Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menilai pelaporan dugaan pemerasan Jaksa KPK TI terhadap saksi senilai Rp 3 miliar sejauh ini tak memiliki kejelasan perkara. “Dilanjutkan dengan di Bidang Penindakan juga tak ada kejelasan dari laporan dimaksud. Jadi laporannya memang tak menyebutkan pada siapa, di mana, berapa, terkait apa, begitu ya,” juru bicara KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jumat sore, 19 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Guna memastikan laporan itu, Ali Fikri mengatakan Tim LHKPN KPK sudah turun ke lapangan melakukan pelbagai pemeriksaan. Misalnya, kata dia, mengonfirmasi beredarnya kabar Jaksa TI tak mencantumkan mobil mewah. “Ternyata setelah dicek itu foto di rumah tetangganya. Kami pastikan sudah dicek, mobil-mobil yang ada di sana,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ali Fikri mengatakan KPK mempersilakan masyarakat mengadukan kepada Dewan Pengawas (Dewas KPK) atau Pengaduan Masyarakat (Dumas) tapi disertai dengan bukti awal yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kata dia, ketika KPK mengonfirmasi pelapor harus bisa menjelaskan lebih lanjut perihal yang dilaporkannya. “Sehingga nanti tindaklanjutnya akan lebih memudahkan, mencari, menemukan informasi tambahan dari laporan yang disertai data awal,” ujarnya.
Menurut dia, bisa jadi masyarakat melaporkan Jaksa TI karena berhubungan dengan teknis persidangan. “Misalnya memanggil 100 saksi, pasti tak semuanya dipanggil tergantung kebutuhan pembuktian. Jangan sampai kemudian ada 100 saksi tapi jaksa memanggil 50 saksi saja, maka beredarlah surat laporan yang 50 tak dipanggil karena jaksa terima uang. Nah ini kan keliru,” ujarnya.
Sementara Anggota Dewas KPK Albertina Ho, mengatakan pihaknya sebenarnya menerima laporan dari masyarakat Lampung Utara perihal dugaan gratifikasi atau suap yang dilakukan Jaksa TI. “Tapi tak ada namanya—NN. Ini dikatakan ada hubungannya juga dengan OTT di Lampung Utara. Makanya dari Dewas kami tak berani bilang tak ada bukti (pelanggaran etik),” kata Albertina kepada Tempo, Sabtu, 20 April 2024.
Sebab buktinya amat minim, kata Albertina Ho, Dewas KPK kemudian membuat laporan hasil klarifikasi mengingat kewenangan terbatas. Albertina mengatakan, Dewas KPK tak bisa melakukan upaya paksa, sementara perihal gratifikasi atau suap bukti dirasa sulit diperoleh hanya melalui klarifikasi dan permintaan keterangan.
“Kami kesulitan memperoleh bukti-bukti yang lebih menguatkan adanya gratifikasi atau suapnya. Makanya kami membuat laporan hasil klarifikasi, dan mengusulkan supaya diserahkan dulu ke pencegahan. Supaya lidik dan pencegahan sesuai dengan kewenangan mereka,” ujarnya.
Albertina Ho mengatakan berangkat dari pertimbangan itu Dewas KPK belum memutuskan ada tidaknya dugaan pelanggaran etik. “Kalau ada tentu kami bawa ke sidang etik. Apabila LHKPN dan lidik memperoleh bukti yang cukup kuat, kami dari Dewas bisa membuka kembali proses pelanggaran etiknya,” katanya.
Dewas KPK sudah menyampaikan informasi perihal dugaan jaksa KPK memeras saksi dengan besaran nilai sekitar Rp 3 miliar kepada Deputi Penindakan KPK. Laporan pengaduan tersebut sudah masuk sejak 2023. Pada 6 Desember 2023 Dewas KPK sudah sampaikan nota dinas ke deputi penindakan dengan tembusan ke pimpinan agar ditindaklanjuti.