Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mendesak Komisi Yudisial (KY) membentuk dewan kehormatan untuk mengusut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh ketua dan komisioner KY dalam kasus Cipaganti Group.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sedang berencana melakukan klarifikasi kepada KY. Menurut kami, yang paling baik adalah KY membentuk dewan kehormatan agar kasus ini bisa disidang dengan proses dan hasil terbuka yang diikuti publik,” ujar Feri saat dihubungi Tempo pada Selasa, 19 Maret 2019.
Langkah tersebut diambil Pusako sebagai tindaklanjut dari sebuah surat elektronik yang diterima lembaganya dari komunitas yang menamakan diri Forum Kantin Komisi Yudisial. Surel itu berisi dua dokumen surat terbuka yang memuat kritik terhadap performa KY. Salah satu masalah krusial ialah dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari dan Komisioner KY, Sumartoyo. Keduanya dituduh melanggar Peraturan KY Nomor 5 Tahun 2005 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Anggota KY.
Sumartoyo diduga telah memaksa untuk membuka kembali laporan pelanggaran etik hakim dalam kasus penggelapan Cipaganti Group. "Setelah ditelusuri, dorongan Sumartoyo untuk membuka kembali kasus tersebut didasari oleh konflik kepentingan," bunyi siaran tertulis itu.
Ditemui di ruangannya, Jumat, 15 Maret 2019, Sumartoyo membantah tudingan itu. Dia mengatakan sudah tidak terlibat sama sekali dengan kasus itu sejak menjabat sebagai Komisioner KY pada 2015. Ia menjelaskan pada 2013-2014, ia memang pernah menjadi advokat untuk korban-korban kasus penggelapan oleh Cipaganti Group. "Saya masuk KY, begitu diterima setelah fit and proper di DPR, saya langsung menyatakan off sebagai advokat ke Peradi. Setelah itu saya tak tahu menahu. Meski ada korban lain yang datang ke saya, saya tolak," kata Sumartoyo.
Pada saat laporan terkait perkara Cipaganti Group masuk ke KY, Sumartoyo mengatakan ia tak dilibatkan sama sekali. Ia menjelaskan hal ini karena di internal KY, tak memungkinkan untuk mantan advokat yang sebelumnya menangani perkara, terlibat dalam pemeriksaan laporan di KY.
Dia juga menanggapi tudingan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Peradilan, yang menuding ia kerap bertemu Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dan membocorkan informasi internal KY. Ia mengatakan tuduhan ini tidak berdasar karena ia mengaku tak pernah bertemu Hatta Ali secara pribadi. Beberapa kali pertemuan diadakan di forum resmi. Ia pun menyebut isinya tak membahas informasi internal di KY. "Terakhir saja saya ketemu (Ketua MA) itu tahun lalu," kata Sumartoyo.
Menurut Feri, sah-sah saja jika Sumartoyo membantah. Kendati demikian, ujar dia, dugaan di dalam surat kaleng itu tidak bisa dibantah begitu saja dan ada hal-hal yang harus dibuktikan. “Misalnya, dugaan bahwa Pak Sumartoyo adalah advokat dalam kasus Cipaganti yang ditangani KY. Nah, yang ditanyakan KY kepada Pak Sumartoyo adalah, apakah kasus ini naik karena ada relasi beliau di KY atau tidak,” ujar dia.
Hal yang lain perlu diklarifikasi Sumartoyo, ujar Feri, apakah pertemuannya dengan pimpinan MA merupakan tugas dinas KY atau tidak. “Hal-hal demikian kan bisa menjadi pilihan di KY untuk dipertanyakan kepada Pak Sumartoyo melalui forum resmi yaitu dewan kehormatan. Jadi tidak sekedar klarifikasi ke masyarakat sipil saja. Kami yang menerima surat tentu juga ingin tahu, jangan-jangan surat itu tidak benar,” ujar dia.
DEWI NURITA | EGY ADYATAMA