Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mafia: Mereka Yang Mengatur Putusan...

Ada kelompok yang berpraktek mengatur dan mempengaruhi peradilan. Kasus advokat Sunarto dalam perkara Budiadji & perkara lain yang selalu ditangani advokat yang sama dianggap bukti mafia peradilan. (hk)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YA, mafia peradilan. "Faktanya begitu gamblang diungkapkan oleh orang yang terlibat sendiri," seperti kata seorang hakim yang bertugas mengawasi jalannya roda peradilan. Dan Peradin memang dapat membuktikan, betapa 'mafia peradilan' -- atau apapun namanya -- bukanlah cerita isapan jempol. Mulanya, mau tak mau Peradin harus bersedia mendengarkan sebuah cerita buruk. Sumber sekaligus tokoh ceritanya seorang advokat terhitung kawakan juga, Soenarto Soerodibroto SH, ketika itu masih menjabat Ketua Peradin Cabang Jakarta. Ditampung berpasang-pasang telinga rekan seprofesi, Soenarto tak risih lagi membuat semacam pengakuan: dia menyebut dirinya advokat dropping. Berdiri sebagai pembela perkara korupsi Budiadji (Ka Dolog Kalimantan Timur), katanya, ia ditunjuk oleh kejaksaan. Honornya juga diatur oleh yang memberinya pekerjaan. Di situ disebutkan juga soal "pembagian rejeki". Yaitu, perihal kegiatan membagi-bagi harta kekayaan Budiadji. Bila ternyata kemudian uang kontan tak mencukupi, katanya, pembagian dapat diatur dari barang bukti. Jika itupun masih kurang, begitu didengar pengurus Peradin, Soenarto menyebut pula soal pengumpulan dana dari pejabat Bulog. Berapa rejeki yang sudah dibagikan? Pengurus Peradin masih ingat cerita Soenarto sendiri: Rp 100 juta. " . . . dibagi bagikan antara hakim/jaksa/pembela dengan tujuan agar dapat mempengaruhi hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan . . . " simpul Peradin. Tapi honorariumnya sebagai pembela, katanya, Soenarto hanya menerima Rp 5 juta. Sebagian fakta, sebelum diakuinya panjang lebar di muka rekan advokat, Soenarto sudah terdesak oleh majalah Selecta (Nopember 1977) untuk mencicil pengakuannya sekitar upaya membereskan peradilan Budiadji. Di situ Soenarto menunjuk pihak kejaksaan sebagai pemegang inisiatif. Diungkapkannya, bahwa Kepala Kejaksaan Negeri Balikpapan yang bertindak sebagai kordinator pemeriksaan korupsi Dolog, Mamas SH, ada mengatur begini: Bila bantuan dari pejabat Bulog diperoleh maka sepertiga bagian diperuntukkan majlis hakim, sepertiga buat jaksa dan selebihnya buat pembela sendiri. Soenarto tak menolak ide menggarap peradilan cara begitu. "Terserah saja, yang pokok bagi saya adalah keringanan hukuman bagi klien saya," katanya kepada Selecta. Dia malah berikhtiar mendekati pejabat Bulog. "Karena saya punya bukti-bukti otentik," katanya, "banyak orang Bulog terlibat." "Herannya," kata seorang anggota DPP (pengurus pusat) Peradin, "Soenarto mengakui semua fakta tapi menyangkal hal itu sebagai dosa profesi." Sebab, seperti digambarkannya kepada DPP Peradin, Soenarto berpegang pada praktek-praktek yang dianggapnya lumrah saja: "Advokat dropping begitu biasa terjadi dalam perkara-perkara pidana." Kejaksaan mengatur segala sesuatunya yang berkenaan dengan pembelaan. Peradin tentu tercengang. Tak sepotong kalimat penyesalan pun diucapkan Soenarto untuk meletakkan dirinya secara lebih baik. S. Tasrif, Ketua DPP Peradin, mencoba mendekatinya. Tapi Soenarto "tetap ngotot". Dari tercengang pengurus Peradin -- termasuk anggota Dewan Kehormatan Peradin, Hoeeng (bekas Kapolri) dan tokoh sepuh Besar Mertokusumo SH -- akhirnya menjadi jengkel. PEMUNGUTAN suara secara rahasia dilakukan di antara pengurus Peradin. Hasilnya Soenarto bersalah. Guilty! DPP memutuskan, 16 Pebruari lalu Soenarto dipecat sementara dari keanggotaan organisasi advokat. Prakteknya dalam membela Budiadji, menurut DPP, "adalah suatu perbuatan tercela yang merendahkan derajad dan martabat advokat." Putusan keras Peradin terhadap seorang anggota seniornya, seorang pimpinan cabang yang cukup populer lagi, sebenarnya bukan target. DPP, menurut beberapa orang pengurusnya, mempunyai sasaran lebih penting. Begini. Peradin adalah anggota Opstib exoffico. Tugasnya membantu menyumbang informasi untuk operasi tertib di lingkungan peradilan. Anggota Peradin tentunya cukup banyak bahan tentang ketidakberesan pengurusan peradilan: katakanlah pungli di sekitar peradilan-baik yang menyogok pengadilan, jaksa maupun advokat sendiri. Dalam suatu pertemuan dengan Ketua Opstib Pusat, Laksamana Sudomo, informasi secara umum sudah disuguhkan. Ada kelompok yang berpraktek mengatur dan tentu saja mempengaruhi peradilan: pembela ditunjuk, honornya tidak ditentukan sendiri oleh klien --tapi oleh kelompok yang mengatur-barang bukti "diselamatkan" dari sitaan negara untuk dibagi-bagikan, proses dan putusan pengadilan juga dapat diatur. Pembicaraan hangat. Tak tercatat lagi siapa yang mula-mula menyebut 'kelompok pengatur peradilan' itu sebagai 'sindikat'. Belakangan, istilah 'mafia peradilan' diam-diam tapi lancar dikaitkan untuk menyebut kelompok-pengatur peradilan. (Acara tersebut sebenarnya diusahakan direkam dengan film-bersuara, sayang kameranya macet!). Sudomo bertanya: mana buktinya ada mafia peradilan Wah, kebetulan. "Kita memang akan ajukan kasus Soenarto sebagai salah satu bukti sinyalemen Peradin, " kata seorang anggota DPP. Soenarto sendiri, katanya, juga bersedia mengulangi kesaksiannya tentang kegiatan mempengaruhi peradilan Budiadji di muka Opstib. Tentunya dengan syarat: kepentingannya sendiri, sebagai advokat dan pelapor, harus tetap aman. Tapi semua rencana meleset. Opstih waktu itu, akhir tahun lalu, memang lagi sibuk terjun ke pasar-pasar mengecek harga setelah Kenop 15. Soenarto pun ternyata mundur. Alasannya, seperti dikatakannya kepada TEMPO, Peradin menjebloskannya. "Rela mengorbankan anggotanya hanya untuk kepentingan politik." Peradin tentu saja sewot. "Apa boleh buat," kata M. Assegaf, Humas Peradin, "terpaksa kita memecatnya. " Apakah dengan demikian Peradin kehabisan bahan untuk memperpanjang masalah mafia peradilan? Tentu tidak. Kasus Soenarto, ternyata hanya salah satu contoh mewakili suatu kegiatan 'mafia peradilan' yang diakui sendiri oleh Soenarto. Dan lagi sampai hari ini belum ada bantahan resmi dari berbagai pihak, misalnya dari Kejari Balikpapan, Mamas SH, atau dari Bulog. Ditambah pula advokat anggota maupun bukan Peradin toh masih dapat digali kisah-kisah -- yang kalau diusut siapa tahu bisa segamblang kisah Soenarto. Misalnya: "Perkara-perkara kakap selalu jatuh ke tangan advokat itu-itu saja," kata R.O. Tambunan, anggota MPR, Ketua Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum (Pusbadhi). Memang,"belum sekongkrit kasus Sunarto, tapi kalau kiia tak menurup mata, dari situ kita bisa mulai," kata bekas anggota Komisi III/DPR ini. Memang DPP Peradin secara tak resmi pernah mendengar ungkapan ketidakpuasan beberapa anggotanya sekitar masalah tersebut. Misalnya dari advokat Gani Djemat SH. Telah lama ia menjadi penasehat hukum tetap Endang Wijaya yang kini jadi terdakwa perkara subversi, manipulasi pajak dan kredit bank. Sampai urusan Pluit jadi perkara Djemat tetap berdiri di samping kliennya. Begitu perkara sampai di tangan kejaksaan, Djemat merasa posisinya mulai diutik orang. Dua orang advokat lain, Boedhi Soetrisno SH dan Azwar Karim SH, muncul dalam perkara Endang Wijaya. Tak soal. Pertimbangan Djemat, tentu saja, apa salahnya kalau hal itu baik buat kepentingan klien? Tapi perkembangan berikutnya memang dapat mengesalkannya. Mula-mula kedudukan Djemat sebagai kordinator pembela, tanpa sebab apa pun, tergeser oleh Boedhi Soetrisno. Terjadi ribut-ribut kecil di antara kedua advokat ini ketika bersama-sama membezuk klien mereka. Namun kejadian berikutnya lebih telak lagi menyikut rusuk Gani Djemat. Yaitu ketika sidang pengadilan kasus Pluit mulai berlangsung. Gani Djemat, mula-mula mencoba membantah tuduhan jaksa: dia minta agar diadakan perhitungan aset-aset proyek Pluit. Pembela ini berpendapat, kekayaan terdakwa yng tertanam di Pluit di atas Rp 30 milyar tentu lebih besar dari apa yang harus dipertanggungjawabkannya sebagai kerugian negara. Ini sebuah eksepsi yang dinilai umum cukup keras. Buntutnya -- entah ada hubungannya atau tidak -- kuasa yang diterimanya sebagai penasehat hukum tetap selama bertahun-tahun, tiba-tiba dicabut oleh Endang Wijaya tanpa alasan. Apakah Gani Djemat menuduh peristiwa itu berkat permainan yang diatur kelompok semacam mafia peradilan? "Saya tak punya bukti," katanya "saya takut kalau semua analisa dan dugaan itu salah, saya berdosa." Tapi pengalaman yang sama dipetik juga oleh tiga serangkai pengacara: Azhar Achmad, Jeffersen dan Pranggono. Mereka memegang kuasa untuk mengurus perkara kakap: korupsi di Pelni yang menurut Opstib omsetnya lebih dari Rp 2 milyar. Begitu surat kuasa diteken, ketiga pengacara ini bekerja. Berkirim surat ke pejabat ini dan itu, sampai ke Presiden, sebagai permulaan pembelaan bagi kliennya, D.R. Ambarita. Tengah asyik ketiganya bekerja tiba-tiba Ambarita mencabut kuasanya tanpa alasan. Tapi baiklah. Kejadian berikutnya dianggap lebih penting untuk diperhatikan: kuasa mendadak pindah ke tangan pengacara Boedhi Soetrisno. Keluarga Ambarita menyatakan, merekalah yang menentukan sendiri pergantian pengacara tersebut. Dalam tahanan, Ambarita memang tak kenal sama sekali dengan Boedhi. Wajarkah? Azhar Achmad SH geleng kepala: "Tidak ada komentar!" Tapi rekannya, Pranggono SH yang pernah sama-sama menggarap Ambarita bersama Azhar -- punya cerita. Pengacara ini masih muda. Ambarita adalah kliennya yang kedua selama ia menjadi advokat. Kliennya yang ketiga, Waluyo, adalah tersangka perkara penyelundupan dengan fasilitas penanaman modal dengan omset lebih dari Rp 3 milyar. Dia mengurus Walujo sejak langganannya kini ditangani polisi. Usahanya yang pertama ialah mengikhtiarkan kliennya bebas dari tahanan sementara. Usahanya memang belum berhasil-oleh karena itu honorariumnya belum sempat dikecapnya. Namun baru sekitar 10 hari perkara Walujo dilimpahkan polisi ke kejaksaan, Pranggono kehilangan kliennya. Tanpa ba atau bu, mendadak dia menerima pencabutan kuasa dari Walujo. "Memang belum rejeki saya," katanya. Hanya, yang dirasakan tak enak -- sama dengan nasib kliennya yang terdahulu, Ambarita -- Walujo ini pun jatuh ke tangan .... Boedhi Soetrisno juga. Apakah ketiga peristiwa di atas, Endang Wijaya, Ambarita dan Walujo, suatu kebetulan saja? "Mana bisa memperoleh klien begitu hanya secara kebetulan?" sentak Adnan Buyung Nasution SH, advokat juga salah seorang Ketua DPP Peradin. Boleh jadi Buyung benar. Sebab dia juga punya pengalaman dengan Boedhi. Buyung memegang perkara Sungkar yang didakwa menyelundupkan tongkat golf. Advokat ini menjemput kliennya dari Singapura, katanya, "setelah mendapat jaminan akan memperoleh perlakuan hukum yangfair." Namun menjelang sidang pengadilan, hampir saja Buyung kehilangan kliennya yang satu ini. Keluarga Sungkar, katanya, menyampaikan bahwa tersangka berganti pembela. Siapa? "Siapa lagi kalau bukan itu-itu saja .... Boedhi," ujar Buyung. Tapi Buyung tak tinggal diam. Dia segera menemui kliennya. "Di situ saya tahu," katanya, "klien saya telah dibujuk, diancam dan dipaksa untuk berganti pembela." Sapa yang mengancam? "Ya, sekelompok orang." Kelompok ini, katanya, membujuk agar "tersangka berganti pembela yang sudah dikenal dan berhubungan baik dengan jaksa, dapat mengatur surat tuduhan, bahkan dapat mengatur putusan hakim." Buyung kontan menyemprot Boedhi. Hasilnya baik: Sungkar ternyata tetap memilih Buyung sebagai pembelanya. R.O. Tambunan, yang ikut berteriak "ada mafia peradilan", juga menyimpan kisah. "Kalau Peradin atau siapa saja yang perlu saya dapat menyampaikannya." Tambunan memegang dua perkara. Yang satu penyelundup bernama A Kwang. Yang lain tiga orang pimpinan Bank Panca Dewa. Semuanya telah meneken surat kuasa. Tapi belakangan ini Tambunan melihat gelagat tidak enak. Kliennya menunjukkan dua kartu nama sambil menyatakan, "kalau perkaranya mau beres harus ganti pengacara yang ini saja." Sebab? "Kata klien saya," kata Tambunan, "pengacara yang lama, yaitu saya, orangnya keras. Tapi yang ini, orang dekat kejaksaan, semuanya bakal bisa diatur." Kartu nama siapa yang disodorkan jaksa kepada klien Tambunan itu? "Orang itu-itu juga," ujar Tambunan. Boedhi Soetrisno? Tambunan tertawa -- tidak membantah. Apa kata Boedhi Soetrisno? Dia, 50 tahun, memang bukan orang asing bagi korps kejaksaan. Boedhi pernah menjabat Jaksa Tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemudian mengundurkan diri sebagai jaksa dan aktif menjadi pengacara. Tapi beberapa perkara menonjol yang belakangan ini dipegangnya, katanya, tak ada hubungannya dengan "pengaturan", apalagi oleh apa yang disebut mafia peradilan. "Satu bulan keluarganya mencari saya," ujar Boedhi, sebelum EndangWijaya meneken kuasa menunjuknya sebagai pembela. Dia tak tahu menahu soal pencabutan kuasa Gani Djemat. "Karena bukan saya yang meminta Endang Wijaya mencabut surat kuasa." Begitu juga persoalannya dengan Azhar Achmad dkk tentang kasus Ambarita. Kliennya tersebut, kau Boedhi, tak kenal dia sebelumnya. "Keluarganya yang menghubungi saya." Alasannya? "Mereka tak cocok dengan strategi pembelaan Azhar." Itu saja. Persoalannya dengan Buyung Nasution memang seru. Dia tahu Sungkar memang klien Buyung. "Tapi tak ada urusan," katanya ketika ia ditegur Buyung merampas klien. Soalnya ia tak mungkin menolak keluarga Sungkar yang datang dan minta bantuan hukum. Alasan keluarga Sungkar, katanya, karena Buyung gagal mengurus perkara -jadi perlu ganti advokat. Buyung, seperti diketahui Boedhi dari keluarga Sungkar, telah gagal untuk dua persoalan: "Dia tak bisa menyelesaikan perkara di luar pengadilan, seperti yang dijanjikan dan juga tak berhasil mencairkan uang tersangka di bank." Tapi Boedhi, setelah diberi kuasa oleh Sungkar, katanya tak berusaha melakukan kegiatan seperti Buyung. Sebab usaha Buyung begitu, menurut Boedhi, "lebih dari mafia peradilan yang disebut sekarang -- saya mempunyai bukti tertulis! " Sebelum kuasa dicabut kembali, katanya, Boedhi hanya mengusahakan agar perkara cepat dilimpahkan ke pengadilan dan menghindarkan Sungkar dari kemungkinan ditahan di Nusakambangan. Dan itu, katanya lagi, berhasil. Boedhi juga mengelak tuduhan hendak mengutik-utik perkara Panca Dewa. Dia malah merasa lebih dulu mengurus Panca Dewa sebelum Tambunan masuk. Itulah bicara para advokat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus