Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YA, mafia peradilan. "Faktanya begitu gamblang diungkapkan oleh
orang yang terlibat sendiri," seperti kata seorang hakim yang
bertugas mengawasi jalannya roda peradilan. Dan Peradin memang
dapat membuktikan, betapa 'mafia peradilan' -- atau apapun
namanya -- bukanlah cerita isapan jempol.
Mulanya, mau tak mau Peradin harus bersedia mendengarkan sebuah
cerita buruk. Sumber sekaligus tokoh ceritanya seorang advokat
terhitung kawakan juga, Soenarto Soerodibroto SH, ketika itu
masih menjabat Ketua Peradin Cabang Jakarta. Ditampung
berpasang-pasang telinga rekan seprofesi, Soenarto tak risih
lagi membuat semacam pengakuan: dia menyebut dirinya advokat
dropping. Berdiri sebagai pembela perkara korupsi Budiadji (Ka
Dolog Kalimantan Timur), katanya, ia ditunjuk oleh kejaksaan.
Honornya juga diatur oleh yang memberinya pekerjaan. Di situ
disebutkan juga soal "pembagian rejeki". Yaitu, perihal kegiatan
membagi-bagi harta kekayaan Budiadji. Bila ternyata kemudian
uang kontan tak mencukupi, katanya, pembagian dapat diatur dari
barang bukti. Jika itupun masih kurang, begitu didengar pengurus
Peradin, Soenarto menyebut pula soal pengumpulan dana dari
pejabat Bulog.
Berapa rejeki yang sudah dibagikan? Pengurus Peradin masih ingat
cerita Soenarto sendiri: Rp 100 juta. " . . . dibagi bagikan
antara hakim/jaksa/pembela dengan tujuan agar dapat mempengaruhi
hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan . . . " simpul Peradin.
Tapi honorariumnya sebagai pembela, katanya, Soenarto hanya
menerima Rp 5 juta.
Sebagian fakta, sebelum diakuinya panjang lebar di muka rekan
advokat, Soenarto sudah terdesak oleh majalah Selecta (Nopember
1977) untuk mencicil pengakuannya sekitar upaya membereskan
peradilan Budiadji. Di situ Soenarto menunjuk pihak kejaksaan
sebagai pemegang inisiatif. Diungkapkannya, bahwa Kepala
Kejaksaan Negeri Balikpapan yang bertindak sebagai kordinator
pemeriksaan korupsi Dolog, Mamas SH, ada mengatur begini: Bila
bantuan dari pejabat Bulog diperoleh maka sepertiga bagian
diperuntukkan majlis hakim, sepertiga buat jaksa dan selebihnya
buat pembela sendiri.
Soenarto tak menolak ide menggarap peradilan cara begitu.
"Terserah saja, yang pokok bagi saya adalah keringanan hukuman
bagi klien saya," katanya kepada Selecta. Dia malah berikhtiar
mendekati pejabat Bulog. "Karena saya punya bukti-bukti
otentik," katanya, "banyak orang Bulog terlibat."
"Herannya," kata seorang anggota DPP (pengurus pusat) Peradin,
"Soenarto mengakui semua fakta tapi menyangkal hal itu sebagai
dosa profesi." Sebab, seperti digambarkannya kepada DPP Peradin,
Soenarto berpegang pada praktek-praktek yang dianggapnya lumrah
saja: "Advokat dropping begitu biasa terjadi dalam
perkara-perkara pidana." Kejaksaan mengatur segala sesuatunya
yang berkenaan dengan pembelaan.
Peradin tentu tercengang. Tak sepotong kalimat penyesalan pun
diucapkan Soenarto untuk meletakkan dirinya secara lebih baik.
S. Tasrif, Ketua DPP Peradin, mencoba mendekatinya. Tapi
Soenarto "tetap ngotot". Dari tercengang pengurus Peradin --
termasuk anggota Dewan Kehormatan Peradin, Hoeeng (bekas
Kapolri) dan tokoh sepuh Besar Mertokusumo SH -- akhirnya
menjadi jengkel.
PEMUNGUTAN suara secara rahasia dilakukan di antara pengurus
Peradin. Hasilnya Soenarto bersalah. Guilty! DPP memutuskan, 16
Pebruari lalu Soenarto dipecat sementara dari keanggotaan
organisasi advokat. Prakteknya dalam membela Budiadji, menurut
DPP, "adalah suatu perbuatan tercela yang merendahkan derajad
dan martabat advokat."
Putusan keras Peradin terhadap seorang anggota seniornya,
seorang pimpinan cabang yang cukup populer lagi, sebenarnya
bukan target. DPP, menurut beberapa orang pengurusnya, mempunyai
sasaran lebih penting. Begini.
Peradin adalah anggota Opstib exoffico. Tugasnya membantu
menyumbang informasi untuk operasi tertib di lingkungan
peradilan. Anggota Peradin tentunya cukup banyak bahan tentang
ketidakberesan pengurusan peradilan: katakanlah pungli di
sekitar peradilan-baik yang menyogok pengadilan, jaksa maupun
advokat sendiri.
Dalam suatu pertemuan dengan Ketua Opstib Pusat, Laksamana
Sudomo, informasi secara umum sudah disuguhkan. Ada kelompok
yang berpraktek mengatur dan tentu saja mempengaruhi peradilan:
pembela ditunjuk, honornya tidak ditentukan sendiri oleh klien
--tapi oleh kelompok yang mengatur-barang bukti "diselamatkan"
dari sitaan negara untuk dibagi-bagikan, proses dan putusan
pengadilan juga dapat diatur.
Pembicaraan hangat. Tak tercatat lagi siapa yang mula-mula
menyebut 'kelompok pengatur peradilan' itu sebagai 'sindikat'.
Belakangan, istilah 'mafia peradilan' diam-diam tapi lancar
dikaitkan untuk menyebut kelompok-pengatur peradilan. (Acara
tersebut sebenarnya diusahakan direkam dengan film-bersuara,
sayang kameranya macet!).
Sudomo bertanya: mana buktinya ada mafia peradilan Wah,
kebetulan. "Kita memang akan ajukan kasus Soenarto sebagai salah
satu bukti sinyalemen Peradin, " kata seorang anggota DPP.
Soenarto sendiri, katanya, juga bersedia mengulangi kesaksiannya
tentang kegiatan mempengaruhi peradilan Budiadji di muka Opstib.
Tentunya dengan syarat: kepentingannya sendiri, sebagai advokat
dan pelapor, harus tetap aman.
Tapi semua rencana meleset. Opstih waktu itu, akhir tahun lalu,
memang lagi sibuk terjun ke pasar-pasar mengecek harga setelah
Kenop 15. Soenarto pun ternyata mundur. Alasannya, seperti
dikatakannya kepada TEMPO, Peradin menjebloskannya. "Rela
mengorbankan anggotanya hanya untuk kepentingan politik."
Peradin tentu saja sewot. "Apa boleh buat," kata M. Assegaf,
Humas Peradin, "terpaksa kita memecatnya. "
Apakah dengan demikian Peradin kehabisan bahan untuk
memperpanjang masalah mafia peradilan? Tentu tidak. Kasus
Soenarto, ternyata hanya salah satu contoh mewakili suatu
kegiatan 'mafia peradilan' yang diakui sendiri oleh Soenarto.
Dan lagi sampai hari ini belum ada bantahan resmi dari berbagai
pihak, misalnya dari Kejari Balikpapan, Mamas SH, atau dari
Bulog. Ditambah pula advokat anggota maupun bukan Peradin toh
masih dapat digali kisah-kisah -- yang kalau diusut siapa tahu
bisa segamblang kisah Soenarto.
Misalnya: "Perkara-perkara kakap selalu jatuh ke tangan advokat
itu-itu saja," kata R.O. Tambunan, anggota MPR, Ketua Pusat
Bantuan dan Pengabdi Hukum (Pusbadhi). Memang,"belum sekongkrit
kasus Sunarto, tapi kalau kiia tak menurup mata, dari situ kita
bisa mulai," kata bekas anggota Komisi III/DPR ini.
Memang DPP Peradin secara tak resmi pernah mendengar ungkapan
ketidakpuasan beberapa anggotanya sekitar masalah tersebut.
Misalnya dari advokat Gani Djemat SH. Telah lama ia menjadi
penasehat hukum tetap Endang Wijaya yang kini jadi terdakwa
perkara subversi, manipulasi pajak dan kredit bank. Sampai
urusan Pluit jadi perkara Djemat tetap berdiri di samping
kliennya. Begitu perkara sampai di tangan kejaksaan, Djemat
merasa posisinya mulai diutik orang.
Dua orang advokat lain, Boedhi Soetrisno SH dan Azwar Karim SH,
muncul dalam perkara Endang Wijaya. Tak soal. Pertimbangan
Djemat, tentu saja, apa salahnya kalau hal itu baik buat
kepentingan klien? Tapi perkembangan berikutnya memang dapat
mengesalkannya.
Mula-mula kedudukan Djemat sebagai kordinator pembela, tanpa
sebab apa pun, tergeser oleh Boedhi Soetrisno. Terjadi
ribut-ribut kecil di antara kedua advokat ini ketika
bersama-sama membezuk klien mereka. Namun kejadian berikutnya
lebih telak lagi menyikut rusuk Gani Djemat.
Yaitu ketika sidang pengadilan kasus Pluit mulai berlangsung.
Gani Djemat, mula-mula mencoba membantah tuduhan jaksa: dia
minta agar diadakan perhitungan aset-aset proyek Pluit. Pembela
ini berpendapat, kekayaan terdakwa yng tertanam di Pluit di
atas Rp 30 milyar tentu lebih besar dari apa yang harus
dipertanggungjawabkannya sebagai kerugian negara. Ini sebuah
eksepsi yang dinilai umum cukup keras. Buntutnya -- entah ada
hubungannya atau tidak -- kuasa yang diterimanya sebagai
penasehat hukum tetap selama bertahun-tahun, tiba-tiba dicabut
oleh Endang Wijaya tanpa alasan.
Apakah Gani Djemat menuduh peristiwa itu berkat permainan yang
diatur kelompok semacam mafia peradilan? "Saya tak punya bukti,"
katanya "saya takut kalau semua analisa dan dugaan itu salah,
saya berdosa."
Tapi pengalaman yang sama dipetik juga oleh tiga serangkai
pengacara: Azhar Achmad, Jeffersen dan Pranggono. Mereka
memegang kuasa untuk mengurus perkara kakap: korupsi di Pelni
yang menurut Opstib omsetnya lebih dari Rp 2 milyar. Begitu
surat kuasa diteken, ketiga pengacara ini bekerja. Berkirim
surat ke pejabat ini dan itu, sampai ke Presiden, sebagai
permulaan pembelaan bagi kliennya, D.R. Ambarita.
Tengah asyik ketiganya bekerja tiba-tiba Ambarita mencabut
kuasanya tanpa alasan. Tapi baiklah. Kejadian berikutnya
dianggap lebih penting untuk diperhatikan: kuasa mendadak pindah
ke tangan pengacara Boedhi Soetrisno.
Keluarga Ambarita menyatakan, merekalah yang menentukan sendiri
pergantian pengacara tersebut. Dalam tahanan, Ambarita memang
tak kenal sama sekali dengan Boedhi. Wajarkah?
Azhar Achmad SH geleng kepala: "Tidak ada komentar!"
Tapi rekannya, Pranggono SH yang pernah sama-sama menggarap
Ambarita bersama Azhar -- punya cerita. Pengacara ini masih
muda. Ambarita adalah kliennya yang kedua selama ia menjadi
advokat. Kliennya yang ketiga, Waluyo, adalah tersangka perkara
penyelundupan dengan fasilitas penanaman modal dengan omset
lebih dari Rp 3 milyar. Dia mengurus Walujo sejak langganannya
kini ditangani polisi. Usahanya yang pertama ialah
mengikhtiarkan kliennya bebas dari tahanan sementara.
Usahanya memang belum berhasil-oleh karena itu honorariumnya
belum sempat dikecapnya. Namun baru sekitar 10 hari perkara
Walujo dilimpahkan polisi ke kejaksaan, Pranggono kehilangan
kliennya. Tanpa ba atau bu, mendadak dia menerima pencabutan
kuasa dari Walujo. "Memang belum rejeki saya," katanya. Hanya,
yang dirasakan tak enak -- sama dengan nasib kliennya yang
terdahulu, Ambarita -- Walujo ini pun jatuh ke tangan ....
Boedhi Soetrisno juga.
Apakah ketiga peristiwa di atas, Endang Wijaya, Ambarita dan
Walujo, suatu kebetulan saja? "Mana bisa memperoleh klien begitu
hanya secara kebetulan?" sentak Adnan Buyung Nasution SH,
advokat juga salah seorang Ketua DPP Peradin. Boleh jadi Buyung
benar. Sebab dia juga punya pengalaman dengan Boedhi.
Buyung memegang perkara Sungkar yang didakwa menyelundupkan
tongkat golf. Advokat ini menjemput kliennya dari Singapura,
katanya, "setelah mendapat jaminan akan memperoleh perlakuan
hukum yangfair." Namun menjelang sidang pengadilan, hampir saja
Buyung kehilangan kliennya yang satu ini. Keluarga Sungkar,
katanya, menyampaikan bahwa tersangka berganti pembela. Siapa?
"Siapa lagi kalau bukan itu-itu saja .... Boedhi," ujar Buyung.
Tapi Buyung tak tinggal diam. Dia segera menemui kliennya. "Di
situ saya tahu," katanya, "klien saya telah dibujuk, diancam dan
dipaksa untuk berganti pembela." Sapa yang mengancam? "Ya,
sekelompok orang." Kelompok ini, katanya, membujuk agar
"tersangka berganti pembela yang sudah dikenal dan berhubungan
baik dengan jaksa, dapat mengatur surat tuduhan, bahkan dapat
mengatur putusan hakim."
Buyung kontan menyemprot Boedhi. Hasilnya baik: Sungkar ternyata
tetap memilih Buyung sebagai pembelanya.
R.O. Tambunan, yang ikut berteriak "ada mafia peradilan", juga
menyimpan kisah. "Kalau Peradin atau siapa saja yang perlu saya
dapat menyampaikannya."
Tambunan memegang dua perkara. Yang satu penyelundup bernama A
Kwang. Yang lain tiga orang pimpinan Bank Panca Dewa. Semuanya
telah meneken surat kuasa. Tapi belakangan ini Tambunan melihat
gelagat tidak enak. Kliennya menunjukkan dua kartu nama sambil
menyatakan, "kalau perkaranya mau beres harus ganti pengacara
yang ini saja." Sebab? "Kata klien saya," kata Tambunan,
"pengacara yang lama, yaitu saya, orangnya keras. Tapi yang ini,
orang dekat kejaksaan, semuanya bakal bisa diatur."
Kartu nama siapa yang disodorkan jaksa kepada klien Tambunan
itu? "Orang itu-itu juga," ujar Tambunan. Boedhi Soetrisno?
Tambunan tertawa -- tidak membantah.
Apa kata Boedhi Soetrisno? Dia, 50 tahun, memang bukan orang
asing bagi korps kejaksaan. Boedhi pernah menjabat Jaksa Tinggi
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemudian mengundurkan diri
sebagai jaksa dan aktif menjadi pengacara. Tapi beberapa perkara
menonjol yang belakangan ini dipegangnya, katanya, tak ada
hubungannya dengan "pengaturan", apalagi oleh apa yang disebut
mafia peradilan.
"Satu bulan keluarganya mencari saya," ujar Boedhi, sebelum
EndangWijaya meneken kuasa menunjuknya sebagai pembela. Dia tak
tahu menahu soal pencabutan kuasa Gani Djemat. "Karena bukan
saya yang meminta Endang Wijaya mencabut surat kuasa."
Begitu juga persoalannya dengan Azhar Achmad dkk tentang kasus
Ambarita. Kliennya tersebut, kau Boedhi, tak kenal dia
sebelumnya. "Keluarganya yang menghubungi saya." Alasannya?
"Mereka tak cocok dengan strategi pembelaan Azhar." Itu saja.
Persoalannya dengan Buyung Nasution memang seru. Dia tahu
Sungkar memang klien Buyung. "Tapi tak ada urusan," katanya
ketika ia ditegur Buyung merampas klien. Soalnya ia tak mungkin
menolak keluarga Sungkar yang datang dan minta bantuan hukum.
Alasan keluarga Sungkar, katanya, karena Buyung gagal mengurus
perkara -jadi perlu ganti advokat.
Buyung, seperti diketahui Boedhi dari keluarga Sungkar, telah
gagal untuk dua persoalan: "Dia tak bisa menyelesaikan perkara
di luar pengadilan, seperti yang dijanjikan dan juga tak
berhasil mencairkan uang tersangka di bank." Tapi Boedhi,
setelah diberi kuasa oleh Sungkar, katanya tak berusaha
melakukan kegiatan seperti Buyung. Sebab usaha Buyung begitu,
menurut Boedhi, "lebih dari mafia peradilan yang disebut
sekarang -- saya mempunyai bukti tertulis! "
Sebelum kuasa dicabut kembali, katanya, Boedhi hanya
mengusahakan agar perkara cepat dilimpahkan ke pengadilan dan
menghindarkan Sungkar dari kemungkinan ditahan di Nusakambangan.
Dan itu, katanya lagi, berhasil.
Boedhi juga mengelak tuduhan hendak mengutik-utik perkara Panca
Dewa. Dia malah merasa lebih dulu mengurus Panca Dewa sebelum
Tambunan masuk.
Itulah bicara para advokat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo