Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kuasa Mutlak Babe-Babe Di Sukamekar

Dirjen agraria Daryono akan menghapus lembaga kuasa mutlak yang sering disalahgunakan kedok pemilikan tanah tidak sah. Seperti terjadi di desa karawang beberapa pejabat memiliki tanah.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAWAH-SAWAH yang membentang luas di Desa Sukamekar, Karawang, bulan ini baru selesai panen adu. Namun tidak ada pesta-pesta panen sebagaimana lazimnya. Bahkan desa itu sepi. "Kalau habis panen, sulit mencari laki-laki di sini, karena pekerjaan habis dan mereka kembali menarik becak di Jakarta," kata Abudin, seorang Pamong Tani di desa itu. Sebagian besar penduduk tesa itu memang menjadi buruh tani di sawah-sawah milik "orang Jakarta"--atau yang mereka sebut "babe-babe". Lebih dari 4.000 jiwa penduduk desa itu sebagian besar hidup dari menerima upah sebagai buruh tani. Adapun penduduk pemilik sawah hanya menguasai sekitar 4000 dari tanah pertanian seluas 570 hektar di Sukamekar. "Sisanya milik orang kaya di Jakarta, Purwakarta, atau Bandung," ujar Kepala Desa, Adang. Malah, "kalau saja Opstib tidak turun, tidak sejengkal pun tanah yang dimiliki penduduk desa ini," sambung Abudin. Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) yang disahkan 21 tahun yang lalu --berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya--memang membatasi pemilikan tanah pertanian hanya 2 hektar untuk setiap orang. Ditentukan pula, tanah pertanian di satu daerah tidak bisa dimiliki orang yang berdiam di daerah lain, atau yang dikenal sebagai tanah absensi. Namun yang disebut "babe-babe" itu, punya akal banyak untuk tetap memiliki tanah pertanian secara terselubung, seperti yang terjadi di Desa Sukamekar, Kecamatan Jatisari, Karawang, Jawa Barat. (lihat box). Kedok yang paling banyak digunakan untuk menutupi pemilikan tidak sah itu adalah surat kuasa mutlak. "Kedok itu justru banyak digunakan orang-orang ang tahu hukum," ujar Dirjen Agraria, Daryono, yang bertekad menghapuskan lembaga kuasa mutlak itu. Ada yang menunjuk surat kuasa mutlak itu terjadi akibat disalahgunakannya peraturan yang diciptakan Menteri Agraria tahun 1961. Kuasa mutlak dalam peraturan itu adlah semacam surat kuasa dari penjual tanah, kepada pembeli, untuk menjual kembali tanah itu, atau menghipotekkannya, sampai sertifikat atau izin jual beli keluar. Tapi dengan kuasa itu pembeli sudah mempunyai hak penuh walau sertifikatnya belum keluar. Menurut bekas Menteri Agraria, Sadjarwo, peraturan -- pasal 3, lampiran peraturan Menteri Agraria no. 11/1961 dibuat dengan niat baik. Yaitu agar orang yang sudah telanjur membeli tanah tidak sah, tidak dirugikan. Misalnya karena seseorang membeli tanah melebihi batas maksimum menurut UU PA, atau membeli tanah absensi. Pembeli itu bisa saja meminta uangnya kembali kepada penjual pemilik tanah walaupun mungkin uang itu sudah habis. Bila si penjual tak dapat mengembalikan uang tadi, ada jalan: dengan peraturan itu, penjual memberi surat kuasa agar pembeli bisa menjual tanah itu kepada orang lain yang lebih berhak. Dengan begitu, uang si pembeli patama dapat kembali. Maksud lain dari peraturan itu untuk melindungi pembeli tanah dari penjual yang nakal. Sebab, untuk mendapat izin jual beli atau sertifikat tanah, pemilik baru terpaksa menunggu lama. "Waktu itu, karena lemahnya aparat, bisa mencapai empat tahun," ujar Sadjarwo. Dikhawatirkan, kalau ada penjual yang nakal, ia bisa menjual berkali-kali tanah yang masih atas namanya itu. "Jadi dibuat surat kuasa, agar pemilik baru bisa tenang sampai sertifikat keluar," katanya. Namun maksud baik yang dikandung peraturan itu, belakangan ini menurut Sadjarwo, disalahgunakan untuk kedok pemilikan tanah tidak sah. "Tuan-tuan" tanah baru sengaja membeli tanah dari petani, dengan surat kuasa saja, tanpa mengurus sertifikatnya. Padahal pemilik sebenarnya, sudah berganti. "Sebab itu, lebih baik peraturan itu dicabut saja," usul Sadjarwo. Tetapi usul bekas Menteri Agraria ini, ditampik banyak ahli dan praktisi. "Kuasa yang dimaksud dalam paaturan menteri itu belum kuasa mutlak, sebab ada syarat: kuasa berlaku kalau izin jual beli tanah tidak keluar," bantah Singgih, seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Singgih sendiri mengaku tidak pernah membuat akta dengan menggunakan pasal 3 Peraturan Menteri Agraria itu. "Saya kira itu jarang tajadi," katanya. Budi Harsono, Dosen Hukum Agraria dan Dosen Notariat FHUI menunjuk, asas kebebasan berkontrak di hukum perdata kita adalah sumber kuasa mutlak itu. Menurut asas itu, setiap orang bebas mengikatkan dirinya dalam kontrak asal tidak bertentangan dengan kesusilaan dari kepentingan umum. "Asas ini kemudian yang digunakan untuk menciptakan kuasa mutlak," ujar Budi Harsono . Menyalahi Hukum Asas ini disalahgunakan orang, kata Budi. Misalnya, dalam kuasa mutlak, kuasa tidak bisa dicabut kembali, dan tidak pernah berakhir. "Ini menyalahi hukum, sebab setiap kuasa harus ada batasnya," ujarnya. Kedua: dalam kuasa mutlak, si penerima kuasa bisa berbuat apa pun, padahal seharusnya setiap kuasa menentukan batas wewenang penerima kuasa. Terakhir, penerima tidak perlu memberikan patanggungjawaban. "lni terang bukan pemberian kuasa, tapi pemindahan hak," ujar Budi Harsono. Undang-undang mana pun yang manjadi sumber kuasa mutlak, yang pasti Dirjen Daryono bertekad manghapuskan lembaga itu. Kebijaksanaan Menteri Agraria, kata Daryono, akan diubah dengan peraturan Menteri Dalam Negeri. Sementara asas kebebasan berkontrak perlu dibatasi dengan undang-undang. "Tapi undang-undang terlalu lama, karena itu akan dibuat produk hukum di bawah undang-undang, " katanya, "yaitu peraturan Menteri Dalam Negeri." Agaknya yang penting, usul bekas Menteri Agraria Sadjarwo: dibentuk suatu lembaga untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah, dan pelaksanaan UU PA. Di zaman Belanda saja, kata Sadjarwo, ada pengawasan atas larangan penjualan tanah kepada golongan Timur Asing. Sebab, "dulu golongan ini yang punya uang, kalau sekarang kan pejabat-pejabat," ujarnya. Dan ternyata lebih sukar mengawasi ulah pejabat-pejabat, seperti yang terjadi di Desa Sukamekar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus