Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

LBH Masyarakat: Kasus Fidelis Jadi Momen Revisi UU Narkotika  

Yohan mendorong revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2 April 2017 | 18.15 WIB

Ilustrasi Ganja. Getty Images
Perbesar
Ilustrasi Ganja. Getty Images

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memandang kasus Fidelis Ari Sudarwoto, pria asal Sanggau, Kalimantan Barat, yang menggunakan ekstrak ganja untuk pengobatan, sebagai momentum peninjuan ulang aturan narkotika.

"UU Narkotika tidak seharusnya melarang pemanfaatan zat atau tanaman apa pun untuk kesehatan," kata Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero, di kantornya, Tebet, Jakarta Selatan, Ahad, 2 April 2017.

Baca: Kasus Fidelis, LGN Minta Pemerintah Tinjau Kebijakan Narkotika

Yohan mendorong revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang notabene belum mengakomodasi penggunaan ganja untuk pengobatan. Dia pun meminta pemerintah mendukung penelitian yang bisa mendukung urgensi revisi UU tersebut.

"Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju sehingga dampak buruk suatu zat dapat dihilangkan bersamaan dengan mempertahankan sifat baiknya," ucap Yohan.

LBH Masyarakat pun menyesalkan kasus Fidelis yang hanya ditindaklanjuti secara hukum oleh Badan Narkotika Nasional (BNN).

Baca: Alasan Kemanusiaan, LBH Masyarakat Minta Kasus Fidelis Ari Distop

Fidelis ditangkap petugas BNN Kabupaten Sanggau lantaran menanam ganja yang dipakai untuk pengobatan istrinya, di halaman rumah. Istri Fidelis, Yeni Riawati, 39 tahun, meninggal pada 25 Maret lalu karena berhenti menerima ekstrak ganja, dan kesulitan mengakses obat untuk penyakitnya.

"Cukup satu Ibu Yeni, jangan biarkan ada anak bangsa lagi yang hilang karena kita tak mau memberi kesempatan pada pengetahuan," tutut Yohan.

Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN), Dhira Narayana, mengatakan pihaknya sempat mengajukan penelitian mengenai ganja medis ke Kementerian Kesehatan, pada Oktober 2014. Hal itu direspon positifs pemerintah pada Januari 2015, lewat surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes.

Baca: Bermanfaat bagi Kesehatan, Kanada Halalkan Ganja 2018

Meskipun begitu, penelitian tak kunjung terlaksana lantaran minimnya dukungan dari lembaga terkait, seperti BNN.

"Itu terhenti karena faktor non-teknis. Saya anggap faktor politik, terutama sekali (pada) BNN yang tak mau memberikan lampu hijau," kata Dhira, Ahad.

Dia berkata LGN belum berhenti memperjuangkan legalisasi ganja untuk keperluan medis. "Setelah ini kita terbuka. Kita bicarakan resmi saja di media soal apa yang menghambat (penelitian soal ganja medis)."

Kasus Fidelis Ari menurut dia bukan yang pertama. Sejak 2010, LGN telah mendokumentasikan puluhan kasus penggunaan ganja untuk pengobatan. Penyakit yang disorot dalam dokumentasi tersebut pun beragam, dari kanker, diabetes, hepatitis C, AIDS, stroke, epilepsi, dan sebagainya.

"LGN berharap pengetahuan khasiat ganja medis menyebar dan pada akhirnya dapat memberi keteguhan pada pemerintah untuk memulai riset ganja medis pertama di Indonesia," ujar Dhira.

YOHANES PASKALIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko Ari Wibowo

Eko Ari Wibowo

Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret. Bergabung dengan Tempo sejak 2005. Kini menulis tentang isu politik, kesra dan pendidikan. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus