Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jerat Korupsi Kepala Daerah

Tiga kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tiga bulan terakhir. 

5 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penjabat Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa (kiri) dan Sekretaris Daerah, Indra Pomi Nasution, resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pasca terjaring Kegiatan Tangkap Tangan, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 Desember 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tiga kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tiga bulan terakhir.

  • Pengawasan yang lemah di tingkat daerah membuat mereka kerap melakukan korupsi.

  • Selain itu, biaya politik yang tinggi membuat mereka harus mengumpulkan uang dengan berbagai cara.

KOMISI Pemberantasan Korupsi menangkap tiga kepala daerah dalam tiga bulan terakhir. Yang terbaru adalah penjabat Wali Kota Pekanbaru, Riau, Risnandar Mahiwa. Dia menjadi penghuni baru tahanan KPK sejak Selasa, 3 Desember 2024. Risnandar menjadi tersangka setelah sehari sebelumnya terjaring operasi tangkap tangan KPK di Pekanbaru. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan pihaknya juga menetapkan Sekretaris Daerah Pekanbaru Indra Pomi Nasution dan Kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah Pekanbaru Novin Karmila sebagai tersangka. Mereka menjadi tersangka kasus dugaan penyunatan anggaran dan setoran dari sejumlah dinas di Kota Pekanbaru. Dalam penangkapan itu, KPK juga menyita uang sebesar Rp 6,8 miliar. “Selanjutnya menahan para tersangka untuk 20 hari pertama sejak 3 Desember sampai 22 Desember 2024 di Rutan Cabang KPK,” ucap Ghufron.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Risnandar adalah kepala daerah kelima yang terjaring KPK pada tahun ini. Sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Bupati Sidoarjo Ahmad Mudlor Ali, Bupati Labuhanbatu Erik Atrada Ritonga, dan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sebagai tersangka. Hanya, status Sahbirin sebagai tersangka dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan praperadilan. 

Mantan penyidik KPK, M. Praswad Nugraha, menilai banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi merupakan fenomena gunung es. Menurut dia, mereka terlibat korupsi, salah satunya, karena pengawasan yang lemah. Kepala daerah, kata Praswad, praktis tak memiliki pengawasan yang kuat karena kekuasaannya terlalu besar. Bahkan, dia menambahkan, kepala daerah membawahi inspektorat daerah. 

Praswad mengatakan seharusnya inspektorat tersebut berada di luar kekuasaan kepala daerah, minimal langsung di bawah menteri. "Inspektorat daerah kan pendeteksi pertama adanya potensi korupsi dan dia ada di kabupaten/kota atau provinsi. Tapi inspektorat tidak berfungsi karena di bawah kekuasaan kepala daerah," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Rabu, 4 Desember 2024.

Pria yang baru saja mengakhiri jabatannya sebagai Ketua Indonesia Memanggil 57 Plus (IM57+) itu juga menilai kepala daerah meminta upeti dari bawahannya karena beban politik yang besar. Tak hanya untuk memenangi pemilihan, menurut dia, seorang kepala daerah juga harus mengeluarkan ongkos untuk menjaga relasi ke berbagai pihak demi mengamankan posisinya ataupun menjaga jejaring untuk kepentingan personal ke depan. 

Selain itu, Praswad menyebutkan mereka memiliki kebutuhan melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak yang tak berada di bawah kekuasaannya, misalnya para penegak hukum. Bentuknya, menurut dia, bisa berupa kiriman ucapan selamat hari jadi lembaga serta hadir dalam kegiatan pernikahan atau menerima tamu dari luar kota. Pengeluaran-pengeluaran itu kadang kala tidak masuk dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. "Jadi, ada uang yang harus dikeluarkan untuk membiayai cost-cost yang tidak tertulis dalam APBD secara resmi."

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, sepakat bahwa lemahnya pengawasan menjadi salah satu penyebab masih maraknya korupsi yang melibatkan gubernur, bupati, ataupun wali kota. Namun dia menilai ada empat faktor lain yang menyebabkan para pemimpin di daerah itu melakukan korupsi. Pertama, adanya celah dalam aturan yang berlaku saat ini. "Misalnya sistem perampasan aset belum ada. Kemudian belum adanya aturan soal konflik kepentingan secara detail. Juga soal memperdagangkan pengaruh," ujarnya. 

Kedua, Zaenur menilai korupsi seperti ini juga terus terjadi karena absennya komitmen pemberantasan korupsi yang serius dari pemimpin-pemimpin di tingkat pusat, baik itu dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Bahkan sejauh ini dia melihat eksekutif ataupun legislatif justru ingin melemahkan KPK dengan berbagai cara. Contohnya, revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang memangkas sebagian kewenangan lembaga antirasuah. "Pemberantasan korupsi bisa terjadi jika mendapat dukungan negara, presiden, parlemen, serta kekuasan kehakiman. Namun yang ada justru penjinakan."

Ketiga, Zaenur menilai Indonesia belum memiliki peta jalan atau road map pemberantasan korupsi yang memadai. Hal itu, menurut dia, berbeda dengan negara lain. Dia mencontohkan Hong Kong yang menekankan pemberantasan korupsi dengan memastikan penegak hukumnya bersih. Logikanya, jika penegak hukum tak terlibat korupsi, mereka tak akan segan menindak pejabat ataupun pegawai lain yang melakukan korupsi. 

Keempat, Zaenur pun sepakat bahwa kepala daerah kerap melakukan korupsi karena biaya politik yang mahal. Sama seperti Praswad, Zaenur mengatakan seorang kepala daerah seperti memiliki kewajiban untuk menyetor upeti kepada partai politik yang menyokongnya ketika menjabat. Itu belum termasuk biaya kampanye yang besar ketika dia ingin kembali menjabat.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, juga sepakat bahwa biaya politik yang besar menjadi faktor banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi. Namun dia menilai hal ini tak lepas dari kesalahan partai politik yang tidak serius melakukan kaderisasi. Banyaknya kandidat kepala daerah yang muncul secara instan membuat biaya politik membengkak karena mereka tak memiliki modal popularitas ataupun elektabilitas yang memadai. "Uang itu digunakan untuk biaya pemilu, survei, serta memberi upeti ke partai politik saat ia menjabat," ujarnya. 

Mengutip ucapan seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri, lima tahun lalu, biaya untuk memenangkan pilkada di tingkat kabupaten atau kota saat itu saja sekitar puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Sementara itu, untuk tingkat gubernur bisa mencapai triliunan rupiah.

Soal upeti dari kepala daerah ke partai politik saat menjabat, menurut Egi, seharusnya hal itu tak perlu terjadi jika negara memberikan dana bantuan yang cukup. Bantuan keuangan dari pemerintah ke partai politik saat ini masih tergolong kecil. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018, bantuan keuangan yang diberikan pemerintah kepada parpol saat ini hanya Rp 1.000 per suara. Meski nilai ini lebih besar ketimbang sebelumnya, tutur Egi, angka itu masih belum cukup. "Parpol memang harus diberi dukungan besar dari negara agar mereka tidak mencari pendanaan dari pihak luar." 

Penelitian yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada 2012 juga menunjukkan jarak yang sangat besar antara bantuan pemerintah dan kebutuhan partai politik. Laporan itu menyebutkan partai kelas menengah saja membutuhkan dana sekitar Rp 51,2 miliar per tahun untuk memutar roda organisasinya. Jumlah itu merupakan ongkos untuk kegiatan operasional, konsolidasi, pendidikan politik, kaderisasi, serta perjalanan dinas. Padahal saat itu pemerintah hanya mengalokasikan bantuan sebesar Rp 108 per suara bagi partai politik yang mendapat kursi di DPR. Walhasil, bantuan dana dari pemerintah saat itu hanya memenuhi 1,32 persen kebutuhan anggaran partai politik kelas menengah.

Tim penyidik menunjukkan barang bukti uang hasil kegiatan tangkap tangan penjabat Wali Kota Pekanbaru, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 Desember 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Ketua Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andhini, juga mengutarakan hal serupa. Menurut dia, biaya politik yang mahal adalah faktor utama terjadinya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. "Keterpilihannya memerlukan biaya. Jadi, ketika menjabat, kewenangan yang ada padanya menjadi barang dagangan." 

Soal pengawasan, Orin menilai hal itu seharusnya dijalankan oleh aparat penegak hukum yang tidak berada di bawah kendali kepala daerah. Hanya, dia menilai aparat di daerah justru kerap memiliki konflik kepentingan. Menurut dia, hal inilah yang kemudian membuat pengawasan tak berjalan sebagaimana mestinya. Sementara itu, pengawasan dari masyarakat saat ini tak berjalan optimal. 

Orin pun sepakat soal perlunya pemerintah membuat instrumen penegakan hukum yang mampu benar-benar memiskinkan koruptor. Belajar dari berbagai kasus saat ini, menurut dia, pemidanaan terhadap para koruptor hanya berupa pemenjaraan fisik. Tak jarang, hasil korupsi yang dilakukan para kepala daerah digunakan oleh keluarga atau kerabatnya untuk melanggengkan kekuasaan meskipun si koruptor sudah masuk bui. “Kekayaan hasil korupsi masih bisa dinikmati, baik untuk pengurusan perkara maupun untuk kontestasi politik yang diikuti keluarga atau kerabatnya."

Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam laporan ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jihan Ristiyanti

Jihan Ristiyanti

Lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2021 dan bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus