Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK dibentuk pada 2003 di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Kala itu, lembaga ini didirikan untuk mewadahi perkara hukum yang terkait dengan konstitusional.
Salah satu cita-citanya adalah mewujudkan konstitusionalisme. Yakni paham tentang pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Fungsi itu kembali dipertanyakan setelah MK memutuskan aturan batas usai capres-cawapres. Putusan yang dibacakan pada Senin, 16 Oktober 2023 tersebut membuat lahirnya aturan baru. Kandidat capres-cawapres harus berusia 40 tahun. Tapi, bila belum genap menurut ketentuan usia, kandidat boleh maju asal punya pengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai MK telah melanggengkan politik dinasti dengan putusan itu. Putra Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang sempat terhalau usia kala digadang jadi pendamping Prabowo Subianto, melenggang mulus setelah aturan baru tersebut diketuk. Ketua MK Anwar Usman, yang juga paman Gibran, disebut berandil dalam membuat putusan itu.
MK mengalami kemerosotan drastis?
Majalah Tempo edisi Ahad, 26 Maret 2023 menyebut tak ada lagi kehormatan pada Mahkamah Konstitusi. Badan yang dibentuk untuk menjadi lembaga penguji konstitusionalitas proses legislasi oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, salah satu produk reformasi 1998 itu kini makin lemah dari tujuan pendiriannya. Pra kasus putusan batas usai capres-cawapres, MK juga disebut telah mengalami kemerosotan sebelumnya.
Misalnya saat hakim konstitusi Guntur Hamzah yang terbukti sengaja mengubah substansi putusan uji materi Undang-Undang MK, putusan Majelis Kehormatan yang memeriksa pelanggaran berat itu hanya memberi sanksi hukuman administratif pada Maret lalu. Hakim penjaga konstitusi itu sekadar diganjar teguran tertulis. Tak hanya menjatuhkan tingkat kepercayaan publik kepada lembaga itu, putusan tersebut juga telah mentoleransi cacat oleh seorang hakim konstitusi.
Di saat hampir bersamaan dengan keluarnya putusan itu, MK kembali memancing kontroversi. Pada 2022 lalu, saat masih menjabat sebagai Ketua MK periode pertama, Anwar Usman menikahi adik Presiden Jokowi, Idayati. Hubungan ipar antara Jokowi dan Anwar pun sempat menjadi polemik ketika itu. Bukannya diganti demi menghindari potensi benturan kepentingan, Anwar justru diangkat lagi untuk periode kedua hingga 2028.
Saat itu Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengingatkan Mahkamah Konstitusi untuk waspada atas terpilihnya kembali Anwar Usman sebagai Ketua MK 2023-2028. Ia mengaitkan potensi konflik kepentingan dalam pembuatan kebijakan mengingat Anwar Usman merupakan Ipar dari Presiden Jokowi. Apalagi, kata dia, sebagian besar kewenangan MK berkaitan dengan Presiden.
“Menjadi catatan penting untuk Mahkamah Konstitusi waspada bagaimana jika kemudian hari relasi konflik kepentingan itu muncul,” kata Feri.
Kegelisahan itu menjadi kenyataan. Jelang Pilpres 2024, sejumlah pihak mengajukan gugatan kepada MK ihwal Pasal 169 huruf q UU Pemilu 2017 tentang batas minimal usia capres-cawapres. Ada banyak pengajuan uji materi ketika itu, namun hanya lima yang disidangkan yakni nomor 29, 51, 55, 90, dan 91. Mereka meminta usia kandidat minimal 35 tahun. Setelah menggelar berbagai sidang pendahuluan, MK akhirnya membacakan putusan gugatan tersebut pada Senin, 16 Oktober 2023.
Dari lima judicial review yang diajukan, tiga di antaranya yakni 29, 51, dan 55 ditolak. Namun dua lainnya diterima sebagian. MK menolak gugatan agar usia capres-cawapres menjadi 35 tahun. Sehingga aturan sebelumnya terkait batas minimal usia, 40 tahun tetap berlaku. Tapi ada regulasi baru, MK menerima gugatan perkara 90 ihwal kandidat prematur boleh maju asal berpengalaman sebagai kepala daerah.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menilai terdapat sejumlah kejanggalan dalam putusan tersebut. Arief merupakan satu dari empat hakim yang memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam perkara ini.
Pihaknya menilai ada perbedaan sikap dari Anwar Usman dalam Rapat Permusyawaratan Hakim atau RPH kelima perkara itu. Anwar, menurut Arief, memilih tidak mengikuti RPH dalam gugatan nomor 29, 51 dan 55 karena ingin menghindari adanya konflik kepentingan.
Akan tetapi sikap Anwar berubah hanya dalam hitungan hari. Anwar mengikuti RPH untuk memutuskan perkara nomor 90 yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru Re A dan perkara nomor 91 yang diajukan mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Arkaan Wahyu Re A. Keduanya merupakan putra dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.
Keputusan tersebut membuat hakim konstitusi dilaporkan. MK pun membentuk Majelis Kehormatan MK atau MKMK untuk mewadahi laporan. Kesembilan hakim konstitusi kemudian disidang atas kasus dugaan pelanggaran etik karena putusan tersebut. MKMK memeriksa empat pelapor dan tiga hakim konstitusi termasuk Ketua MK Anwar Usman pada Selasa malam, 31 Oktober 2023. Seminggu kemudian putusan terhadap pelanggaran etik Anwar cs dibacakan.
MKMK menyatakan Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim. Atas pelanggaran berat itu, MKMK memberikan sanksi pemberhentian dari Ketua MK. Anwar Usman dinilai terbukti melakukan pelanggaran berat prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan sebagaimana putusannya dibacakan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung I MK, Jakarta, Selasa, 7 November 2023.
Menurut Majalah Tempo, penurunan kualitas MK sebenarnya sudah terjadi sejak revisi Undang-Undang MK pada 2020. Dalam regulasi yang baru, hakim konstitusi yang sekarang menjabat bisa bertahan sampai umur 70 tahun. Usia minimum hakim konstitusi juga dinaikkan, dari semula 47 tahun menjadi 55 tahun. Perubahan ini disebut-sebut merupakan hasil pertukaran kepentingan alias barter para hakim konstitusi dengan Senayan, yang berusaha mengamankan legalitas sejumlah undang-undang.
Indikasi kongkalikong MK dengan Senayan itu dapat diendus dari kasus dicopotnya hakim Aswanto oleh DPR. Aswanto lalu digantikan Guntur Hamzah, yang sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal MK. Ternyata Aswanto dicopot karena membuat putusan yang menganulir produk hukum DPR. Salah satunya UU Cipta Kerja. Aswanto dan empat hakim konstitusi lain menyatakan beleid itu inkonstitusional bersyarat.
Sesuai dengan tujuan pembentukannya, MK seharusnya menjadi lembaga independen. Lembaga ini memang berfungsi menguji suatu produk legislasi apakah sesuai dengan konstitusi. Pencopotan Aswanto menunjukkan independensi itu sama sekali tak terjaga. Independensi MK dipastikan makin tergerus jika Undang-Undang MK hasil revisi mulai berlaku. Salah satu materi revisi adalah mekanisme evaluasi hakim.
“Bukan tak mungkin pencopotan ala Aswanto kembali terjadi. Hakim konstitusi diberhentikan di tengah masa jabatan tatkala membatalkan undang-undang yang dibuat pemerintah dan DPR,” tulis Majalah Tempo.
Pelemahan lembaga seperti MK menggambarkan institusi-institusi demokrasi yang lahir pasca-1998 sudah dipereteli.
Sebelum Mahkamah Konstitusi, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK juga dipangkas melalui revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Padahal, kedua institusi itu lahir untuk memperkuat mekanisme keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan akan berjalan sewenang-wenang dan korup tanpa mekanisme kontrol dan pengawasan.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | HAN REVANDA PUTRA | SULTAN ABDURRAHMAN | MUHAMMAD FARREL FAUZAN | MAJALAH TEMPO
Pilihan editor: Ketua MK Suhartoyo Berharap Dukungan Publik untuk Perbaiki Kinerja