Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi menyimpulkan kematian Brigadir Ridhal Ali Tomi akibat bunuh diri.
Kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi preseden.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menyesalkan keputusan polisi yang terlalu mudah memberikan kesimpulan.
PENYEBAB kematian Brigadir Ridhal Ali Tomi masih menimbulkan tanda tanya. Polisi memang sudah menyimpulkan bahwa anggota Kepolisian Resor Kota Manado, Sulawesi Utara, itu bunuh diri. Namun kesimpulan tersebut belum ditopang bukti-bukti yang terang. Kasus Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi preseden. Polisi awalnya menyatakan Yosua tewas bunuh diri. Ternyata belakangan terungkap bahwa ia ditembak mati temannya sendiri atas perintah atasan mereka, Ferdy Sambo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, mengatakan, dalam pelbagai kasus, ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang polisi memutuskan mengakhiri hidup, yaitu kecemasan hebat, depresi, penggunaan narkotik, dan kecanduan minuman keras. "Faktor itu tidak terjadi secara singkat, melainkan dibentuk dari kesulitan hidup dan beban yang sudah lama dialami," katanya, Senin kemarin, 29 April 2024. "Akhirnya, seorang polisi bisa mengambil keputusan yang salah dengan bunuh diri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kasus Brigadir Ridhal, kata Reza, kematiannya sudah dipastikan bukan karena faktor alami, seperti memiliki penyakit atau berusia lanjut. Karena itu, perlu ditelusuri ke belakang untuk memastikan apakah benar ia tewas karena menembak dirinya sendiri atau ada faktor lain. Sebab, bisa saja senjata api itu meletus secara tidak sengaja. "Hanya bisa terjawab definitif apabila kepolisian sudah melakukan autopsi psikologi forensik," ujarnya.
Baca:
Untuk autopsi psikologi forensik, langkah awal yang harus dilakukan adalah memeriksa dokumen kesehatan Ridhal. Perlu dicek bagaimana kondisi psikologisnya ketika hendak memiliki senjata api. Seseorang yang memiliki masalah kejiwaan sudah tentu tidak akan diizinkan memiliki senjata api. "Jika sudah diberi izin dan justru terjadi seperti ini, perlu ada penjelasan lain," ucap Reza.
Langkah kedua adalah memeriksa orang-orang yang berada di sekitar kehidupan Ridhal. Keterangan dari orang-orang ini sangat penting untuk mengetahui kondisi kehidupan Ridhal. Sayangnya, sebelum langkah ini dijalankan, Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan menyatakan kasus ini adalah bunuh diri. Padahal, tanpa metode penyelidikan yang terukur, kesimpulan itu justru menimbulkan kontroversi. "Tidak mungkin dalam hitungan jam disimpulkan kematian akibat bunuh diri karena masalah pribadi," kata Reza.
Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian RI menunjukkan barang bukti berupa senjata api HS milik Brigadir Ridhal Ali di Jakarta, 29 April 2024. TEMPO/Advist Khoirunikmah
Karena itu, kata Reza, memang diperlukan penyelidikan secara saksama dengan melibatkan pihak independen dari kalangan ilmuwan. "Sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa polisi bekerja secara terukur dan tuntas dalam kasus ini," ujarnya.
Brigadir Ridhal tewas di dalam mobil Toyota Alphard hitam yang terparkir di teras sebuah rumah di Jalan Mampang Prapatan IV, RT 02 RW 05 Nomor 20, Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada 25 April lalu, pukul 18.25 WIB. Kepolisian kemudian melakukan olah tempat kejadian perkara.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Bintoro mengatakan, saat ditemukan, Ridhal berada di bangku pengemudi dengan posisi tubuh miring ke kiri. "Banyak ceceran darah di bagian kursi kiri dan dasbor tengah," ucapnya.
Berdasarkan hasil visum et repertum, terlihat luka berbentuk lubang kecil dari pelipis kanan yang tembus hingga ke pelipis kiri. Dokter forensik Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Asri Megatari, mengatakan luka itu terbentuk oleh peluru senjata api. Ada juga bagian tulang kepala yang patah. "Selain luka itu, tidak ada luka lagi."
Berdasarkan rekaman kamera pengawas (CCTV), diketahui bahwa Brigadir Ridhal—mengendarai Toyota Alphard—berada di rumah Jalan Mampang Prapatan IV Nomor 20, pada pukul 16.20 WIB. Setelah semua penumpang Alphard turun, tinggal Ridhal sendiri di mobil itu. Tidak berapa lama kemudian terdengar suara letusan. Mobil Alphard bergerak maju perlahan, lalu beradu dengan mobil lain yang terparkir di tempat itu.
Suasana halaman rumah yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) kasus dugaan bunuh diri Brigadir Ridhal Ali di Mampang Prapatan, Jakarta, 27 April 2024. TEMPO/Han Revanda Putra
Orang-orang yang sebelumnya berada di dalam rumah lalu ke luar untuk melihat. Mereka panik ketika melihat Ridhal tewas dengan luka di kepala. Anggota tim dari Puslabfor Polri, Komisaris Irfan, mengatakan di mobil itu ditemukan pistol HS kaliber 9 milimeter, tujuh peluru, serta satu selongsong peluru dengan kaliber yang sama.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, mengatakan logis atau tidaknya dugaan kesimpulan atas kematian Ridhal itu bergantung pada hasil scientific crime investigation. Terutama pada pemeriksaan luka tembak oleh dokter forensik serta pengecekan balistik perihal senjata dan peluru yang digunakan.
Menurut Josias, berdasarkan prosedur, individu yang diizinkan memegang senjata api wajib lolos tes psikologi dan memenuhi syarat tambahan lain. Karena itu, dia mempertanyakan prosedur yang sudah dijalankan terhadap Ridhal sehingga diizinkan memegang senjata api. "Dugaan bunuh diri dalam kasus ini tidak sederhana dan bisa disebabkan oleh berbagai faktor," ujarnya. "Harus ada penjelasan berbasis bukti sains, bukan praduga."
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Benny Jozua Mamoto, mengatakan belum mengetahui alasan Brigadir Ridhal berada di Jakarta. Padahal penugasannya jauh dari satuan asal, yaitu wilayah Sulawesi Utara. "Sedang ditangani oleh pengawas internal," katanya.
Kompolnas, kata Benny, akan meminta klarifikasi dari Kepolisian Daerah Sulawesi Utara dan Polresta Manado perihal penugasan Brigadir Ridhal Ali ke Jakarta itu. Penyelidikan juga tidak boleh berhenti pada kesimpulan bunuh diri. "Harus ditelusuri latar belakangnya supaya kecurigaan dapat terjawab," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Advist Khoirunikmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Jangan remehkan depresi. Untuk bantuan krisis kejiwaan atau tindak pencegahan bunuh diri, Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyediakan psikolog GRATIS bagi warga yang ingin berkonsultasi tentang kesehatan jiwa. Terdapat 23 lokasi konsultasi gratis di 23 puskesmas Jakarta yang bisa diakses menggunakan BPJS Kesehatan. Konsultasi juga bisa dilakukan secara online melalui laman https://sahabatjiwa-dinkes.jakarta.go.id dan dapat dijadwalkan konsultasi lanjutan dengan psikolog di puskesmas apabila diperlukan. Selain itu, Anda dapat menghubungi lembaga berikut ini untuk berkonsultasi. Yayasan Pulih: (021) 78842580; Hotline Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan: (021) 500454; LSM Jangan Bunuh Diri: (021) 9696 9293