Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rangkuman dua peristiwa di kanal Nasional Tempo.co pada Jumat, 2 April 2021 layak disimak kembali. Berita pertama seputar Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang akan menggugat Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kedua soal anak muda dan perempuan dalam jaringan terorisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan Terhadap SP3 Perkara BLBI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) akan menggugat SP3 kasus korupsi BLBI. "MAKI akan gugat Praperadilan melawan KPK untuk membatalkan SP3 perkara dugaan korupsi BLBI tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Jumat, 2 April 2021.
Boyamin berencana mengajukan gugatan praperadilan untuk membatalkan SP3 tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan akan diajukan maksimal akhir April 2021. "Tadinya kami berharap SP3 ini adalah bentuk April Mop atau prank dari KPK, namun ternyata April beneran karena SP3 benar-benar terbit dan diumumkan secara resmi oleh KPK," ujarnya.
Adapun alasan MAKI melakukan praperadilan, Boyamin menjelaskan, bahwa KPK mendalilkan SP3 dengan alasan bebasnya Syafrudin Arsyad Tumenggung menjadikan perkara korupsi BLBI kehilangan syarat perbuatan penyelenggara negara.
Menurut Boyamin, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena dalam surat dakwaan Syafrudin Arsyad Temenggung dengan jelas didakwa bersama-sama dengan Dorojatun Koentjoro-Jakti. "Sehingga meskipun SAT telah bebas, namun masih terdapat penyelenggara negara, yaitu Dorojatun Koentjoro-Jakti," katanya.
Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menanggapi rencana gugatan praperadilan yang diajukan MAKI. "KPK hargai upaya yang akan dilakukan oleh sejumlah pihak diantaranya MAKI tersebut karena memang ketentuan hukumnya mengatur demikian," kata Ali dalam keterangannya, Jumat, 2 April 2021.
Ali mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi telah memastikan bahwa perkara yang menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim, telah sesuai aturan hukum yang berlaku. Sebab, putusan akhir pada tingkat Mahkamah Agung dalam perkara eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung menyatakan ada perbuatan sebagaimana dakwaan, namun bukan tindak pidana.
Lebih lanjut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan penghentian perkara merupakan dampak buruk revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. "Perlahan namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi," kata Kurnia.
Kurnia menjelaskan problematika kewenangan pemberian Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan atau SP3 di KPK. Aturan dalam Pasal 40 UU KPK bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004.
Kala itu, kata Kurnia, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 semata-mata untuk mencegah lembaga anti rasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan. "Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan bancakan korupsi," ujarnya.
Menurut Kurnia, polanya pun dapat beragam. Misalnya, negosiasi penghentian perkara dengan para tersangka atau dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji tatkala mengikuti seleksi pejabat di lembaga anti rasuah tersebut.
Anak Muda dan Perempuan di Jaringan Terorisme
Dua aksi teror yang terjadi di Makassar dan Mabes Polri mendapat perhatian dari aspek keterlibatan anak muda. Para pelaku yang terlibat masih berusia di bawah 30 tahun.
Pengamat terorisme Al Chaidar menilai masuknya anak muda ke kelompok teroris, khususnya Jamaah Ansharut Daulah (JAD), karena jaringan tersebut menawarkan pengampunan dan pintu surga.
Di mana, terkadang kaum muda kurang memiliki pengetahuan agama dan mengalami kekeringan di sisi spiritual. "Selain itu, ISIS, melalui JAD, menawarkan rencana politik kekuasaan untuk dilebur kembali di masa depan agar menjadikan kaum muda sebagai pahlawan. Heroisme inilah yang ditawarkan," kata Al Chaidar saat dihubungi di hari yang sama.
Apalagi, kata Chaidar, generasi muda masih memiliki energi berlebih untuk mengubah situasi. Namun, hal itu dimanfaatkan oleh kelompok teroris.
Sejumlah anak muda di bawah usia 30 tahun menjadi pelaku aksi terorisme dalam 12 tahun terakhir. Baru-baru ini, pasangan suami istri L dan YSF alias D melakukan aksi bom bunuh di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan.
L diketahui berumur 26 tahun, sedangkan sang istri masih berusia 21 tahun. Selang tiga hari, ZA, 26 tahun, menyerang Mabes Polri dengan senjata airgun berkaliber 4,5 milimeter.
Pada 2017, data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan pelaku terorisme mayoritas berasal dari kelompok anak muda. Data tersebut menyebutkan 11,8 persen pelaku terorisme berusia di bawah 21 tahun dan 47,3 persen berada di rentang 21-30 tahun.
Sementara itu, peneliti Hukum dan HAM Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Milda Istiqomah mencatat peran perempuan dalam terorisme meningkat. Milda membeberkan jumlah tahanan dan narapidana perempuan yang terlibat dalam terorisme dalam kurun waktu 2000-2020 mencapai 39 orang.
"Jadi dengan angka ini bisa menjelaskan alasan kenapa kemudian keterlibatan perempuan menjadi wake up call atau warning buat kita," ucap Milda dalam diskusi daring pada Jumat, 2 April 2021.
Sebelum 2016, kata Milda, perempuan terlibat sebagai pembawa pesan, perekrutan, mobilisasi dan alat propaganda, serta regenerasi ideologi. "Selama kurun waktu 15 tahun mereka lebih di balik layar," kata Milda.
Namun, di atas 2016, peran perempuan mengalami pergeseran. Perempuan telah menjadi pelaku bom bunuh diri atau penyedia senjata, perakit bom.
FRISKI RIANA | ANDITA RAHMA