Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Keperawanan dan seks pranikah

Di jakarta dan di surabaya masalah keperawanan didiskusikan, keperawanan masih dianggap penting. jalan untuk melakukan seks diluar nikah makin terbuka, pergeseran norma-norma etiket telah nampak.

21 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARLITA tertekan. Untuk kesekian kali, ia terguncang karena tak bisa mengambil keputusan. Untuk kesekian kali pula seorang pria menyatakan cintanya, tapi Sarlita -- bukan nama sebenarnya -- tak mampu menyambut ataupun menampik. Wanita berusia 32 tahun itu sudah tidak perawan, dan rahasia ini kalau diungkapkan bisa membawa risiko besar. Mengapa? Sarlita cemas sekali. Andai kata pria yang melamarnya itu bijaksana, mungkin reaksinya tidak akan terlalu menyakitkan. Tapi kalau pria itu ternyata picik, lalu mencemoohkan Sarlita, maka runtuhlah dunianya. Apalagi kalau si pria, tanpa rasa kasihan, menyebarkan aib Sarlita kepada semua orang. Kisah Sarlita ini hanya satu contoh betapa kehilangan kegadisan bisa menghancurkan masa depan seorang wanita. Ini tragis. Memang, teknologi kedokteran mutakhir menawarkan satu alternatif: operasi plastik selaput dara. Tapi teknologi ini, kendati amat canggih, tidak memecahkan masalah secara mendasar. Soalnya kaum pria Indonesia diperkirakan masih menuntut keperawanan calon istrinya. Di Amerika Serikat disinyalir bahwa ketidakperawanan tidaklah membawa dampak besar. Penelitian yang dilakukan majalah Cosmopolitan -- The Cosmo Report menunjukkan, dari 106.000 responden wanita, hanya 5% yang perawan ketika menikah. Sisanya melepaskan keperawanan pada usia sekitar 16 tahun. Toh kaum wanita di sana tidak dihinggapi dilema seperti Sarlita -- ini lantaran kaum pria Amerika tak lagi mempersoalkan keperawanan calon istrinya. Di negeri ini, pergeseran nilai-nilai sudah dan sedang terjadi -- namun rata-rata pria masih mengutamakan selaput dara. Di situlah soalnya. Tak heran bila ada dua diskusi seks membahas soal itu. Yang satu bertemakan "Arti Keperawanan Bagi Pria", sebuah mata acara BOM (Bursa Orang Muda) di Balai Sidang, Jakarta. Yang lain, seminar sehari "Seks dan Disharmoni Keluarga" di Hotel Elmi, Surabaya. Dalam kesempatan di Elmi itu, ditampilkan makalah berjudul Studi Pendahuluan tentang Remaja Hamil di Luar Nikah, disusun oleh psikiater dr. Muhammad Th. Diskusi di Jakarta berangkat dari perkiraan adanya gejala baru: banyak remaja putri masa kini yang sudah tidak gadis lagi. "Dari sisi psikologi, memang sulit membedakan cinta dan seks," kata sang pembicara, dr. Naek L. Tobing, di depan ribuan remaja pengunjung diskusi. Dalam masa pacaran, keakraban, menurut Naek, sering berakhir dengan hubungan seks. Sedangkan, "Hampir 90% pria kita masih menuntut kegadisan." Maksudnya, kegadisan seorang calon istri sebelum menikah. Gejala hilangnya keperawanan yang disinyalir Naek tadi antara lain disebabkan oleh menurunnya kualitas pendidikan. Orangtua umumnya mempercayakan seluruh pendidikan pada guru. Sementara itu, "Karena meningkatnya jumlah siswa secara luar biasa dalam 30 tahun terakhir, hubungan guru dan murid tidak akrab lagi." Keadaan ini menjadi kendala pengajaran masalah seks. "Dari pertanyaan yang diajukan, saya berkesimpulan para remaja itu haus pengetahuan tentang seks," kata Dokter Naek kepada TEMPO. Kendati kesimpulan Naek mengejutkan, diskusi yang di Jakarta itu berlangsung santai. Lain halnya di Surabaya. Pengunjungnya rata-rata cerdik cendekia dan para orangtua. Topik utamanya juga serius: hasil penelitian Laboratorium Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Responden penelitian ini: 55 remaja putri yang mengalami "kecelakaan", 37 di antaranya tetap berstatus hamil di luar nikah, sementara 28 lainnya bisa dinikahkan. Semua responden adalah pasien Klinik Konsultasi Remaja RSUD dr. Sutomo Surabaya, yang datang pada Januari sampai Agustus 1988. Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini bisa dinilai sebagai terobosan dalam membahas kegadisan dan hubungan seks pranikah di kalangan remaja. Bila dikaji, isu keperawanan ini sudah beberapa kali muncul pada masyarakat kita. Namun, cuma bikin gempar saja. Pada tahun 1978, isu ini mengundang reaksi keras, ketika muncul berita burung tentang sejumlah siswi di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang dipaksa menjalani pemeriksaan keperawanan. Di tahun 1981, dilema ini kembali ramai ketika seorang dokter di Bali, dr. Wimpie Pangkahila, menyatakan 155 remaja dari 663 remaja yang ditelitinya sudah tidak perawan. Penelitian FK Unair tidak berusaha menyimpulkan berapa banyak remaja melakukan hubungan seks sebelum menikah. "Yang dicari adalah pemahaman lebih dalam, tentang mengapa seks pranikah sampai terjadi," kata dr. Muhammad Th., pembicara yang juga salah seorang penelitinya. Upaya ini lebih penting karena menentukan peri laku seksual masyarakat pada dasarnya sangat sulit. Seperti kesimpulan bahwa 2 dari 3 pria Jakarta melakukan penyelewengan. Karena belum ada metode penelitian seks yang tepat untuk masyarakat kita, "maka validitas penelitian semacam itu sangat meragukan," kata ahli jiwa itu. Maka, seberapa jauh hilangnya keperawanan sudah menggejala pun sulit dijawab. Ini menurut Muhammad. Yang bisa diukur ialah pendapat tentang seberapa jauh kegadisan harus dipertahankan. Ia menunjuk hasil penelitian Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, di tahun 1978. Dari penelitian itu diketahui bahwa 10% responden remaja "setuju" tidak menganggap hubungan seks pranikah salah. Juga survei Gerakan Remaja untuk Kependudukan dan poll TEMPO di tahun 1981, dengan angka setuju masing-masing 12,2% dan 17,02%. Namun, kehilangan kegadisan itu sendiri, kata Muhammad, merupakan peristiwa dramatis. Dari hasil wawancara, terungkap bahwa remaja putri yang mengalami hal itu umumnya menangis, menyesal, dan bingung, malah 7,4% menyatakan terpikir untuk bunuh diri. Sebagian besar (84,3%) secara tegas berkata bahwa mereka merasa sangat berdosa dan hanya 9,3% yang merasa biasa-biasa saja. Sebagian besar dari responden penelitian FK Unair itu (78%) mengakui, mereka menyerahkan keperawanan pada pacar tetap, dan 18,7% kepada tunangan. Alasannya: terpaksa melayani keinginan pacar dan merasa tak berdaya. Tampaknya mereka yakin bahwa kelak akan dinikahi. Hanya 3,3% mengakui mereka diperawani teman. Namun, teman itu pun tergolong mitra seks tetap, karena tak seorang pun mengaku gonta-ganti partner. Benarkah seks pranikah dan hilangnya keperawanan diakibatkan faktor lingkungan? Dengan kata lain, karena semakin luasnya kesempatan dan banyaknya rangsangan seks yang muncul melalui film, video, dan bacaan? Penelitian FK Unair berkesimpulan, asumsi ini ada benarnya. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa 35,7% responden memang terangsang sebelum menerima ajakan bersenggama. Sisanya, 21,4% mengaku tak mampu menahan rangsangan di tempat hubungan seks dilakukan, di antaranya di motel-motel. "Penyebab umum hilangnya kegadisan adalah ketidakmampuan membendung dorongan seks," kata Muhammad. Di samping itu, juga sikap tidak berhati-hati, karena tidak bisa melihat risiko di kemudian hari. Hampir semua reponden (93%) menyatakan tidak pern-ah terpikir menggunakan alat pencegah kehamilan. Padahal, risiko yang mereka hadapi sangat besar. Bagi remaja putri, reaksi orangtua pada kehamilan di luar nikah adalah risiko paling besar. Pada penelitian FK Unair itu terlihat, hanya 3,5% orangtua bisa menerima kehamilan itu dengan lapang dada, 3,5% lagi bisa menerima dengan syarat pengguguran. Kelompok terbesar (57%) mengambil jalan tengah, meminta tanggung jawab prianya yang ternyata tidak mudah. Namun, tidak sedikit (35,7%) yang mengambil sikap keras, dengan "membuang" anak mereka. Takut menanggung risiko sebenarnya adalah motivasi utama dalam mempertahankan kegadisan. Muhammad mengutarakan, motivasi itu pula yang tercatat di Amerika Serikat hampir 40 tahun yang lalu, ketika moral masih ketat. Dalam sebuah penelitian di masa itu (Kinsey Report, 1953), terungkap bahwa para remaja putri menjaga kehormatannya karena takut dikucilkan. Motivasi inilah yang kini hilang pada kebanyakan masyarakat permisif. The Cosmo Report (1981) mencatat, salah satu alasan utama respondennya melakukan hubungan seks pranikah adalah perasaan ketinggalan zaman. "Pada umur 16 saya mendadak khawatir, jangan-jangan cuma saya sendirilah yang mempertahankan keperawanan," tutur seorang responden. Jelas, dari kalimat ini, sewaktu-waktu keperawanan bisa saja dilepas, walau cuma karena ikut-ikutan. Jim Supangkat, Budiono Darsono (Jakarta), Wahyu Muryadi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus