Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Koordinasi Berantakan Pemberantasan Korupsi

KPK mengaku kesulitan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Polri untuk memberantas korupsi. Ada juga soal loyalitas ganda.

3 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pimpinan KPK mengaku gagal memberantas korupsi.

  • Masalah koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lain mencuat lagi.

  • Ada juga soal loyalitas ganda penyelidik dan penyidik.

DUA pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata, mengungkapkan masalah koordinasi dan supervisi (korsup) dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 1 Juli 2024. Masalah ini membuat pemberantasan tindak pidana korupsi tak berjalan maksimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nawawi mengatakan sinergi antara KPK, kejaksaan, dan Polri dalam penanganan perkara korupsi itu tidak berjalan mulus. Persoalan itu, menurut dia, membuat KPK tidak optimal menjalankan tugasnya dalam melakukan korsup. “Kami harus mengakui sinergi antara aparat penegak hukum dan KPK tidak berjalan baik, juga pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi tidak berjalan,” kata Nawawi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mencontohkan saat pihaknya menangkap Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso Puji Triasmoro karena menerima suap senilai Rp 475 juta pada November 2023. Saat itu, menurut Nawawi, Kejaksaan Agung seperti menutup ruang untuk melakukan korsup dengan KPK. Padahal, menurut dia, pemerintah telah memberi arahan yang jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketua KPK sementara, Nawawi Pomolango, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 22 Desember 2023. TEMPO/Imam Sukamto

Adapun Alexander Marwata mengakui lembaganya gagal memberantas korupsi. Hal itu, menurut dia, terjadi karena koordinasi dan supervisi yang tak terjalin baik dengan Polri dan Kejaksaan. Menurut Alex, ketiga lembaga itu seharusnya memiliki tujuan yang sama, yakni memberantas korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya, tak jarang mereka menemui kendala yang disebabkan ego sektoral instansi. “Ini problem kelembagaan. Ada tiga lembaga dan koordinasi supervisi ini sampai sekarang boleh dikatakan tidak berjalan dengan baik,” kata Alex.

Dia juga sempat menyinggung soal loyalitas ganda para penyelidik dan penyidik KPK. Sebagai pemimpin, Alex menyatakan sulit memastikan loyalitas para penyelidik dan penyidiknya yang berasal dari Polri dan Kejaksaan Agung. “Kalau masih ada loyalitas ganda, saya pikir, ya, ke depan siapa pun pemimpinnya tidak akan bisa seperti itu. Saya jamin,” kata Alex.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar membantah anggapan bahwa pihaknya kerap menutup diri jika KPK hendak melakukan korsup. Bahkan, kata Harli, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus memiliki tim internal yang bertujuan mengakomodasi ketika tim koordinasi dan supervisi KPK ingin berkunjung ke daerah. “Saking atensinya kami, di Pidsus itu ada dibentuk tim untuk mendampingi korsup. Jadi, misalnya KPK mau ke wilayah, kami dampingi,” kata Harli.

Harli mengatakan pihaknya selama ini sangat terbuka kepada KPK. Dia pun meminta KPK mendetailkan hambatan koordinasi dan supervisi yang terjadi. “Kejaksaan terus mendukung KPK dalam menjalankan tugas fungsinya dengan men-support tenaga-tenaga jaksa yang andal dan mumpuni untuk diperbantukan di KPK,” kata Harli.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko pun mengatakan pihaknya selalu bersinergi dengan KPK. Hal itu terbukti dengan adanya penugasan personel Polri di lingkungan KPK dalam rangka mendukung tugas-tugas di lingkungan KPK yang merupakan personel terbaik, berintegritas, akademis, dan berdedikasi. “Sinergi antara KPK dan Polri selama ini telah terbangun melalui nota kesepahaman," kata Trunoyudo.

Indikasi buruknya koordinasi di antara para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi sempat mencuat pada Maret 2024. KPK tiba-tiba menaikkan status kasus dugaan korupsi penyaluran kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dari penyelidikan ke penyidikan. Pengumuman itu dilakukan hanya sehari setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani mengadukan kasus serupa ke Kejaksaan Agung.

Langkah KPK itu tidak biasa karena mereka tak langsung mengumumkan siapa tersangka kasus tersebut. Alex saat itu menyatakan peningkatan ke tahap penyidikan karena mereka tak mau ada tumpang tindih penyidikan dengan Kejaksaan Agung. “Jangan sampai penanganan perkara itu terjadi duplikasi atau tumpang tindih di antara penegak hukum,” ujar Alex saat pengumuman itu pada 19 Maret 2024.

Soal koordinasi dalam penanganan kasus korupsi sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang KPK. Dalam Pasal 50 ayat 1 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa polisi dan jaksa wajib memberitahukan setiap kasus korupsi yang sedang mereka tangani kepada KPK. Dalam ayat 2 pasal itu juga dinyatakan polisi dan jaksa harus selalu berkoordinasi dengan KPK dalam penanganan kasus korupsi. Selain itu, ada ketentuan polisi dan jaksa harus menghentikan penyidikan jika KPK melakukan penyidikan kasus yang sama. Hal itu diatur dalam Pasal 50 ayat 3 dan 4 UU KPK.

Eks penyidik KPK, Novel Baswedan, mengatakan masalah koordinasi dan supervisi antarlembaga penegak hukum terjadi hanya pada periode kepemimpinan kali ini. Hanya, menurut dia, hal itu seharusnya bisa diselesaikan jika pimpinan KPK memiliki kemampuan komunikasi yang baik. “Dalam berhubungan antarlembaga, kalau pimpinan tidak paham dalam komunikasi antarlembaga, ya susah,” kata Novel.

Soal loyalitas ganda penyidik pun, kata Novel, dapat diatasi jika pimpinan KPK memiliki kepemimpinan yang baik. Dengan begitu, menurut dia, pegawai akan sukarela mendukung kebijakan pimpinan. “Saya rasa masalahnya hanya pada pimpinan KPK yang tidak memiliki leadership dalam memimpin lembaga yang heterogen, egaliter, dan kritis seperti KPK,” ujar Novel.

Jika ada pegawai yang keluar dari jalur, menurut Novel, pemimpin KPK juga sebenarnya bisa memerintahkan bagian inspektorat untuk melakukan pemeriksaan. “Bila ada sesuatu yang tidak mengikuti kaidah atau norma, bisa menugaskan pengawas melakukan pemeriksaan,” kata Novel.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Diky Anandya, sependapat dengan Novel. Menurut dia, keresahan yang diutarakan Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata sebetulnya bukan masalah baru. Misalnya soal praktik loyalitas ganda para penyidik, penyelidik, dan jaksa penuntut umum. Menurut Diky, hal itu terjadi karena hampir seluruh punggawa KPK berasal dari Kejaksaan Agung dan Polri. “Tatkala penyelidik dan penyidik di KPK banyak berasal dari instansi lain, hal ini kemudian menimbulkan masalah independensi dalam proses penegakan hukum,” kata Diky.

Diky mencontohkan mandeknya proses hukum terhadap mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej. Meski belum terbukti, kata Diky, saat ini telah muncul kecurigaan adanya pejabat struktural di Kedeputian Penindakan KPK yang sengaja menghambat penanganan perkara ini agar diambil alih oleh aparat penegak hukum lain.

Kecurigaan itu mencuat setelah KPK tak kunjung menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk Edy. Padahal, pada awal Maret 2024, Alexander Marwata sempat menyatakan telah meminta agar surat tersebut segera diterbitkan. Pekan lalu, Plh. Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu membenarkan bahwa kasus yang sama sedang ditangani oleh aparat penegak hukum lain. ”Jangan sampai tujuan dari pemidanaan itu sendiri menjadi tidak tercapai. Artinya, kita jadi berebutan gitu, ya," kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa, 25 Juni 2024.

Diky menilai masalah seperti ini sebenarnya bisa diatasi jika KPK memiliki penyelidik, penyidik, hingga jaksa penuntut sendiri yang bukan berasal dari Polri dan Kejaksaan Agung. Perekrutan para penegak hukum secara mandiri oleh KPK, menurut dia, pun telah tercantum dalam ketentuan Pasal 43 dan Pasal 45 UU KPK. “Bahwa penyelidik dan penyidik dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, PPNS yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang, dan (tenaga) internal atau penyelidik KPK sendiri,” kata Diky.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | MUTIA YUANTISYA | SULTAN ABDURRAHMAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus