Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Korban Baru Seteru Lama

Perseteruan antarpemilik perusahaan penggarap proyek e-KTP terus berlanjut. Dua pendatang baru di perusahaan itu terkena getahnya. Mereka ditangkap dan ditahan dengan tuduhan pemalsuan.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Willy Hendrik Rawung, 67 tahun, terduduk lesu di kursi tengah ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Di samping dia, perempuan berjilbab putih, Aas Supriyati, juga terus menundukkan kepala. Kedua orang itu seperti tak percaya harus duduk di kursi terdakwa kasus pemalsuan tanda tangan.

Di sebelah kanan mereka, pengacara Binsar P.P. Sihaloho berapi-api membacakan nota keberatan atas dakwaan jaksa. Menurut Binsar, dakwaan jaksa sumir karena gagal memastikan waktu dan tempat pemalsuan tanda tangan itu. "Karena itu, dakwaan harus dibatalkan demi hukum," ujar Binsar di hadapan majelis hakim yang diketuai Dahmiwirda tersebut.

Cerita Willy dan Aas menjadi pesakitan bermula dari rapat umum pemegang saham luar biasa PT Mega Lestari Utama dan PT Sandipala Arthaputra pada 28 Januari 2013. Rapat berlangsung di kantor Sandipala, anggota konsorsium penggarap proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

Rapat itu antara lain dihadiri Aas Supriyati sebagai kuasa Paulus Tannos, pemegang 60 persen saham Mega Lestari, dan Vecky Alex Lumatauw sebagai pemegang 40 persen saham. Rapat dipimpin Willy, yang ditunjuk Aas atas nama pemegang saham mayoritas.

Sejak awal, rapat dimulai dengan kegaduhan. Vecky, yang datang terlambat, terus berteriak menolak rapat itu. Namun Willy tetap memimpin rapat. Dia membacakan susunan komisaris dan direksi baru Mega Lestari yang diajukan Paulus Tannos. Direktur utama diduduki Paulus Tannos. Adapun Willy dan Vecky menjadi direktur.

Susunan kepengurusan baru PT Mega Lestari langsung diprotes Vecky. Dia tak mau menerima susunan pengurus perseroan yang didominasi orang Paulus Tannos. Sebagai pemilik 40 persen saham, Vecky hanya mendapatkan jatah satu kursi. Tapi Willy tetap mengetuk palu, mengesahkan susunan baru manajemen Mega Lestari. Amarah Vecky kembali tersulut setelah Willy mengetuk palu yang menyatakan kepemilikan 40 saham Mega Lestari di Sandipala—setara dengan Rp 80 miliar—dikembalikan ke Lina Rawung, istri Paulus Tannos.

Di tengah rapat, tiba-tiba masuk sejumlah penyidik dari Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka beralasan mencari Paulus Tannos, yang berstatus buron Interpol. "Mereka mengancam akan membawa kami ke Polda. Tapi kami menolak," ujar Willy ketika ditemui Tempo di ruang tahanan Polda Metro Jaya pekan lalu.

Setelah polisi datang, Vecky meninggalkan ruangan. Polisi bertahan di ruang rapat dan meminta rapat dihentikan. Tapi Willy melanjutkan rapat umum pemegang saham luar biasa PT Sandipala. Rapat pun memutuskan susunan direksi baru Sandipala. Paulus menjadi direktur utama. Sedangkan Vecky, yang sebelumnya menjabat direktur, didepak. "Sebelum rapat Sandipala selesai, polisi pada pulang," kata Willy.

1 1 1

Kisruh di tubuh Mega Lestari dan Sandipala itu merupakan buntut kisruh proyek e-KTP. Pada 1 Juli 2011, lewat konsorsium Percetakan Negara Indonesia, Sandipala meneken kontrak proyek e-KTP bernilai Rp 5,84 triliun. Kesulitan mendanai proyek di Kementerian Dalam Negeri itu, Paulus pun meminta tolong Jack Budiman, yang ia tahu dekat dengan pemilik Bank Artha Graha, Tomy Winata.

Paulus akhirnya mendapatkan kredit dari Artha Graha sebesar Rp 200 miliar melalui perusahaan milik Jack, Mega Lestari Utama. Sebaliknya, Paulus bersedia menggadaikan saham atas nama dia ke Bank Artha Graha. Paulus pun menggadaikan tagihan proyek e-KTP, sebesar Rp 111,9 miliar, yang semula akan dibayarkan konsorsium kepada Sandipala.

Pinjaman dari Artha Graha cair bertahap pada 2011 dan 2012. Tapi, dari jumlah kredit yang dijanjikan, hanya Rp 122 miliar yang masuk ke rekening Sandipala. Sisanya, sekitar Rp 50 miliar, dipakai Mega Lestari membeli saham anggota konsorsium lain, PT Quadra Solution. Menurut sumber Tempo, sebagian dana itu ada juga yang kembali ke Artha Graha lewat Yayasan Artha Graha Peduli.

Paulus juga menjajaki kerja sama pengadaan cip e-KTP dengan Artha Graha. Dia berencana membeli cip merek ST-Micro dari Oxel System Pte Ltd. Perusahaan milik Andi Bharata Winata, anak Tomy Winata, itu merupakan agen tunggal ST-Micro di Indonesia.

Seusai beberapa kali pertemuan, Sandipala sepakat membeli 100 juta keping cip dengan harga satuan US$ 0,6. Pada tahap pertama, Sandipala membeli 10 juta keping dengan uang muka US$ 1,2 juta.

Perkongsian itu porak-poranda karena keping ST-Micro tak bisa dipakai di KTP elektronik. Oxel memaksa Sandipala membeli 100 juta keping cip. Sebaliknya, Paulus menolak. Ujungnya, pada Februari 2012, Andi Winata melaporkan Paulus ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dengan tuduhan penipuan.

Merasa keamanannya terancam, akhir Maret 2012 Paulus dan keluarganya melarikan diri ke Singapura. Sebulan kemudian, Paulus masuk daftar buruan Interpol. Tapi, dari pelarian, ia tak mau kehilangan kendali atas Mega Lestari dan Sandipala. Karena itu, pertengahan 2012, Paulus memasukkan Willy Rawung, keponakannya, ke jajaran direksi Mega Lestari. Paulus juga menunjuk Aas, karyawan di perusahaan lain milik Paulus, mewakili dia dalam rapat umum pemegang saham luar biasa Mega Lestari dan Sandipala.

1 1 1

KEPADA Tempo, Vecky menjelaskan alasan dia menolak rapat umum luar biasa yang dipimpin Willy Rawung. Sewaktu rapat baru dibuka, ia langsung disodori draf notulen hasil rapat. "Itu yang membuat saya marah. Rapatnya belum mulai kok hasilnya sudah ada," ujar Vecky.

Vecky menduga rapat pemegang saham itu dirancang kubu Paulus untuk melepaskan tanggung jawab Sandipala atas utang terhadap Artha Graha. Dengan hilangnya saham Mega Lestari di Sandipala, utang tersebut hanya menjadi tanggung jawab Mega Lestari. "Padahal yang pakai uang itu kan Sandipala," ucap Vecky.

Vecky menganggap rapat pemegang saham itu tak sempat menghasilkan keputusan soal utang Sandipala karena keburu digeruduk polisi. Karena itu, dia terkejut ketika mengetahui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerbitkan surat keputusan yang mengesahkan hasil rapat 28 Januari tersebut. Vecky lantas menggunakan surat kementerian itu sebagai dasar untuk mengadukan Willy, Aas, dan Paulus ke Polda Metro Jaya pada awal Februari lalu.

Dalam sebuah pemeriksaan pertengahan tahun lalu, kata Vecky, penyidik menemukan notulen yang dilampirkan dalam berkas pembuatan surat keputusan Kementerian Hukum itu. Notulen mirip dengan draf disodorkan kepada Vecky di awal rapat. "Dalam notulen itu, tanda tangan saya dipalsukan," ujar Vecky.

Akibat laporan Vecky itulah, pada 1 Agustus lalu, polisi menahan Willy dan Aas. Sebulan sebelumnya, polisi menahan Tuti Suhartati dan Subhan dari pihak notaris yang mengurus pendaftaran akta rapat ke Kementerian Hukum.

Willy dan Aas membantah memalsukan tanda tangan dalam notulen itu. Notulen itu berbeda dengan notulen yang dibuat mereka pada saat rapat. Bahkan tanda tangan Willy dalam notulen palsu juga dipalsukan. "Lagi pula buat apa saya memalsukan tanda tangan Vecky? Tanpa tanda tangan dia, keputusan rapat sudah sah karena sebagai pemilik saham mayoritas," tutur Willy.

Willy juga mengaku belum pernah meminta notaris mendaftarkan hasil rapat itu ke Kementerian Hukum dan HAM. Dia baru membuat minuta—persyaratan mendaftarkan akta—pada 13 Februari lalu. "Bukti bahwa saya memalsukan tidak ada," ujarnya.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional, M. Nasser, mempertanyakan dasar Polda Metro Jaya menahan Willy dan Aas. Menurut dia, kasus ini seharusnya diselesaikan secara perdata. Soalnya, kasus ini berpangkal dari penolakan pemegang saham minoritas atas keputusan rapat yang disetujui pemegang saham mayoritas. "Di mana tindak pidananya?" Komisi Kepolisian Nasional, kata Nasser, tidak setuju bila polisi ikut-ikutan dalam sengketa perdata.

Sebaliknya, mantan Kepala Satuan Reserse Mobil Polda Metro Jaya Komisaris Besar Herry Heriyawan mengatakan polisi tidak gegabah dalam menetapkan orang sebagai tersangka. "Buktinya jelas, tanda tangan pelapor dipalsukan. Yang diuntungkan rapat itu kan memang mereka," ucap Herry ketika dihubungi Tempo.

Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus