Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT pria berdandan rapi itu berbincang di ruang tunggu Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Satu di antaranya kemudian masuk ke kantor Garuda Indonesia. Setelah memperkenalkan diri, Komisaris Besar Banu Saputro, Kepala Unit I Narkotika Mabes Polri, ia memesan empat tiket tujuan Jakarta.
Sembari menunggu, Banu menyimak daftar penumpang pesawat yang terbang dari Sydney, Australia, yang akan ditumpanginya itu. ”Untuk memastikan apakah orang yang kami cari ikut terbang atau tidak,” katanya.
Pesawat yang dinanti tiba so-re hari. Empat polisi itu mengamati satu per satu penumpang yang turun, mencocokkannya dengan selembar foto di ta-ngan Banu. Pria yang dicari, Pieter Ka Tjien Jong, ada dalam kerumunan. Pengusaha mebel ini diketahui cuma transit di Bali.
Empat polisi itu lega, karena mereka akan terbang bersama Pieter ke Jakarta. Di dalam pesawat, mereka hanya melirik Pieter. Tapi, begitu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, mereka langsung menyambar tangan Pieter.
Tanpa perlawanan, Pieter digiring ke Mabes Polri. Sejak 19 Juni itu, dia menjadi tahanan Mabes Polri-. Dia dituduh menyelundupkan 139 kotak (dua juta butir) obat flu ke Australia pada 13 Juni la-lu. Obat senilai Rp 2,3 miliar ini rencananya dilepas di Australia dengan harga Rp 4,5 miliar-.
Sebetulnya, kasus ini terungkap secara kebetulan. Bermula dari kegiatan rutin pegawai Badan Bea Cukai Australia, yang memeriksa kontainer yang diturunkan di Port Botany, Sydney, pada 13 Juni lalu. ”Mereka memeriksanya secara acak,” kata Banu.
Waktu itu pegawai menunjuk kontainer yang berlabel mebel kayu dari Jakarta untuk diperiksa. Ketika dipindai di ruang khusus Bea Cukai, ternyata di balik mebel ada 139 karton, dibungkus kertas cokelat dan plastik.
Ketika dibongkar, ternyata isinya dua juta butir obat penangkal pilek. Obat bermerek Actifed dan Sodafed ini masuk dalam daftar larangan impor di Australia. Tetapi, aparat tak menyita-nya. Malah mereka mengemasnya se-perti sediakala. Si pemilik ”mebel” menjemputnya pada 17 Juni.
Setelah penjemputan itu, barulah pe-gawai Bea Cukai dan Polisi Federal Australia (AFP) mengikuti perjalanan obat ini. Ternyata disimpan di sebuah alamat bisnis di Leichhardt, kawasan barat Kota Sydney.
Penerima paket adalah seorang wani-ta- yang tinggal di kawasan Drummoyne, di-bantu seorang pria. Mereka suami-is-tri- Simon Philip Chamble dan Belinda Me-rycamble—keduanya warga Australia.
Dua pegawai, Suryadarma Baka (war-ga- Indonesia) dan Jun Zhang (warga Aus-tralia), mengurus penerimaan pa-ket. AFP mengikuti dua orang ini hingga ke Chinatown, tengah Kota Sydney. Sa-yang-, b-elum ada informasi akti-vi-tas dua orang ini di Chinatown.
Yang jelas, setelah itu AFP menangkap ter-sangka di em-pat- tempat terpisah: Drummoy-ne, Leichhardt, Cabramatta, dan pusat bisnis Kota Sydney, pada 18 Juni. Dari tangan ter-sangka disita 2 juta tablet flu itu.
Dari tersangka yang ditangkap itu, AFP mengetahui ke-terlibatan tiga orang lagi. Seorang yang diduga gembong narkoba sedang dicari di Australia, dua lagi warga Indonesia. AFP menghubungi Mabes Polri dan menyampaikan informasi ini pada 19 Juni.
AFP pula yang memberi tahu, Pieter terbang ke Jakarta melalui Bali, serta mengirim fotonya. Esoknya, polisi antinarkotik menangkap Samuel Rantesalu—rekan bisnis Pie-ter—di rumahnya di Kemanggisan, J-akarta Barat.
Keterlibatan dua orang ini ber-awal dari hubungan bisnis normal antara P-ieter dan Belinda Merycamble, tersangka yang ditangkap di Australia. Belakangan Belinda memesan obat flu dalam jumlah besar, pada awal 2005. ”Saya tak tahu mau diapakan obat itu,” kata Pieter kepada penyidik.
Ternyata Pieter tak bisa menembus birokrasi pembelian obat yang ternyata- berliku-liku. Dia mengontak Sa-muel, m-eng-ajak bekerja sama. Samuel me-me-san- obat melalui Pitrasa, seorang me-di-cal re-pre-sentative PT Glaxo Wellcome Indone-si-a, perusahaan farmasi di Kawasan Indus-tri Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Namun Glaxo tak menanggapi pembeli perorangan. Perusahaan farmasi ini hanya melayani pesanan dari balai pengobatan, rumah sakit, poliklinik, apotek, atau badan penelitian kesehatan. ”Pemesanan pun tak bisa langsung, harus melalui apotek,” kata Pitrasa, se-bagaimana diceritakan Samuel.
Ternyata Samuel memiliki seorang kerabat di Badan Penelitian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI, bernama dr Budiman Bela. Nama Budiman dicatut Samuel untuk memesan obat di Glaxo. Samuel memalsukan cap Badan Penelitian Mikrobiologi. Saat ini Budiman ber-ada di Amerika Serikat, turut dalam pe-nelitian virus flu burung.
Berbekal dokumen palsu, dipe-sannya obat ke sebuah apotek di Kawasan Industri Pulo Gadung. Si pe-gawai apotek mengaku ke polisi s-udah mencari tahu kebenaran soal Budiman. Hanya, dia cuma hen-dak mengetahui posisi Budiman di Badan Penelitian Mikrobiologi.
Setelah pasti, petugas apotek- me-neruskan pesanan ke PT Mitra- Gu-na Sehat Lestari, distributor Glaxo. Glaxo menilai permintaan itu memenuhi sya-rat, dan dibayar tunai pula.
Singkat kata, sampailah obat itu ke ta-ngan Samuel, yang mengaku utusan Budiman. Selanjutnya, obat dikemas di dalam mebel dan dikirim ke alamat Pie-ter di Sydney. Mereka mengguna-kan jasa pengiriman PT Asia Grow Logis-tic, yang berkedudukan di Surabaya. N-a-mun perjalanan obat tetap melalui Tan-jung Priok, Jakarta Utara.
Mereka gampang melewati Tanjung Priok karena pelabuhan tak memeriksa barang dengan sinar-X. Kepada polisi, Pieter mengaku, dengan modus seperti itu-lah dia menyelundupkan obat sampai tu-juh kali, selama 2005 -2006. Dia bi-lang- sudah mengirim 5 juta butir obat, ter-masuk yang digagalkan Bea Cukai Aus-tralia.
Ternyata obat yang dilarang m-asuk ke Aus-tralia itu mengandung pseu-doe-phedrine, bahan baku ekstasi. Jika dihi-tung, 5 juta tablet diperkirakan mengandung 950 kilogram pseudoe-phedrine. Ini bisa diubah menjadi 625 kilogram metamphetamine.
Metamphetamine sebanyak itu menghasilkan uang A$ 177,5 juta—setara Rp 1,189 triliun. ”Kemudian si pembeli mengubahnya menjadi ekstasi atau sabu-sabu, yang nilai jualnya jauh lebih besar,” kata Komisaris Besar Banu.
Itulah sebabnya Mike Phelan, Mana-jer Nasional Jaringan Perbatasan dan M-ancanegara, memuji keber-hasilan AFP dan Bea Cukai. ”Berkat kerja sama de-ngan Polri, sindikat lintas perbatasan ini terbongkar,” katanya ke-pada wartawan Tempo di Sydney. ”Tanpa kerja sama ini, Australia akan keban-jiran obat-obatan amphetamine.”
Menurut Phelan, para tersangka yang ditangkap di Australia akan dibi-dik de-ngan tuduhan serius: meng-impor ba-han kimia mentah terlarang. Ini melanggar peraturan Kriminal Persemakmuran 1995, yang ancaman hukumannya 25 tahun penjara.
Phelan mengatakan, ancaman hukum-an itu sejalan dengan undang-undang antinarkoba yang baru diterapkan akhir- tahun lalu. ”Undang-undang ini me-nargetkan importasi ilegal bahan men-tah kimia untuk membuat narkoba,” kata-nya.
Nasib tersangka yang ditangkap di J-akarta sedikit lebih baik. Pieter dan Samuel tak dibidik dengan undang-undang antinarkotik. Dia dituduh terlibat penyelundupan, yang ancaman hukum-annya delapan tahun penjara. ”Kesalah-annya menyembunyikan barang de-ngan dokumen tidak sah,” katanya.
Sejauh ini baru Pieter dan Samuel- yang dijadikan tersangka. Banu meng-akui, me-reka memang menyelundupkan o-bat-obatan yang mengandung bahan- ba-ku e-ksta-si. ”Namun Indonesia belum- me-miliki undang-undang tentang- pre-kur-sor.”
Nurlis E. Meuko, Ramidi (Jakarta), dan Dewi Anggraeni (Melbourne, Australia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo