Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti lambatnya penanganan kasus dugaan keterlibatan anggota TNI dalam tewasnya anak di Medan, Sumatera Utara, yakni MHS (15 tahun), serta anak (12 tahun) dan cucu (2 tahun) wartawan Tribrata TV yang ikut terbakar. Komisioner KPAI, Dian Puspita, menyatakan bahwa pihaknya sangat serius memantau perkembangan kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"KPAI memastikan setiap kasus yang mengakibatkan anak terluka, mengalami penderitaan, atau bahkan hingga meninggal harus diusut sampai tuntas," ujar Dian Puspita saat ditemui di Kantor KPAI, Jakarta Pusat, Senin, 19 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dian menegaskan bahwa KPAI tidak akan membiarkan kasus ini berlarut-larut tanpa kejelasan. Menurut dia, setiap pelaku harus diungkap dan dibawa ke peradilan pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
“Kami memastikan ada pasal di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang digunakan, karena jelas-jelas di sana korbannya adalah anak,” tutur Dian. Dia juga menekankan pentingnya pemberatan hukuman sepertiga dari pidana biasa jika terbukti pelakunya adalah aparat penegak hukum, yakni TNI.
Sebagai langkah konkret, KPAI akan segera melakukan tindak lanjut di lokasi kejadian. Dian menegaskan bahwa fokus KPAI adalah memastikan keadilan bagi korban dan keluarganya, serta memastikan bahwa kasus ini menjadi prioritas dalam penanganan hukum di Indonesia.
Dua kasus anak di Medan tewas diduga akibat penyiksaan yang dilakukan oleh anggota TNI terjadi pada 2024. LBH Medan mengungkap kasus MHS terjadi pada Jumat, 24 Mei 2024 sekitar pukul 16.30 WIB. Direktur LBH Medan, Irvan Saputra menceritakan peristiwa ini berawal dari tawuran yang terjadi di bantaran rel kereta di Jalan Benteng Hulu, Tembung Medan.
Pada sore itu, MHS hendak mengambil uang di sebuah minimarket untuk membeli makan. Kemudian MHS melihat aksi tawuran tersebut. "Namun, ketika melihat beberapa menit di situ, ternyata ada penertiban yg dilakukan oleh tiga pilar," ujar Irvan pada Jumat, 2 Agustus.
Tiga pilar itu adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Bintara Pembina Desa (Babinsa), dan Keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Ketika penertiban, arah pengejaran peserta tawuran ke arah MHS. Namun, petugas malah menangkap MHS.
"MHS diduga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh anggota TNI, yaitu Babinsa kelurahan setempat," tutur Irvan. "Ketika dia didapat, langsung dipukul bagian leher ataupun dekat kepalanya."
Sementara dalam kasus pembunuhan wartawan Tribrata TV, Rico Sempurna Pasaribu, dia tewas setelah rumahnya terbakar pada 27 Juni 2024 dinihari. Dia menghembuskan napas terakhir bersama dengan istri, anak, dan cucunya. Polisi menemukan indikasi kebakaran itu bukan kecelakaan. Ada orang yang memang sengaja membarak rumah Rico.
Belakangan polisi menetapkan tiga tersangka, yaitu Bebas Ginting alias Bulang, Yunus Syahputra Tarigan alias Selawang, dan Rudi Apri Sembiring alias RAS. Polisi menuding ketiganya adalah inisiator dan eksekutor. Namun keluarga curiga, masih ada aktor lain yang dinilai paling bertanggung jawab, yakni seorang tentara yang pernah diberitakan oleh Rico sebagai pengelola rumah judi.
Kasus ini mencuat setelah korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah rumah kosong. Dugaan keterlibatan aparat menambah kompleksitas penanganan kasus ini dan memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk KPAI, yang mendesak penanganan cepat dan tuntas.