Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Koalisi Seni Susun Kajian untuk Tolak RUU Penyiaran

Penolakan Koalisi Seni terhadap RUU Penyiaran bergulir bersama Remotivi dan sejumlah masyarakat sipil yang lain.

4 Juni 2024 | 10.52 WIB

Wartawan membentangkan poster saat melakukan aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan Kantor DPRD Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin, 27 Mei 2024. Koalisi Jurnalis Kepulauan Riau tersebut menolak karena hal tersebut dinilai menghalangi tugas jurnalistik dan kebebasan pers. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
Perbesar
Wartawan membentangkan poster saat melakukan aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan Kantor DPRD Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin, 27 Mei 2024. Koalisi Jurnalis Kepulauan Riau tersebut menolak karena hal tersebut dinilai menghalangi tugas jurnalistik dan kebebasan pers. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Koalisi Seni menyoroti problematika Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran). Organisasi itu menyatakan sedang menyusun kajian untuk merespons RUU Penyiaran yang kini pembahasannya masih ditunda. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Koalisi Seni akan menggunakan kesempatan ini untuk menyusun masukan yang lebih matang terhadap RUU Penyiaran," kata Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, dalam pernyataan resminya, dikutip Selasa, 4 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hafez mengatakan, penolakan Koalisi Seni bergulir bersama Remotivi dan sejumlah masyarakat sipil yang lain. Dia menegaskan, Koalisi Seni berkontribusi mendukung pengayaan diskursus bahwa RUU Penyiaran bukan hanya soal pers dan media, namun juga punya dampak besar pada kebebasan berkesenian.

Lebih lanjut, Hafez juga menyebut bahwa organisasinya belum pernah diundang oleh DPR selama pembahasan RUU Penyiaran berlangsung. "Kami belum berkesempatan untuk berdialog secara langsung dengan DPR RI," ujarnya. 

Tak sampai di situ, Hafez menerangkan, RUU Penyiaran bukanlah aturan yang pertama kali ditolak oleh Koalisi Seni. Sebelumnya, kata dia, sejumlah aturan turut menjadi sorotan organisasi itu, seperti penyusunan UU Pemajuan Kebudayaan dan penolakan terhadap RUU Permusikan. 

Sebelumnya, Koalisi Seni menilai sejumlah hak akan dibatasi melalui perubahan peraturan itu, seperti hak untuk berkarya tanpa sensor dan intimidasi, hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi dan balas jasa atas karya, serta hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

"Koalisi Seni menemukan tiga masalah utama dari RUU Penyiaran," kata Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, dalam pernyataan resminya, dikutip Kamis, 30 Mei 2024.

Hafez menjelaskan permasalahan pertama akibat RUU Penyiaran ialah lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman. Kondisi ini diakibatkan perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dari yang sebelumnya mengawasi menjadi mengatur isi dan konten siaran. 

Melalui ketentuan dalam RUU Penyiaran, ia menjelaskan berwenang untuk mengeluarkan surat kelayakan isi siaran berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Penyiaran (SIS) yang ditetapkan tanpa kewajiban melibatkan pemangku kepentingan yang lain. Kondisi ini, kata dia, akan menghambat tercapainya cita-cita RUU Penyiaran, yakni terciptanya siaran yang merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam. 

Lebih lanjut, permasalahan kedua yang ia soroti adalah potensi kriminalisasi dan pembungkaman pada seniman akibat kewajiban sensor internal. Kondisi itu terjadi dengan dalih mematuhi P3 dan SIS yang didasarkan pada nilai subjektif dan multitafsir, seperti agama, moral, dan adat istiadat. 

"Pembatasan seperti ini akan berpotensi semakin membungkam ekspresi dari masyarakat minoritas dan kelompok rentan," ujarnya. 

Terakhir, ia menerangkan bahwa permasalahan ketiga berhubungan dengan penyempitan ruang sipil akibat perluasan ruang lingkup penyiaran ke ranah digital. Padahal, kata dia, ruang lingkup sebelumnya hanya mencakup televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. 

Keadaan tersebut akan mengakibatkan semakin hilangnya ruang bagi seniman untuk dapat mendistribusikan karyanya, khususnya bagi mereka yang selama ini memilih platform digital sebagai kanal distribusi utama. 

Dia menilai ketentuan dalam RUU Penyiaran tidak hanya berdampak negatif bagi seniman, namun juga akan mencederai hak masyarakat untuk mengakses karya sesuai dengan preferensi dan kebutuhan mereka.

Savero Aristia Wienanto

Bergabung dengan Tempo sejak 2023, alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menaruh minat dalam kajian hak asasi manusia, filsafat Barat, dan biologi evolusioner.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus