Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Kronologi Orang Indonesia Tertipu Jadi Budak di Myanmar, Kerja Scammer di bawah Ancaman dan Hukuman

Dijanjikan bekerja di bidang IT di Bangkok, nyatanya mereka dibawa ke Myanmar menjadi scammer. Bila tak memenuhi target dipukul dan disetrum.

3 Juli 2024 | 19.58 WIB

Tentara dari Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) berpatroli dengan kendaraan, di samping area yang hancur akibat serangan udara Myanmar di Myawaddy, kota perbatasan Thailand-Myanmar di bawah kendali koalisi pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Persatuan Nasional Karen, di Myanmar , 15 April 2024. REUTERS/Athit Perawongmetha
Perbesar
Tentara dari Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) berpatroli dengan kendaraan, di samping area yang hancur akibat serangan udara Myanmar di Myawaddy, kota perbatasan Thailand-Myanmar di bawah kendali koalisi pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Persatuan Nasional Karen, di Myanmar , 15 April 2024. REUTERS/Athit Perawongmetha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban sindikat penipuan daring atau online scam di Myanmar mengungkapkan bagaimana kronologis kerabat mereka mengalami penyiksaan dan perbudakan, hingga tak bisa pulang dari negera yang tengah dilanda konflik itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Nurmaya, 46 tahun, mengatakan suaminya adalah salah satu WNI yang menjadi korban sindikat penipuan online. Dia menuturkan suaminya Dedi (bukan nama sebenarnya) mendapatkan tawaran pekerjaan dari temannya pada sekitar Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pak ini ada kerjaan ke Bangkok, kerjanya IT (teknologi informasi)," kata Nurmaya menirukan teman suaminya. "Gajinya dia bilang Rp 10-20 juta."

Teman Dedi lantas memberikan nomor telepon yang menjadi penyalur tenaga kerja. Gayung pun bersambut karena perusahaan tempat Dedi bekerja tutup gara-gara Covid-19. Nurmaya belakangan mengetahui penyalur tenaga kerja itu adalah Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi, terpidana kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Dedi lantas intens berkomunikasi dengan keduanya, bahkan melakukan Zoom mengenai cara bekerja dan keterampilan yang harus dimiliki. Dua minggu kemudian, Dedi berangkat ke Bangkok, Thailand.

Nurmaya ingat betul suaminya berangkat saat lebaran haji dua tahun silam atau 10 Juli 2022. "Waktu itu ada 11 orang dibagi dua grup, suami saya yang berangkat pertama," ujar dia saat dihubungi Tempo.

Kerja Scammer dibawah ancaman dan hukuman

Suaminya sempat mengabari saat sampai di bandar udara di Bangkok dan menginap di sebuah hotel. Keesokan harinya, Dedi dan rombongan dibawa langsung ke Mae Sot, kota di barat Thailand yang berbatasan dengan Myanmar. Mereka kemudian dibawa menyeberang ke Myanmar menaiki kapal kecil.

Sesampainya di tempat kerja, perusahaan meminta paspor Dedi dan kawan-kawan. Komunikasi dengan handphone juga hanya diperbolehkan pada dua pekan pertama. Sehingga, Dedi harus diam-diam menghubungi istrinya.

"Setelah dua minggu itu, suami saya baru tahu kalau mereka ternyata ditipu," kata Nurmaya. "Dari situ suami saya baru mulai mengabari ... ke saya kalau ternyata pekerjaannya ini adalah sebagai scammer."

Nurmaya menceritakan suaminya harus bekerja menipu orang. Scammer-scammer tersebut menargetkan orang-orang dari Asia dan Eropa. Scammer itu bisa menjadi laki-laki atau perempuan di akun mereka, tergantung target.

"Mereka itu bekerja sampai 17 jam dalam satu hari," ucap perempuan asal Bekasi itu. "Kalau mereka enggak target sesuai yang company minta, mereka akan dihukum."

Dia menuturkan hukuman itu beraneka macam, mulai dari setrum, dipukul dengan balok kayu atau rotan, hingga dikurung dalam bilik hitam. Hukuman itu tak hanya diberikan saat target dari perusahaan tidak terpenuhi, tapi juga saat pekerja bangun kesiangan, tidak tepat waktu, bahkan mengantuk saat bekerja.

"Mereka tuh penjaganya ada memakai senjata api," ujar Nurmaya.

Atas hal ini, Nurmaya dan keluarga dari korban WNI lainnya bersolidaritas lewat Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan. Mereka mengadukan permasalahan mereka ke berbagai pihak, seperti Kementerian Luar Negeri (Kemlu), KBRI, Kepolisian, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Pengiriman Tenaga Kerja, pemerintah daerah masing-masing, bahkan kepada Presiden Joko Widodo lewat surat terbuka.

Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil. Sebab, berbagai lembaga tersebut ujung-ujungnya menyebut permasalahan mereka adalah kewenangan Kemlu.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan keheranannya mengapa Kemlu belum bisa memulangkan suaminya beserta korban penipuan online lain. Padahal, kata dia, korban online scam di negara lain bisa dipulangkan.

Nurmaya mengklaim Kemlu selalu memintanya agar sabar menunggu. "Ya kan sudah dua tahun, lelah juga menunggu, sudah dua tahun saya berusaha untuk minta suami saya pulang."

Tanggapan Kementerian Luar Negeri

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Judha Nugraha, mengatakan Dedi dan kawan-kawannya berada di Distrik Phalu. "Itu bagian dari Myawaddy tapi yang paling remote, yang paling jauh, dan dikuasai oleh pemberontak yang berbeda," kata Judha saat ditemui Tempo di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat pada Rabu, 3 Juli 2024.

Dia pun menampik bila pihaknya disebut tidak melakukan upaya untuk memulangkan WNI korban online scam maupun tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Justru, upaya sudah dilakukan dalam berbagai macam level.

"Kalau dalam konteks keseluruhan, even Bu Menlu (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi) sendiri waktu itu datang ke Kamboja," ujar Judha.

Kemlu juga menjalin pendekatan dengan negara-negara lain, seperti Thailand dan Myanmar. Selain itu, ada pula forum ASEAN's Leaders Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by the Abuse of Technology atau Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Pemberantasan Perdagangan Orang Akibat Penyalahgunaan Teknologi. Pada saat keketuaan Indonesia, pihaknya justru menyuarakan permasalahan online scaming di tingkat ASEAN. 

"Tapi kendala yang kami hadapi adalah situasi lapangan yang memang tidak dikuasai oleh otoritas tempat," ujar Judha.

Dia menjelaskan, jika ada masalah menyangkut WNI di negara lain, pihaknya akan melaporkan kepada keposian setempat. Nantinya, kepolisian setempat yang akan melakukan penyelamatan dan evakuasi. Hal inilah yang dilakukan misalnya di Kamboja dan Filipina.

Sedangkan di Myanmar, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan kepolisian setempat, bahkan dengan Menteri Luar negeri Myanmar. Judha menyebut, pihak Myanmar akan berupaya membantu namun mereka tidak memiliki akses ke Myawaddy yang dikuasai pemberontak bersenjata.

"Itu kesulitannya kami, kenapa kok sampai lama, sampai ada yang dua tahun," tutur Judha.

 

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus