Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"APA yang saya lakukan salah, Tuhan?" Begitu Katemi yang lembut itu bertanya dalam hatinya yang teriris. Didepan mata, ibunya, Tinah, yang berusia 50 tahun, terbaring di ranjang. Ia sesak napas. Sementara itu, Marijo, ayahnya, dari balik kamar tidur lain sedang berkencan dengan Boinem, 25 tahun. Karena itu, dendam Katemi pada ayah kandungnya sekonyong memuncak. Sesuatu harus diputuskan. Sore tahun ini adalah Kamis, 30 Juli. Malam yang punya arti penting buat Marijo, ayah kandungnya yang berumur 50 tahun. Biasanya, pada malam Jumat ia memandikan keris kecil sebesar pulpen dengan air kembang. Air bekas rendaman keris itu kemudian akan diminumnya untuk obat awet muda dan kekebalan. Maka, sekali lagi, sesuatu harus diputuskan segera. Marijo, semula buruh tani di desanya, di Kendalrejo, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi. Kemudian beralih profesi menjadi pencari wanita untuk dijadikan penghibur lelaki. Sejak itu, tingkah Marijo seperti anak muda. Tampak necis dan berseri. Ia lantas juga doyan wanita. Ia tak pedulikan lagi istrinya yang telah tua dan sakit-sakitan itu. Ulah ini membuat keputusan Katemi makin bulat. Dua gelas berisi air kembang itu dicelupinya dengan sesuatu. Plung, plung. Lalu ia pergi ke tetangga sebelah, nonton TV. Di situ ia berdoa, semoga Tuhan memberkati permohonannya. Dan ketika malam itu Marijo datang bersama Boinem dengan bergandeng tangan, pukul 20.00, Katemi mengintip dari lubang gedek. Skenarionya mengena. Keduanya menenggak air kembang tersebut. Apa yang terjadi setelah itu? Marijo roboh. Ia menggelepar di lantai. Dan Boinem terguling di atas ranjang. Buru-buru Katemi masuk ke rumah. Jangan-jangan ayahnya tak jadi mati. Siapa tahu, kebal betulan. Maka, ketika sedang sekarat itu sebuah palu besi dihantamkan ke kepala Marijo berkali-kali. Juga kepada Boinem. Selesai itu, tak urung air mata wanita berumur 18 tahun ini mengalir. Memang, ayah kandung ini, menurut Katemi, telah merusakkan masa depannya. Siksaan batin sudah melebihi takaran. Tapi siapa, sih, yang mau dijebloskan ke penjara dengan gampang? Masih dengan muka sedih, Katemi lalu lapor ke ketua RT, Sukardi. Ayahnya mati, lapornya. Kedua mayat itu lalu dlbawa ke puskesmas setempat. Karena ada luka-luka pada tulang hidung, kelopak mata, kepalanya retak, maka bisa disimpulkan bahwa mereka mati terbunuh. Dan Katemi memang mengakui perbuatannya. "Saya jengkel, benci. Saya sering disiksa lahir dan batin," kata Katemi. Lalu ia bercerita lagi. Ketika baru duduk di bangku SMP kelas II, sekolahnya dihentikan ayahnya. Ia kemudian dikawinkan dengan Nurhadi, lelaki yang tak dicintainya. Perkawinan yang penuh percekcokan. Sebagai suami-istri, katanya ia cuma kumpul sekali. Itu pun dengan paksaan. Setelah itu, cerai. Mendengar perceraian ini, Marijo, yang sedang di Bali ngurus bisnis pelacurnya, marah. Berkali-kali Katemi dimintanya datang ke Bali, tapi tak digubris. "Ketimbang jadi pelacur, 'kan lebih baik jaga ibu?" katanya. Melihat keteguhan hati anaknya itu, Marijo kemudian mengirim surat, yang isinya mengatakan dirinya sakit keras. Dan jika Katemi tak datang, mungkin dirinya akan mati. Putri keempat dari enam bersaudara ini tergugah. Ia penuhi permintaan ayahnya. Tapi apa? Ayah malah menyerahkan dia untuk dijadikan istri Rambek. Orang ini lebih gaek daripada ayahnya -- dan tentu Katemi juga tak mencintainya. Katemi menangis. Antara Marijo dan Rambek sudah ada kesepakatan. Marijo bebas memakai kamar Rambek untuk bisnisnya itu. "Saya tak berani menolak kemauan Ayah itu," tuturnya, sambil menutup muka dengan rambutnya yang terurai. Satu bulan ia bertahan dalam kungkungan Rambek. Setelah itu, ia pulang ke Banyuwangi karena ibunya sakit. Dan di rumah gedek di Banyuwangi itulah semuanya terjadi. Ia sudahi Marijo dan Boinem, wanita kekasih ayahnya itu. Cukup dengan memasukkan potas (racun binatang) yang dibelinya Rp 100. "Masa depan saya hilang. Saya dikawinkan secara paksa. Dan saya menyaksikan ayah membawa perempuan yang bukan istrinya. Siapa tega melihat perlakuan demikian ?" tanya Katemi. Pekan ini Katemi akan dituntut jaksa dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Banyuwangi. "Apa yang saya lakukan salah, ya, Tuhan?" Masih pertanyaan Katemi. Widi Yarmanto & N. Wadja (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo