Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Komnas HAM Minta Wali Kota Depok Cabut Aturan Razia LGBT

Komnas HAM meminta Pemerintah Kota Depok untuk membatalkan imbauan tersebut dan memberikan perlindungan bagi kelompok LGBT.

13 Januari 2020 | 12.39 WIB

Komisioner Pendidikan & Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara (kedua kiri belakang) menerima pengaduan dari perwakilan Forum Lintas Paguyuban se Papua di Jakarta, Jumat, 11 Oktober 2019. ANTARA
material-symbols:fullscreenPerbesar
Komisioner Pendidikan & Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara (kedua kiri belakang) menerima pengaduan dari perwakilan Forum Lintas Paguyuban se Papua di Jakarta, Jumat, 11 Oktober 2019. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengkritik kebijakan Wali Kota Depok, Mohammad Idris, yang berencana menertibkan dan merazia aktivitas kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Beka menilai kebijakan itu sangat diskriminatif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Komnas HAM telah melayangkan surat kepada Wali Kota Depok untuk meminta pembatalan kebijakan serta permintaan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender tersebut," kata Beka dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 13 Januari 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wali Kota Depok beralasan hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan dan penyebaran perilaku LGBT. Penertiban dan razia telah diinstruksikan oleh Idris pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait pada 10 Januari 2020.

Pemerintah Kota Depok juga membentuk posko pengaduan bagi korban LGBT. Langkah ini diambil pasca mencuatnya kasus pemerkosaan massal oleh Reynhard Sinaga di Manchester, Inggris, yang tercatat merupakan warga Depok.

Beka Ulung mengatakan imbauan Pemkot Depok tersebut bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia, UUD 45. Pasal yang dimaksud, Pasal 28G (1) dan Pasal 28I (2) UUD 1945, yang menjamin keamanan dan kebebasan dari diskriminasi.

Selain itu, Beka juga menyebut aturan yang dibuat Idris itu melanggar Instrumen HAM lainnya, yakni menjamin pemenuhan hak atas kebebasan ialah Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dari sisi dunia kesehatan, kata Beka, Badan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) pada tahun 1992 juga telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiawaan.

Ketentuan dari WHO ini, kata dia, diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III tahun 1993. Di sana tertera bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender, bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.

"Berdasarkan pertimbangan di atas, Komnas HAM RI meminta Pemerintah Kota Depok untuk membatalkan imbauan tersebut dan memberikan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender (LBGT) dari tindakan diskriminasi dan kekerasan," kata Beka.

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus