Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTUMPUK-tumpuk dokumen itu dikirimkan ke Gedung Bundar. Isinya bermacam-macam. Dari bukti pemesanan tanker, berita acara penjualan tanker, hingga keterangan para petinggi Pertamina di depan anggota DPR. Pengirimnya: Panitia Khusus Tanker Pertamina DPR RI, panitia yang dibentuk untuk menyelidiki penjualan dua tanker kategori very large crude carrier (VLCC) Pertamina pada 2004.
Dokumen itulah yang selama tiga bulan terakhir ikut dibolak-balik para jaksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, ”markas” jaksa pengusut kasus korupsi. Sejak sebulan lalu, kejaksaan memang makin intensif menyelidiki kasus penjualan dua tanker Pertamina yang melibatkan mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, yang diduga merugikan negara hingga US$ 56 juta.
Nasib mantan komisaris utama Pertamina itu kini bak di ujung tanduk. ”Pekan-pekan ini kami akan menaikkan status kasus ini ke tingkat penyidikan,” ujar seorang jaksa yang ikut mengusut kasus tanker tersebut kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Besar kemungkinan dia jadi tersangka.”
Sebelumnya, ”lampu kuning” kasus ini bakal naik dari tingkat penyelidikan ke penyidikan sudah dilontarkan Pelaksana Tugas Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji. Kamis dua pekan lalu, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu menyatakan bahwa April ini Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelesaikan kasus tersebut. ”Kalau KPK dulu yang bisa menemukan pidananya, bisa langsung naik ke penyidikan. Tapi, kalau kejaksaan yang duluan, kejaksaan yang akan meningkatkan statusnya jadi penyidikan,” kata Hendarman.
Bisa dibilang ini untuk pertama kalinya kasus dugaan korupsi diperiksa secara bersamaan oleh KPK dan Kejaksaan Agung. Hanya, kasus ini masuk KPK sudah lebih dulu, sejak dua tahun silam. Komisi superbodi ini juga sudah memanggil sejumlah saksi untuk dimintai keterangan. Hanya, sejauh ini, pemeriksaan kasus ini seperti jalan di tempat. ”Kami terus melakukan penyelidikan. Unsur merugikan negaranya belum ditemukan,” ujar Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.
Kasus yang menyeret Laksamana ini berawal pada November 2002, saat Pertamina memesan dua tanker berbobot 260 ribu ton pada Hyundai Heavy Industries di Korea Selatan. Dua tahun kemudian, belum lagi kapal itu kelar, Pertamina memutuskan menjualnya. Alasannya, antara lain, kapal itu terancam tersita lantaran Pertamina sedang beperkara dengan Karaha Bodas Company.
Maka penawaran dua kapal ini pun digelar dengan Goldman Sachs sebagai financial advisor. Dari sekitar 40 peminat, terjaring tujuh penawar paling potensial. Empat di antaranya, termasuk Frontline, melakukan penawaran lewat agen, yaitu PT Equinok. Dari tujuh ini terpilih tiga: Essar Shipping Ltd., Overseas Shipholding, dan Frontline. Belakangan Frontline dinyatakan sebagai pemenang dengan penawaran US$ 184 juta. Itu pun ternyata Frontline baru membayar US$ 170,87 juta. Sejak itu, kasak-kusuk soal tender kapal ini merebak. Pertamina dituding main mata dengan sang pemenang.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lantas turun tangan. Komisi ini menyimpulkan terjadi persekongkolan dalam penjualan kapal yang memenangkan Frontline. Maka nama Laksamana pun terseret. Menurut KPPU, dua kapal itu juga dijual murah dibanding harga pasar—sekitar US$ 204-204 juta. Akibatnya, negara rugi US$ 50 juta atau sekitar Rp 500 miliar.
KPPU menuding Pertamina melakukan sejumlah pelanggaran. Misalnya, Laksamana menyetujui penjualan tanker pada 11 Juni, sementara izin dari Menteri Keuangan turun pada 7 Juli 2004. Komisi itu kemudian menghukum, antara lain, Goldman dengan denda Rp 19 miliar dan Frontline Rp 25 miliar. KPPU juga memerintahkan pelaporan tindakan komisaris dan direksi Pertamina kepada rapat umum pemegang saham.
Pertamina, yang berkeberatan atas putusan itu, membawa kasus ini ke pengadilan. ”Penjualan ini justru menguntungkan negara,” kata Laksamana. Laksamana menegaskan bahwa semuanya sudah lewat prosedur, tidak ada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pengadilan mengabulkan gugatan Pertamina dan kasus ini pun meloncat ke Mahkamah Agung. Pada 29 November 2005, hakim agung mengetukkan palu: terjadi persekongkolan dalam kasus penjualan tanker ini. Laksamana tersudut.
Kasus ini makin ”membara” setelah DPR membentuk Panitia Khusus Tanker. ”Tak ada hubungannya dengan politik. Yang kami lihat, ada kerugian besar negara dalam penjualan kapal itu,” kata Wakil Ketua Pansus Gayus Lumbuun, yang juga anggota PDI Perjuangan. Sejumlah tokoh PDI Perjuangan yakin, kendati terjadi saat Laksamana berstatus anggota PDIP, kasus ini tak akan merembet ke partai banteng itu. ”Tak ada, misalnya, aliran dana dari Laksamana masuk ke partai. Saya tahu persis itu,” kata Kepala Badan Advokasi Hukum Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Syarif Bastaman.
Pansus DPR belakangan menyatakan Laksamana Sukardi paling bertanggung jawab atas kasus ini. ”Anggota direksi yang waktu itu tidak setuju de-ngan penjualan tanker ini juga diberhentikan Laksamana,” kata Gayus. DPR berkali-kali mendesak Jaksa Agung agar mengusut keterlibatan Laksamana. Berpuluh-puluh dokumen yang berkaitan dengan kasus ini juga ”disumbangkan” DPR kepada kejaksaan.
Nah, berbeda dengan KPK, kejaksaan ternyata bergerak cepat. Hendarman menunjuk enam jaksa untuk menelisik kasus ini. Tak kurang dari 30 orang, termasuk Laksamana Sukardi, sudah diperiksa. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga diminta menghitung kerugian negara atas penjualan tanker itu. ”Dalam waktu dekat, tim jaksa akan berangkat ke Korea, ke pabrik kapal itu,” ujar seorang jaksa.
Sumber Tempo di Gedung Bundar menyebutkan Laksamana tak mungkin lolos dari kasus ini. ”Salah satu buktinya putusan Mahkamah Agung itu,” ujarnya. Sumber itu menegaskan penjualan kapal ini sebenarnya tak menguntungkan negara. ”Kami melihatnya dari harga pasar, bukan harga buku,” ujar jaksa ini. Tim jaksa, ujar sumber Tempo, kini tinggal menunggu angka kerugian negara yang akan disetor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. ”Tapi bukti awal yang kami miliki cukup untuk menaikkan kasus ini ke penyidikan.”
Kamis malam pekan lalu, saat dite-mui Tempo, Jaksa Agung Abdul Rah-man Saleh tak membantah kabar bah-wa kasus tanker itu pekan-pekan ini naik ke penyidikan. ”Rasanya begitu,” ujarnya. Abdul Rahman juga menepis suara-suara yang menyebut terjadi ”rebutan” antara KPK dan kejaksaan untuk mengusut kasus ini. ”Bukan rebutan. Siapa yang siap, ya, maju. KPK itu pu-nya keterbatasan tenaga,” ujarnya.
Saat dimintai konfirmasi perihal bakal ditetapkannya Laksamana sebagai tersangka, Abdul Rahman langsung diam. Ia tak bersedia menjawab. ”Yang pasti, kami tak mengalami kesulitan mengusut kasus ini,” katanya.
L.R. Baskoro, Abdul Manan
Setelah Kapal Dilego
KASUS penjualan dua tanker very large crude carrier (VVLC) Pertamina belum juga menguak siapa paling bertanggung jawab atas perkara ini. Kendati Mahkamah Agung menyatakan ada persekongkolan di balik penjualan kapal raksasa itu, hingga kini belum ada yang menjadi tersangka.
November 2002 Pertamina, yang kala itu dipimpin Direktur Utama Baihaki Hakim, memesan dua tanker minyak raksasa pada Hyundai Heavy Industry di Ulsan, Korea Selatan. Masing-masing seharga US$ 65 juta. Kapal itu akan rampung dibuat Juli 2004.
Oktober 2003 Dewan direksi Pertamina memutuskan menjual dua tanker itu. Syaratnya, penjualan dilakukan lewat pengkajian konsultan independen. Konsultan independen, Japan Marine, menyatakan kapal tidak dijual.
15 April 2004 Rapat direksi dan komisaris memutuskan tanker dijual karena kas Pertamina defisit. Goldman Sachs ditunjuk menjadi penasihat keuangan.
Mei 2004 Goldman mengundang 42 perusahaan ”peminat tanker Pertamina.” Empat perusahaan, termasuk Frontline, perusahaan Swedia, tidak melakukan penawaran langsung seperti yang dipersyaratkan, tapi diwakili broker PT Equinox.
Juni 2004 Frontline ditetapkan sebagai pemenang karena dinilai memiliki bobot penilaian paling tinggi, walau harga penawarannya lebih rendah dibanding pemenang kedua. Frontline menaikkan harga menjadi US$ 184 juta.
23 Juli 2004 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai melakukan pemeriksaan terhadap direksi dan komisaris Pertamina.
3 Maret 2005 KPPU menilai penjualan dua tanker itu diwarnai persekongkolan dan merugikan negara US$ 20 juta sampai US$ 56 juta. Pertamina yang tak puas atas putusan KPPU membawa kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Maret 2005 Pada bulan ini pula Menteri Negara BUMN Sugiharto (bawah) menyerahkan kasus tanker ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diselidiki.
25 Juli 2005 Pengadilan menolak dan membatalkan putusan KPPU. KPPU mengajukan kasasi.
29 November 2005 Putusan kasasi Mahkamah Agung menyatakan ada persekongkolan dalam penjualan tanker dan menguatkan putusan KPPU.
17 Januari 2007. Panitia Khusus Penjualan Tanker Pertamina DPR menyatakan ada indikasi korupsi dalam penjualan tanker dua tanker itu.
2 Februari 2007 DPR menyerahkan hasil kerja Panitia Khusus ke Kejaksaan Agung dan KPK.
16 Maret 2007 Laksamana Sukardi diperiksa Tim Pemberantasan Korupsi di Kejaksaan Agung. Mantan Menteri BUMN ini menegaskan, penjualan tanker itu sudah sesuai dengan prosedur dan tidak merugikan negara.
27 Maret 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Laksamana Sukardi selama lima jam. Sedikitnya ada 20 pertanyaan yang diajukan Komisi kepada Laksamana seputar penjualan dua tanker Pertamina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo