Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI balik jendela depan sedan Mercy putih itu, Kiai Haji Imam Alie melambaikan kedua tangannya. ”Abi tak pernah begitu jika pamitan,” kata Romli Subqi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ma’muroh. Para santri pesantren yang berada di Desa Susukan, Cipicung, Kuningan, Jawa Barat, itu serentak membalas dengan melambai pula.
Para santri memang sangat menghormati Kiai Imam Alie yang sekaligus merupakan induk semang mereka. Pria 58 tahun ini pulalah yang mendirikan Al-Ma’muroh pada 1999 dan menanggung biaya hidup 142 santri yang menimba ilmu agama Islam di situ.
Menurut Romli, pamannya itu setiap pekan berkunjung ke Al-Ma’muroh. Hari itu, sang kiai datang bersama dua temannya, Kiai Salman al-Farisi, 52 tahun, dan Ustad Wahab, 55 tahun. Mereka disopiri Zaenuddin, 35 tahun.
Tak dinyana, pada Senin 9 April itu ternyata Kiai Imam Alie berpamitan untuk selamanya. Dua hari kemudian, jasadnya ditemukan di dalam mobilnya di ruas jalan Cirebon-Kuningan, tepatnya di Desa Ciharendang, Ciawigebang, Kuningan. Alie tewas bersama kedua teman dan sopirnya.
Mobil itu parkir persis di depan kios batu nisan. Pemilik kios, Kasim, mengaku melihat Mercedes 300E keluaran 1989 itu parkir di situ sejak Selasa siang, 10 April. ”Saya mengira sedang membuat jok,” katanya. Sebab, di sebelah kiosnya memang ada tukang jok, Iwan.
Rabu pagi, Kasim melihat Mercy itu masih di sana. ”Saya panggil Pak Iwan untuk melihat kondisi di dalam mobil,” katanya. Dari balik kaca, mereka melihat orang terkulai. Tak ada respons ketika kaca diketuk, Kasim mengontak polisi. Bersama sejumlah anggota Kepolisian Wilayah Cirebon, mereka mendobrak jendela belakang mobil.
Kasim dan Iwan melihat darah yang hampir kering di bibir penumpang di samping sopir. Bekas muntah berwarna kuning membasahi bajunya. Badannya condong ke arah pintu, dengan jemari mengait tungkai seperti hendak keluar. Dari identitasnya kemudian diketahui, dia Kiai Imam Alie.
Dua pria di jok belakang dalam posisi terduduk lunglai. Kepala mereka beradu. Adapun sang sopir, tangannya masih menggenggam setir. Hari itu juga keempat jasad itu dibawa ke Rumah Sakit Gunung Jati, Cirebon, untuk diotopsi.
Hiesma Setyaka, dokter forensik RS Gunung Jati, menyatakan pembuluh darah menuju paru-paru para korban telah pecah. ”Seluruh organ tubuh berwarna merah,” katanya. Tetapi dia tak mau menyebut penyebab kematian.
Semula polisi menduga mereka tewas karena keracunan karbon monoksida yang bercampur hawa pendingin udara. Pada Kamis 13 April, penyidik gabungan dari Mabes Polri dan Polda Jawa Barat menguji kebenaran hipotesis itu di Polwil Cirebon.
Seekor kelinci dan satu marmut dimasukkan ke dalam mobil. Mesin dinyalakan, begitu juga dengan pendingin udara. Seluruh kaca ditutup rapat. Setelah 1 jam 36 menit, kedua hewan itu dikeluarkan dalam keadaan hidup, namun agak sempoyongan.
Kepala Kepolisian Resor Kuningan, Ajun Komisaris Besar Rahmat Hidayat, enggan mengomentari hasil uji coba. Begitu juga Direktur Reserse Kriminal Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Tatang Sumantri, dan Kepala Polwil Cirebon, Komisaris Besar Bambang Puji Raharjo, yang ikut menyaksikan percobaan itu.
Seorang perwira tinggi dari Mabes Polri menduga kasus ini pembunuhan. Tetapi, Kepala Polda Jawa Barat, Inspektur Jenderal Sunarko Danu Ardjanto, belum berani memastikan. ”Masih dalam penelusuran,” katanya. ”Kami masih mengembangkan kasus ini dalam tahap penyelidikan,” katanya.
Keluarga korban juga tak mau buru-buru mengambil kesimpulan. Apalagi, Kiai Imam Alie di masa hidupnya justru banyak teman. Pria kelahiran Cirebon, 21 Juni 1949, itu bergaul dengan banyak kalangan. Bahkan ada yang mengatakan ia penasihat spiritual Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kiai Imam Alie dikenal dekat dengan petinggi militer. Ia pernah menjadi Staf Ahli Menhankam Pangab pada 1984. Lulusan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 1974, ini juga menggeluti bisnis. Kiai yang akrab disapa Abi ini memiliki usaha batu alam di Palimanan dan Bobos, Majalengka. Dia juga punya usaha jamur dan sarang burung walet di Kuningan.
Di kalangan preman Cirebon, ia bukan orang asing. Pesantren Al-Islah milik Alie di Kota Cirebon khusus didirikan untuk para preman yang hendak bertobat. Namanya bahkan dikenal sampai ke Indonesia bagian timur.
Pesantren Al-Ma’muroh didirikan untuk menampung pemuda Poso, Nusa Tenggara Timur, dan bekas provinsi Timor Timur. ”Abi sangat baik, mau menampung mualaf seperti kami,” kata Muh. Ali Tamio, santri dari Timor Timur yang bermukim di Al-Ma’muroh.
Di mata keluarganya, ayah empat anak itu juga kepala keluarga yang baik. ”Dia guru bagi kami semua,” kata M. Abil Ginayah, 24 tahun, putra sulung Alie. Dia bercerita, pada Sabtu 7 April ayahnya berangkat ke Bekasi mengambil sedan ”baru”-nya.
Mobil Mercy yang dibeli Rp 75 juta itu sempat diperbaiki montir di rumahnya di Jalan Pangeran Dradjat, Cirebon, pada Ahad 8 Mei. Senin pagi dibawa ke bengkel. Sorenya, Alie bersama Abdul Wahab berangkat ke Bekasi. Mereka sempat singgah di Indramayu menjemput Jarnaji dan Salman al-Farisi.
Dalam perjalanan balik, Jarnaji turun di Indramayu, sementara yang lain menuju pesantren Al-Ma’muroh. ”Setelah itulah ayah kami tiada,” kata Abil. Berdasarkan catatannya itu, Abil tak bisa menyimpulkan penyebab kematian ayah-nya. Dia juga tak berani memastikan apakah ayahnya dibunuh atau tidak.
Hingga Jumat pekan lalu, Abil belum mendapat keterangan resmi dari kepolisian tentang penyebab kematian ayahnya. Bahkan dia berencana menemui penyidik Polres Kuningan untuk memohon agar polisi menghentikan penyelidikan atas kematian ayahnya. ”Sebab, kami merelakan Abi pergi,” katanya.
Permohonan Abil ini jelas ditampik polisi, sebab penyidik tak boleh menghentikan penyidikan jika belum bisa memastikan penyebab kematian korban.
Nurlis E. Meuko, dan Ivansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo