Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penayangan film Dirty Vote dipersoalkan karena dirilis pada masa tenang.
Sutradara dan pemeran Dirty Vote dilaporkan ke Mabes Polri.
Dirty Vote pada dasarnya adalah penyampaian kritik yang dibungkus dalam film dokumenter.
JAKARTA – Sutradara dan pemeran film dokumenter Dirty Vote tidak risau akan pelaporan yang menuding mereka telah melanggar aturan pidana pemilu. Sebab sejak awal mereka menyadari risiko itu dan telah siap menghadapinya. “Kami sudah menduga itu akan terjadi,” kata Feri Amsari, kemarin, 13 Februari 2024. Ahli tata negara dari Universitas Andalas, Padang, ini menjadi salah satu pemeran dalam Dirty Vote. “Kami sudah bersiap menghadapi itu.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Feri, pemeran lainnya adalah Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Dirty Vote merupakan film dokumenter eksplanatori yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Sinema yang ditayangkan di YouTube itu membeberkan sejumlah kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangkapan layar Feri Amsari dalam film Dirty Vote. Dok. YouTube
Dirty Vote terinspirasi oleh film dokumentasi tentang kerusakan lingkungan yang berjudul An Inconvenient Truth. "Mas Dandhy lalu ingin membuat film soal kerusakan politik dan meminta kami menyusun konsep," ujar Feri. Tidak sulit bagi Feri dan kawan-kawan untuk menyiapkan konsep yang diminta Dandhy itu. Sebab, isu tentang kecurangan pemilu sudah menjadi pembahasan mereka sehari-hari.
Karena itu, penggarapan film dokumenter ini tidak memakan waktu lama. Efektif, hanya dua pekan mereka bisa menyelesaikannya. Setelah dirilis pada 11 Februari lalu di YouTube, antusiasme penonton untuk menyaksikan tayangan ini sangat tinggi. Dalam waktu dua hari film ini telah disaksikan lebih dari 7,5 juta kali.
Persoalan muncul setelah Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) melaporkan pemeran dan sutradara Dirty Vote ke Mabes Polri. Mereka dituding telah melanggar aturan pemilu. “Karena (penayangan film) dilakukan pada masa tenang, ini termasuk pelanggaran serius dan tendensius terhadap salah satu calon,” kata Ketua Umum Foksi M. Natsir Sahib melalui telepon.
Natsir menyebutkan, penayangan Dirty Vote memunculkan isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tentang kecurangan pemilu. Karena itu, dia menuding Feri dan kawan-kawan justru menghancurkan tatanan demokrasi dan membuat kegaduhan. "Pada masa tenang, membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres, itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu," ujarnya. Adapun aturan yang dilanggar itu adalah Pasal 287 ayat 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Foksi adalah organisasi kemasyarakatan yang didirikan pada 2016. Dalam situs resmi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) disebutkan bahwa ratusan santri Foksi telah bergabung dengan partai berlambang bunga mawar tersebut. Natsir menyebutkan, PSI memiliki ide dan pemikiran yang sejalan dengan Foksi. “Menyuarakan perbedaan (kemajemukan), menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan melawan korupsi secara nyata,” kata Natsir, 1 November 2023, seperti dikutip dari pemberitaan dalam situs PSI.
Menurut Feri, kritik yang ia sampaikan bersama Bivitri dan Zainal dalam Dirty Vote sebenarnya bukan masalah baru. Apalagi mereka pernah tergabung dalam sebuah Tim Percepatan Reformasi Hukum di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia untuk mengurus pembenahan aspek perundang-undangan dengan berbagai kajian.
Kementerian tersebut sebelumnya dipimpin oleh Mahfud Md., yang kini maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo. Namun, kata Feri, selama berada di tim itu, dia dan kawan-kawan bukan bagian dari pemerintah Presiden Joko Widodo walau sudah bertemu berkali-kali. “Kami tidak pernah menghentikan kritik kepada pemerintah,” ujar Feri.
Tangkapan layar Zainal Arifin Mochtar dalam film Dirty Vote. Dok. Youtube
Zainal Arifin Mochtar mengatakan pembuatan film Dirty Vote sama sekali tidak berhubungan dengan calon presiden dan wakil presiden. Film ini juga tidak bertujuan menjatuhkan atau mendukung kandidat mana pun. Sebab, kritik yang dibungkus dalam film dokumenter ini menyasar pada kebijakan yang diterapkan secara serampangan oleh Presiden Joko Widodo dan para politikus.
Setelah dilaporkan ke polisi oleh Foksi, Zainal akan mempengaruhi sikapnya. “Saya cuma berharap teman-teman sejawat mengunjungi saya kalau ditahan nanti,” kata Zainal dalam sebuah diskusi secara daring di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, kemarin.
Pernyataan serupa disampaikan Bivitri. Ia sudah siap dengan konsekuensi yang dihadapi setelah Dirty Vote dirilis. Bahkan, untuk menghadapi risiko hukum, dia dan tim pembuatan film juga sudah mendiskusikan secara mendalam. “Tim hukum sudah banyak sekali yang bersedia mau membantu,” katanya.
Bivitri Susanti mengatakan bersedia terlibat dalam film tersebut agar bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kecurangan luar biasa yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Kecurangan itu tidak bisa didiamkan hanya karena menjaga kelancaran pemilu. “Sehingga pemilu ini tidak bisa dianggap baik-baik saja,” ujarnya.
Sementara itu, Dandhy Laksono tidak ingin membahas langkah-langkah yang akan dilakukan setelah dilaporkan ke polisi. Dia hanya berharap kepolisian cukup cerdas untuk menilai laporan tersebut dalam konteks sosial-politik.
Tentunya, kata Dandhy, kejadian seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang melaporkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, tidak akan terulang lagi. Mengingat laporan tersebut atas tuduhan pencemaran nama Luhut, tapi akhirnya Haris dan Fatia bebas. “Kita lihat saja arahnya ke mana,” kata Dandhy.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lolly Suhenty, menyambut positif penayangan Dirty Vote. Bahkan dia menjadikan film itu sebagai bentuk autokritik terhadap proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia. "Kami bahkan menyarankan untuk segera menonton film itu,” kata Lolly.
M. FAIZ ZAKI | SAVERO ARISTIA WIENANTO | IKHSAN RELIUBUN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo