Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA takbir bergemuruh ketika seorang pria naik panggung di halaman Masjid Lamgugop, Banda Aceh, Selasa siang pekan lalu. Di sela pekikan takbir, ada juga yang meneriakkan ejekan buat Mahmudbukan nama sebenarnyayang naik ke panggung untuk dihukum cambuk.
Hari itu, jumlah penonton hukuman cambuk lebih banyak daripada biasanya. Dua ribuan orang memadati halaman masjid. Mereka datang untuk menyaksikan hukuman cambuk pertama bagi pasangan penyuka sesama pria sejak Aceh menerapkan Qanun Jinayat pada 2003.
Di tengah kerumunan, berdiri mematung suami-istri yang merupakan orang tua Mahmud. Tempo berada di samping keduanya. Ketika Mahmud meringis menahan sabetan cambuk, pasangan ini hanya bisa menunduk. Begitu hitungan cambukan hampir berakhir, mereka meninggalkan kerumunan. "Mau urus administrasi agar anak kami bisa segera pulang," kata si ayah. "Akan kami bawa ke kampung."
Mahmud dan pasangannya-panggil saja Mustofa-dihukum 83 kali cambuk karena berbuat liwath (homoseksual), yang dilarang Qanun Jinayat. Menurut Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh Yusnardi, keduanya ditangkap warga Gamping Rukoh ketika sedang berhubungan badan di sebuah kos-kosan pada akhir Maret lalu.
Yusnardi menuturkan, warga setempat sudah lama curiga melihat gerak-gerik kedua pemuda ini. Hingga satu hari mereka menguntit Mustofa yang datang ke tempat kos Mahmud. Mereka kemudian mengintip dari sela-sela dinding kamar kos. Sekitar pukul 23.00, massa mendobrak pintu kos-kosan tersebut.
Warga Gamping Rukoh kemudian membawa pasangan itu ke kantor polisi syariah. Ketika diperiksa, menurut Yusnardi, keduanya mengaku telah beberapa kali berhubungan badan. Barang bukti yang disita polisi syariah adalah kondom dan minyak bayi.
Di Mahkamah Syar’iyah, jaksa mendakwa Mahmud dan Mustofa melanggar Pasal 63 ayat 1 dan Pasal 1 angka 28 Qanun Jinayat. Jaksa menuntut mereka dihukum 80 kali cambuk. Pada medio Mei lalu, majelis hakim memvonis pasangan ini bersalah dan menjatuhkan hukuman cambuk 83 kali. Majelis yang dipimpin Khairil Jamal memperberat hukuman dari tuntutan jaksa dengan alasan kedua terdakwa tidak menghormati nilai-nilai Islam di Aceh. Hakim juga menilai keduanya meresahkan masyarakat dan bisa mempengaruhi orang lain.
Selama persidangan, Mahmud dan Mustofa tidak didampingi pengacara. Menurut Yusnardi, hal tersebut merupakan permintaan terdakwa. "Kami sudah menawarkan pengacara, tapi mereka tidak mau," ujar Yusnardi.
Mahmud membenarkan hal itu. Dia mengatakan tak mau memakai pengacara agar proses hukum cepat selesai. "Setelah ini, saya akan masuk pesantren saja," kata pria 21 tahun ini ketika berbincang dengan Tempo melalui telepon seluler ayahnya.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi W. Eddyono, mengkritik hukuman terhadap dua pemuda tersebut. Menurut dia, Qanun Jinayat terlalu masuk ke ranah pribadi seseorang. "Itu bisa jadi pintu masuk untuk kriminalisasi atas kaum minoritas seperti gay dan lesbian," ujarnya. Lebih dari itu, Supriyadi meneruskan, hukuman cambuk tidak sesuai dengan sistem pidana di Indonesia.
Yusnardi menepis penilaian Supriyadi. Menurut dia, hukuman cambuk tak ada sangkut-pautnya dengan hak asasi manusia dan hukum pidana nasional. Sebagai daerah Istimewa, Aceh bisa menjalankan syariat Islam. "Masyarakat luar mungkin merasa asing," kata Yusnardi. "Tapi Aceh punya keistimewaan."
Adi Warsidi (Banda Aceh), Syailendra Persada (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo