terpeleset di kamar mandi dan saya tidak sempat melihat (kondisi korban) karena mengurus ambulans serta keperluan berangkat ke sana (Banyuwangi),” katanya. 

Saat tiba di rumah duka, keluarga korban tak percaya penyebab kematian Bintang. Apalagi pihak pesantren sempat melarang keluarga korban membuka kain kafan Bintang. Tak mudah percaya, keluarga korban nekat membuka kain kafan, kemudian menemukan ternyata tubuh Bintang penuh memar serta luka bukan seperti jatuh di kamar mandi. Hingga akhirnya keluarga korban membuat laporan di Polsek Glenmore, Banyuwangi, pada Sabtu, 24 Februari lalu. 



Menindaklanjuti laporan keluarga korban, pihak kepolisian melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) serta pemeriksaan sejumlah saksi. Hasilnya, polisi menetapkan keempat pelaku sebagai anak berhadapan dengan hukum. "Minggu malam, kami telah menahan empat orang dan kami tetapkan mereka sebagai anak berhadapan dengan hukum,” kata Kepala Kepolisian Resor Kediri Kota Ajun Komisaris Besar Bramastyo Priaji, Senin lalu.

Keempat santri dijerat Pasal 80 ayat 3 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang, serta Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana yang dilakukan secara berulang yang mengakibatkan kematian.

Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur pun ikut turun tangan setelah mendengar informasi soal kematian Bintang. Berdasarkan penelusuran Kanwil Kemenag Jawa Timur, Ponpes Al Hanifiyyah tak memiliki izin menyelenggarakan pendidikan pesantren meskipun telah beroperasi sejak 2014. “Ponpes tersebut (Al Hanifiyyah) belum memiliki izin operasional pesantren,” kata Kepala Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jawa Timur Mohammad As’adul Anam, Rabu kemarin.

Karena ponpes tersebut tidak memiliki izin, Kemenag menyerahkan sepenuhnya kasus itu kepada polisi. Kanwil Kemenag Jawa Timur tidak bisa melakukan tindakan administrasi. Hasil penyelidikan yang dilakukan Kanwil Kemenag Jawa Timur juga menemukan bahwa salah satu pelaku merupakan saudara korban.

Kekerasan seperti yang dialami Bintang bukan kali ini saja terjadi. Dalam setahun terakhir, setidaknya ada enam kasus kekerasan berujung kematian lainnya di lingkungan pondok pesantren. 

TI

Kematian Bintang Balqis Maulana, santri Pondok Pesantren Al Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur, menambah panjang daftar korban jiwa akibat kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan berbasis agama. Sepanjang setahun terakhir, setidaknya terdapat enam kasus serupa yang muncul ke permukaan. Berikut ini peristiwa yang berhasil dirangkum Tempo selain kasus Bintang.



Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar menilai masalah ini terus berulang karena belum diterapkannya Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2014 tentang Sekolah Ramah Anak serta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. 

“Belum diimplementasikannya kebijakan sekolah ramah anak, implementasi dari Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dan atau pedoman pesantren ramah anak," kata Nahar, kemarin.

Permen PPPA tentang Sekolah Ramah Anak sebenarnya telah menyebutkan sejumlah indikator yang harus dipenuhi lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren, agar ramah anak. Di antaranya adalah memiliki kebijakan anti-kekerasan yang dibuat bersama oleh pendidik, peserta didik, dan pihak lain yang terlibat dalam pendidikan anak. 

Kebijakan tersebut harus memuat larangan adanya tindak kekerasan dalam bentuk apa pun, perundungan atau bullying, hingga larangan pemberian hukuman badan, seperti memukul hingga menjewer oleh tenaga pendidik. Selain itu, ada larangan pemberian hukuman yang bisa membuat peserta didik merasa direndahkan martabatnya atau dihina. 

Aturan itu juga mengharuskan setiap lembaga pendidikan membuat mekanisme pengaduan kasus kekerasan plus menjalankan penegakan disiplin dengan nirkekerasan. 

Nahar pun menilai kasus seperti ini tak lepas dari praktik senioritas yang masih membudaya. Karena itu, dia menilai semua lembaga pendidikan memiliki tantangan untuk memutus budaya seperti ini. "Ada praktik yang dibiasakan dan terus dilanjutkan antara junior dan senior dengan alasan perkenalan atau alasan lain yang dilakukan oleh kelompok siswa atau seniornya," katanya.

Keluarga korban penganiayaan di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Bintang Balqis Maulana, menerima kedatangan Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani di rumah duka di Banyuwangi, Jawa Timur, 28 Februari 2024. Dok. Diskominfo Kabupaten Banyuwangi

Penyebab lainnya, menurut dia, lembaga pendidikan seperti pondok pesantren kerap tak memiliki rasio yang seimbang antara siswa atau santri dan pengasuh atau tenaga kependidikan. Hal itu membuat pengawasan dari pengasuh terhadap peserta didik tak berjalan dengan baik. 

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menyangsikan saat ini ada sekolah yang 100 persen bebas dari kekerasan. Hal itu, menurut dia, tak lepas dari lingkungan sekolah yang pada dasarnya tertutup, kondisi peserta didik yang beragam, dan kurang memadainya sarana-prasarana antikekerasan.

Karena itu, dia mendorong Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama lebih memperketat penerapan aturan sekolah ramah anak. Dia bahkan menilai hal itu seharusnya bisa menjadi dasar penilaian terhadap sebuah sekolah. “Indikator tersebut bahkan menjadi indikator mutlak. Artinya, betapa pun indikator lainnya mendapatkan nilai bagus, akreditasi sekolah akan serta-merta hangus jika indikator ramah anak ini mendapatkan nilai jelek,” ujarnya.

Adapun pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah, menilai pemerintah harus lebih dulu membenahi soal perizinan lembaga pendidikan. Dia meminta pemerintah memastikan semua lembaga pendidikan yang beroperasi harus memiliki izin sehingga dapat dipaksa melaksanakan aturan-aturan yang ada. Hal itu, menurut dia, juga untuk menjamin keamanan dan kenyamanan peserta didik seperti santri. 

“Keamanan dan kenyamanan santri harus menjadi prioritas karena ini terkait dengan kepercayaan masyarakat kepada pondok pesantren,” kata Jejen saat dihubungi secara terpisah.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | HARI TRI WARSONO (KEDIRI) | ANTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter di desk Hukum dan Kriminal yang menulis isu seputar korupsi, kriminal, dan hukum.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus